• ,
  • - +

Artikel

Mendorong Politik Pelayanan Publik di Ajang Pilkada Serentak
• Selasa, 03/11/2020 • Budi Rahman
 
Budi Rahman - Asisten Muda Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat (foto istimewa))

Tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan secara serentak di Indonesia tengah bergulir. Terlepas dari kontroversi yang melingkupi pelaksanaannya di tengah Pandemi Covid-19, ajang politik ini memiliki celah yang patut dikaji dan dikritisi. Sebanyak 270 wilayah, yang meliputi 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten dengan masa kampanye kurang lebih sekitar 71 hari mulai dari 26 September hingga 5 Desember 2020. Para pihak yang berkompeten dan berkepentingan telah mengambil keputusan bahwa pelaksanaan Pilkada tetap akan dihelat di penghujung tahun ini, puncaknya tepatnya pada tanggal 9 Desember 2009. Saat pencoblosan penentuan kandidat kepala daerah akan ditentukan para pemilik suara.

Kampanye sebagai fase krusial dalam pelaksanaan Pilkada Serentak merupakan momen paling pas bagi para pemilik suara untuk menilik dan menentukan pilihan kandidat yang akan menentukan hitam putih jalannya roda pemerintahan daerah mereka, dan mereka bisa melihat dan menilai rekam jejak calon pemimin mereka. Di fase ini juga masyarakat bisa memberikan respon dan masukan kepada para kandidat yang tengah sibuk tebar pesona. Sebagai contoh, menyodorkan kontrak politik, pakta integritas, komitmen kandidat atau naskah-naskah sejenisnya yang kelak dapat dibuka kembali saat sang kandidat berhasil terpilih dan duduk sebagai kepala daerah.

Realitas politik masa lalu yang nampaknya masih berlangsung hingga hari ini adalah pragmatisme politik dari oknum pemilih yang mudah termakan bujuk rayu pada politik transaksional yang ditawarkan kandidat. Hak ini tentu membawa dampak buruk atas jalannya roda pemerintahan sang pemenang kontestasi. Posisi masyarakat menjadi lemah, tak memiliki posisi tawar dan pelayanan publik dijalankan dengan kualitas seadanya tanpa ada pihak yang mampu memberi masukan dan kritikan yang sepadan. Hal inilah yang barangkali menjadi penyebab fenomena masih belum primanya kualitas pelayanan publik di sejumlah daerah.

Indikatornya dapat dilihat dari Survei Kepatuhan Ombudsman RI yang telah dilakukan sejak tahun 2015, sampai saat ini masih banyak daerah dan instansi vertikal yang meraih nilai kepatuhan rendah alias merah. Survei Kepatuhan merupakan kegiatan yang dilakukan Ombudsman RI dan seluruh jajaran perwakilan di level provinsi dan kabupaten/kota yang bertujuan untuk mendorong pemenuhan terhadap standar pelayanan publik dalam rangka mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik. Mekanisme pengambilan data survei Kepatuhan dilakukan dengan mengamati tampakan fisik, observasi secara mendadak, dan disertai bukti foto.

Isu pelayanan publik nampaknya belum menjadi "bumbu" kampanye yang menarik bagi sejumlah kandidat kepala daerah yang tengah sibuk menarik simpati publik. Ia dinilai kalah seksi dengan isu ekonomi dan kesejahteraan yang mendominasi ruang kampanye, padahal jika merujuk pada latar belakang dan sejarah berdirinya republik ini pelayanan publik menempati posisi yang sangat strategis.

Sebagaimana disitir dalam Buku Rencana Strategis Ombudsman RI Tahun 2020-2024, tujuan pembentukan suatu negara adalah agar masyarakat memperoleh kesejahteraan dan keadilan. Dalam pembukaan UUD 1945, mandat tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia disebutkan antara lain: "...Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia".

Sejatinya tujuan negara dimaksud selaras dengan fungsi dari Ombudsman RI, yakni sebagai lembaga negara independen yang dibentuk untuk menjalankan fungsi pengawasan pelayanan publik. Tujuan pengawasan pelayanan publik adalah melindungi hak warga negara mencapai kesejahteraan. Tiga tujuan bernegara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD Tahun 1945 sesuai mandat Ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga yang memiliki kedudukan dan fungsi strategis dalam mengawal dan mengawasi penyelenggara negara dan pemerintahan serta semua yang terkait dengan obyek pengawasan.

Ombudsman RI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan pengawasan penyelenggaraan layanan publik diwujudkan dalam 2 (dua) tugas utama, yaitu penyelesaian laporan dan pencegahan maladministrasi. Dua fungsi utama tersebut menunjukkan bahwa Ombudsman RI tidak hanya melayani dan menyelesaikan laporan/pengaduan masyarakat tentang maladministrasi tetapi juga melakukan fungsi mencegah maladministrasi dengan memastikan penyelenggaraan pelayanan publik telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan. Tugas pencegahan dimaksud agar penyelenggara negara dan pemerintahan memiliki kesadaran sendiri untuk memberikan pelayanan publik secara baik kepada masyarakat.

Genealogi Lembaga Negara derivatif di Indonesia menempatkan Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, berada pada tataran antara eksekutif dan legislatif untuk membantu kinerja penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik. Hasil kinerja Ombudsman RI dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan sebagai dasar dilakukannya upaya korektif untuk memperbaiki, meningkatkan, dan menyempurnakan kualitas pelayanan publiknya. Sehingga peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pembangunan pelayanan publik makin meningkat. Adapun pemangku kepentingan Ombudsman RI adalah: Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, pimpinan penyelenggara negara, DPR dan/atau DPRD, BUMN/BUMD, BHMN, entitas penyelenggara pelayanan, organisasi kemasyarakatan dan profesi, lembaga perseorangan dan Warga Negara Indonesia.

Apabila calon kepala daerah yang bertarung dalam kontestasi Pilkada hari ini dapat sedikit membaca dan menganalisa fenomena politik pemerintahan yang berkembang di dunia terkini, tentu isu pelayanan publik dapat digeser ke posisi yang lebih urgen dan strategis. Mengambil ungkapan Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Yogyakarta yang populer dengan semboyan "Tahta Untuk Rakyat" sudah semestinya paradigma politik para kandidat bisa lebih direvisi. Bukan tanpa hasil, keberanian untuk meluncurkan isu pelayanan publik sebagai bahan kampanye terbukti secara empiris mampu mengantarkan ke kursi pemenang.

Terlepas dari dinamika dan kalkulasi politik yang melingkupinya, pada salah satu Pilkada ada seorang kepala daerah yang berhasil meraih zona hijau di ajang Survei Kepatuhan dan konsisten mengusung isu pelayanan publik dalam materi kampanyenya tercatat berhasil memenangkan kontestasi Pilkada. Dari ini dapat diambil benang merah, bahwa mengusung isu pelayanan publik tidak lantas membuat seorang calon kepala daerah kehilangan magnet politisnya. Justru jika janji-janji pelayanan publiknya dapat diimplementasikan dalam kepemimpinannya, dan hal tersebut bisa menjadi media kapitalisasi politik personal.

Saya berkeyakinan bahwa keberanian untuk menjadikan isu pelayanan publik sebagai janji politik dan bahan kampanye adalah sebuah keniscayaan. Dengan didukung kerja keras, kerja cerdas, dan kalkulasi politik yang mumpuni para kandidat tak perlu ragu dan malu menawarkan konsep dan terobosan yang lebih baik di bidang pelayanan publik. Pemilih cerdas akan dengan cepat menangkap janji kampanye ini sebagai sebuah tawaran politik yang mencerahkan dan layak dipertimbangkan sebagai pilihan yang pas di bilik suara nanti. Tidak mudah tentunya, mengingat laku politik dan suasana transaksional masih mendominasi dunia perpolitikan di tanah air. Namun sebagai sebuah pilihan dan ikhtiar, upaya ini bukanlah sebuah langkah angan belaka. (ori-kalbar, br)





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...