• ,
  • - +

Artikel

Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Permasalahan Banjir dan Infrastruktur Melalui Pendekatan COAD
• Jum'at, 07/05/2021 • Agus Ferdinand, S.T.
 
Agus Ferdinand, S.T., Asisten Pratama Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Timur

Akhir-akhir ini permasalahan banjir dan kerusakan jalan terus mencuat ke dalam radar pemberitaan. Semakin terjejaringnya masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan ke dalam media sosial menyebabkan kedua permasalahan di atas sering menjadi isu dan topik utama dalam ruang diskusi formal dan informal. Tidak jarang masyarakat meminta kinerja cepat dari pemerintah, terlepas dari proses dan mekanisme penganggaran kegiatan yang kadang memakan waktu tidak sebentar. Ekspektasi dari masyarakat yang semakin tinggi menjadi tantangan sekaligus pertanda semakin kompleksnya manajemen sebuah kota seiring pertumbuhan dan perkembangannya.

 

Konsekuensi Tumbuh Kembang Kota

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, persentase penduduk daerah perkotaan di Indonesia pada tahun 2020 adalah 56,7%, sedangkan proyeksi pada tahun 2025, 2030, dan 2035 adalah masing-masing 60%, 63,4%, dan 66,6%. Data-data tersebut tampaknya memperlihatkan arah pertumbuhan kawasan perkotaan yang semakin pesat seiring pertambahan penduduk (kelahiran, urbanisasi, dll) dan perluasan area lingkungan binaan (pemukiman, bisnis, dll). Namun seperti yang telah dibuka pada paragraf sebelumnya, pertumbuhan sebuah kota hampir pasti akan diikuti oleh permasalahan-permasalahan yang sering timbul baik karena kurang baiknya tata kelola, ataupun karena tata kelola yang tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kota.

World Resources Institute Indonesia menekankan pertumbuhan kota yang tidak terkelola akan menimbulkan setidaknya tiga permasalahan, yaitu kesenjangan yang semakin besar, tekanan ekonomi di seluruh kota, dan masalah lingkungan hidup. Khusus pada permasalahan lingkungan hidup, salah satu hal yang disorot adalah wilayah perkotaan yang tumbuh pesat di kawasan pesisir dataran rendah dan dataran banjir. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab utama bencana banjir. Sedangkan rilis dari Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menyebutkan ada enam permasalahan di perkotaan, yaitu tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan yang hampir 2 kali lipat pertumbuhan penduduk nasional, kualitas dan konektivitas antar infrastruktur yang kurang memadai, minimnya ketersediaan ruang publik, kuantitas sampah dan polusi yang semakin meningkat, perekonomian yang informal yang tidak terkendali, dan minimnya langkah antisipasi dan mitigasi bencana. 

Walaupun belum bisa dianggap merepresentasikan semua aspek permasalahan, kedua sudut pandang di atas sama-sama menekankan pertumbuhan kota yang semakin pesat berhubungan dengan meningkatnya permasalahan lain, khususnya yang terkait banjir dan infrastruktur. Jika kita mundur jauh ke belakang, semua area yang saat ini menjadi kawasan perkotaan adalah kawasan alami sebelum dihuni oleh manusia. Tidak jarang, pusat-pusat strategis aktifitas manusia baik dari segi perdagangan, militer, maupun sumber daya air didirikan di atas kawasan yang dulunya adalah daerah resapan dan aliran alami air (sungai alam). Seiring waktu, pusat-pusat strategis tadi banyak berkembang menjadi kota-kota besar yang kita kenal saat ini. 

Sedangkan infrastruktur itu sendiri adalah fasilitas fisik dasar yang menunjang aktifitas kolektif manusia. Pada umumnya infrastruktur meliputi hal-hal yang terkait dengan perhubungan (jalan, jembatan, pelabuhan, dll), penampungan air bersih (waduk, bendungan, dll), saluran air (drainase, irigasi, dll), serta hal-hal fisik dasar lainnya. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan akan menciptakan dan memperkuat struktur dan jejaring kawasan dengan mengumpulkan titik-titik konsentrasi aktifitas manusia. Titik temu antara infrastruktur dan banjir sudah cukup jelas. Sebagai contoh, infrastruktur seperti drainase dan kolam penampungan dibangun salah satunya terkait upaya pencegahan dan penanggulangan banjir. Di sisi lain, sudah jamak kejadian banjir mempengaruhi kondisi dan kelayakan jalan.

 

Partisipasi Masyarakat dan Pengelolaan Data

Sebelum kembali ke pembahasan terkait banjir dan infrastruktur, ada baiknya mundur sejenak ke tahapan perencanaan pembangunan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pemerintah daerah dapat menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah yang akhirnya akan dijabarkan secara hierarkis ke bawah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah hingga Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Selanjutnya, RKPD dijabarkan lagi secara mendetail melalui Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan langsung oleh instansi/perangkat daerah terkait dalam waktu satu tahun. Dalam ruang lingkup infrastruktur dan penanggulangan banjir di daerah, rencana kerja terkait dua hal tersebut dilaksanakan oleh perangkat daerah yang membidangi pekerjaan umum.

Setidaknya ada dua hal yang cukup penting terkait sistem perencanaan pembangunan di atas. Hal pertama adalah partisipasi masyarakat, dan yang kedua adalah data serta informasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 menyatakan salah satu tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat, yaitu keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan (Pasal  2 ayat 4 beserta penjelasan). Secara formal, partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah dapat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang minimal dilaksanakan setahun sekali oleh penyelenggara daerah. Musrenbang dilaksanakan secara bottom up, yaitu menghimpun partisipasi masyarakat dari level kelurahan, kecamatan, hingga kota dan lalu provinsi. Hasil dari partisipasi masyarakat tersebut akan menjadi bahan pemerintah daerah dan instansi pelaksana untuk menyusun usulan anggaran serta kegiatan yang sebelumnya dirumuskan terlebih dahulu dalam RPJMD dan RKPD.

Terkait dengan data dan informasi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 juga mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi akurat yang dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 31). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2017, data dan informasi terkait pembangunan daerah dikelola secara terpadu dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD). Cakupan informasi yang dikelola dalam SIPD antara lain kondisi geografis, demografi, potensi sumber daya, ekonomi dan keuangan, serta informasi lain yang terkait dengan daerah. Sumber data dan informasi dapat berasal dari sumber primer ataupun sekunder. Sumber primer diperoleh dari kegiatan penelitian, monitoring dan evaluasi, serta kegiatan sejenis lainnya yang dilaksanakan secara periodik oleh Perangkat Daerah. Sedangkan sumber sekunder dapat diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), ataupun hasil riset dan studi oleh lembaga yang berkompeten.

Ruang lingkup penanggulangan permasalahan infrastruktur dan banjir oleh pemerintah daerah juga tidak lepas dari rangkaian sistem perencanaan pembangunan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Melalui usulan masyarakat ataupun studi lapangan,  perangkat daerah teknis dapat merumuskan dan menentukan perencanaan infrastruktur serta penanganan banjir menjadi kegiatan yang lebih rigid melalui penganggaran yang terpadu. Secara sederhana, kegiatan terpadu ini dapat dirangkai dalam tiga fase, yaitu perencanaan, pelaksanaan/pembangunan, dan monitoring. Dari ketiga rangkaian tersebut, fase perencanaan dan fase monitoring adalah yang paling dipengaruhi oleh keberadaan data dan informasi.  

Ambil contoh bangunan drainase yang merupakan infrastruktur penanggulangan banjir. Sebelum membangun sebuah drainase, diperlukan data-data dasar seperti kemiringan lahan, potensi debit air yang dapat ditampung, arah aliran air, hingga mungkin jenis tanah dan kondisi eksisting lahan dimana drainase tersebut akan dibangun. Data-data dasar tadi akan berguna bagi perencanaan drainase. Semakin banyak, detail, dan valid data-data yang diperoleh perencana, maka semakin baik produk perencanaan yang dihasilkan. Produk perencanaan yang baik akan membantu menghasilkan drainase yang berfungsi secara optimal. Melompat ke fase pasca pembangunan atau monitoring. Ada kalanya karena satu dan lain hal drainase tersebut tidak optimal dalam menjalankan fungsinya. Beberapa hal yang dapat terjadi antara lain kerusakan struktur (terinjak kendaraan berat, longsor, dll), tersumbat oleh sampah atau endapan lumpur, hingga daya tampung drainase yang sudah tidak bisa lagi mengakomodasi debit air dari bagian hulu. Data-data valid yang dikumpulkan pada pada fase monitoring ini akan memberikan bekal kepada perangkat teknis untuk menindaklanjuti apakah perlu perbaikan menyeluruh atau hanya sekedar perbaikan sementara dalam lingkup tanggap darurat.

Pada titik inilah partisipasi masyarakat dan pengelolaan data/informasi bertemu. Data terkait dengan perencanaan ataupun monitoring infrastruktur dan penanganan banjir pada umumnya memang bersifat teknis dan terukur, khususnya data untuk perencanaan yang diolah oleh perencana yang sudah memiliki kompetensi khusus dan ditunjuk oleh pihak terkait (instansi teknis atau akademisi). Namun partisipasi masyarakat (awam/non teknis) untuk berperan dalam penyediaan data tidak bisa dikesampingkan. Setidaknya ada 3 (tiga) alasan mengapa partisipasi masyarakat bisa menjadi faktor yang penting dalam perencanaan penanganan banjir dan infrastruktur. Pertama, jumlah sumber daya manusia (SDM) dari perangkat daerah teknis yang terbatas. Tentu sukar apabila SDM yang terbatas ini harus melayani wilayah yang luas secara periodik. Kedua, pada umumnya masyarakatlah yang lebih tahu dan hapal mengenai keadaan di lingkungan sekitarnya. Pengetahuan ini khususnya terkait dengan kejadian yang terus berulang (siklus) seperti genangan air ataupun drainase yang meluap.

Alasan yang ketiga kembali berhubungan dengan perkembangan kota. Sudah jamak diketahui, semakin banyak penduduk yang mendiami suatu wilayah/kota, akan diikuti dengan semakin naiknya jumlah pengguna kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin banyak akan diikuti oleh potensi meningkatnya kerusakan pada jalan. Selain itu, semakin meluasnya area aktifitas manusia berbanding lurus dengan berkurangnya area resapan air yang pada akhirnya akan berkontribusi kepada fenomena banjir. Pendek kata, akan semakin banyak permasalahan terkait infrastruktur dan banjir yang dialami oleh pusat-pusat aktifitas manusia di masa depan.

 

Model COAD

Partisipasi masyarakat terkait data dan informasi pembangunan seperti yang telah dipaparkan di atas sekali lagi tidak akan terlepas pada bagian hilirnya dengan perangkat daerah teknis. Bagaimanapun juga perangkat daerah teknislah yang diamanatkan untuk melaksanakan perencanaan, pembangunan, dan monitoring fisik di daerah tersebut. Terkait hal tersebut, model pengelolaan data yang melibatkan masyarakat dan pemerintah/perangkat teknis diupayakan agar bersifat kolaboratif dan kontinyu serta mengakomodasi peran masyarakat pada bagian paling hulu. Secara sederhana, model pendekatan tersebut adalah C (Collecting), O (Organizing), A (Analyzing), dan D (Decision Making), atau dapat disingkat sebagai COAD Model ini sedikit banyak menyesuaikan perkembangan teknologi informasi yang semakin mudah diakses oleh masyarakat luas. Berikut adalah pemaparannya.

Collecting atau pengumpulan data. Pada tahapan ini keterlibatan masyarakat menjadi yang utama. Hal ini karena data yang diperoleh masih bersifat sederhana dan "mentah". Pengumpulan data dapat menggunakan sistem geotagging  yang mampu menampilkan data lokasi secara spasial berdasarkan koordinat geografis (lintang dan bujur). Data lokasi selanjutnya dikombinasikan dengan data fotografi sekaligus data atribut yang memberikan keterangan tertulis terkait informasi foto. Pendekatan seperti ini cukup mudah dan sudah jamak dilakukan oleh pengguna telepon pintar (smartphone). Sebagai contoh, ketika kebetulan menemukan jalan rusak atau titik banjir yang baru, masyarakat dapat langsung memotret dan menambahkan keterangan pada foto sebelum mengirimkannya ke sistem melalui aplikasi yang dapat diunduh di smartphone. Aplikasi tersebut harus gampang digunakan oleh masyarakat (user friendy). Peran pemerintah dan perangkat teknis pada fase ini adalah menyediakan seluruh sistem sebagai wadah pengumpulan data.

Organizing atau pengorganisasian data. Karena sifatnya yang sudah mulai kompleks dan teknis, mulai pada tahapan ini seluruh proses melibatkan perangkat teknis atau pihak terkait yang ditunjuk dan memiliki kompetensi. Secara ringkas pengorganisasian data adalah kegiatan mengelompokan data-data berdasarkan kemiripan karakteristik. Karena telah memiliki koordinat geografis, data yang terkumpul pada tahapan collecting secara otomatis akan langsung melekat pada peta kawasan yang ada dalam sistem. Selanjutnya data-data tersebut akan dikelompokan lagi berdasarkan karakteristik-karakteristik lain seperti jenis data (jalan, jembatan, drainase, genangan air, dll), waktu pengambilan, dan klasifikasi lain yang sekiranya diperlukan dalam pengelompokan. Tujuan dari pengorganisasian data adalah untuk memudahkan proses analisis pada tahapan selanjutnya.

Analyzing atau analisis data. Pada tahapan ini, kumpulan besar data yang sangat banyak dan kompleks akan diteliti, diolah, dan diinterpretasikan oleh para pakar. Data-data yang diolah bukan hanya berasal dari masyarakat, melainkan juga dikombinasikan dengan data dasar seperti data fisik kota (elevasi, jenis tanah, tutupan lahan, dll), iklim (curah hujan, kelembaban, dll), tata ruang, dan data-data lain yang relevan terkait infrastruktur dan banjir. Produk analisis dapat berupa peta ataupun bentuk pemaparan teknis lainnya. Hasil analisis yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan akan menjadi informasi yang berguna bagi bahan proyeksi serta prediksi bagi para pengambil keputusan di pemerintah daerah/instansi teknis. Paling tidak, hasil analisis tersebut dapat menjadi bahan pendukung dalam kegiatan perencanaan yang lebih rigid.

Decision Making atau pengambilan keputusan. Seperti yang sudah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, hasil analisis akan mempermudah pemerintah daerah dalam menentukan tindak lanjut yang bersifat teknis. Pengambilan keputusan juga terkait dengan penentuan prioritas tindak lanjut yang akan dirumuskan menjadi kegiatan. Ada kegiatan yang bersifat taktis atau jangka pendek, ada juga yang bersifat strategis atau jangka panjang. Oleh karena itu tahapan pengambilan keputusan ini akan mempengaruhi penyusunan rencana kerja dan anggaran yang dilakukan oleh perangkat daerah teknis.

 

Penutup

Model kolaborasi di atas adalah pendekatan yang masih sederhana. Tidak tertutup kemungkinan masih banyak pendekatan lain yang lebih dapat diandalkan (reliable), efektif, dan efisien, terutama dalam menghadapi tantangan dan hambatan yang semakin dinamis. Secara khusus, Pemerintah bekerjasama dengan Ombudsman Republik Indonesia juga telah menyelenggarakan Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) - Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) sebagai saluran bagi masyarakat untuk mengadukan permasalahan terkait penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Terlepas dari apapun pendekatan yang diambil, yang paling penting adalah penekanan kepada peran serta masyarakat yang sadar dan peduli untuk mengawasi daerahnya.

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menekankan bahwa urusan terkait pekerjaan umum dan penataan ruang adalah urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Atas dasar itulah, penanganan permasalahan mengenai infrastruktur fisik dan penanganan banjir harus selalu menjadi perhatian pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat juga ditekankan agar mencakup pada perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan daerah (Pasal 354 Ayat 3). Maka dari itu sinergi antara dua pemangku kepentingan, masyarakat dan pemerintah daerah, harus selalu terjalin. Sinergitas ini pada akhirnya akan mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, dan bersih.

 

Pranala

https://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-hasil-proyeksi-penduduk-menurut-provinsi-2015---2035.html

https://wri-indonesia.org/id/blog/3-permasalahan-yang-timbul-akibat-pertumbuhan-kota-tanpa-tata-kelola-yang-baik

 https://economy.okezone.com/read/2019/09/23/470/2108157/kota-tampak-lebih-maju-tapi-menyimpan-6-masalah-apa-saja





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...