• ,
  • - +

Artikel

Mencari Keadilan di Ombudsman
ARTIKEL • Sabtu, 15/08/2020 • Dadan S Suharmawijaya
 
Anggota Ombudsman, Dadan S Suharmawijaya

Dalam banyak literatur maupun kamus hukum, projustitia diartikan demi hukum, untuk hukum atau undang-undang. Dengan demikian secara lebih luas, segala upaya proses pencarian keadilan melalui aparat penegak hukum dan perangkat hukum dengan berlandaskan peraturan perundangan yang umumnya berujung di pengadilan, masuk dalam jalur projustitia dengan cara litigasi.

Sebagian besar problem keadilan umumnya berupa sengketa hak yang berujung konflik maupun ketidakpuasan layanan yang berakibat terenggutnya hak dan berujung gugatan. Namun upaya pencarian keadilan maupun penciptaan tertib sosial dalam banyak referensi juga bisa diupayakan melalui jalur non-projustitia dan umumnya dengan cara non-litigasi.

Sebagai jalur alternatif, jalur non projustitia tentu banyak dan bervariasi. Tidak cukup ruang dalam tulisan ini untuk menjelaskan satu-persatu. Namun beberapa bisa jadi highlight (untuk disoroti) dalam bagian tulisan ini. Jalur ini, umumnya melekat pada pengelolaan pengaduan (complaint handling) atau quality assurance (jaminan mutu) atas layanan yang diberikan institusi terkait. Cara yang dilakukan lazimnya melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi dan sebagainya, yang di sana tidak ada putusan (melainkan kesepakatan yang dibuat oleh para pihak). Sebagian pengamat ada yang memasukan sebagai bagian Alternatif Penyelesaian Perkara (Alternatif Dispute Resolution).

Untuk sektor perbankan misalnya, dilembagakan OJK dengan mengatur POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang alternatifnya ada yang diarahkan juga ke LAPSPI (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia). Untuk pengawasan Rumah Sakit dilembagakan BPRS (Badan Pengawas Rumah Sakit), untuk aspek pengawasan tenaga kesehatannya ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Demikian juga dengan lembaga pengawasan dan pengaduan sektor-sektor lainnya, umumnya punya internal complaint handling dan/atau pengawas khusus.

Untuk lingkup yang lebih luas namun tetap terbatas, dibentuk Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik yaitu Ombudsman Republik Indonesia. Lingkup yang sangat luas karena meliputi seluruh sektor penyelenggaraan negara. Terbatas karena hanya meliputi institusi negara dan swasta/perorangan yang menggunakan uang negara atau mendapat mandat menyelenggarakan tugas negara. Memang Ombudsman bisa menangani kasus di swasta murni seperti bank swasta, tetapi harus sudah ditangani sebelumnya oleh institusi negara yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bank Indonesia (BI). Demikian juga sektor swasta lainnya, dengan syarat sudah ditangani institusi Negara yang punya otoritas/kewenangan khusus langsung di sektor tersebut. Itupun yang diadukan ke Ombudsman bukan institusi swastanya, tetapi institusi negara yang seharusnya menangani kasus tersebut.

Sebagian besar pengamat menyebut bahwa Ombudsman RI masuk kategori jalur non-projustitia dalam mencari keadilan. Penilaian ini sebagian besar betul namun tidak sepenuhnya, selain karena tidak dicantumkan secara jelas dalam UU 37/2008 tentang Ombudsman, juga karena penangan perkara, laporan atau pengaduan di Ombudsman tidak hanya mekanisme mediasi dan konsiliasi. Namun semua prosesnya dilakukan melalui klarifikasi, investigasi, bahkan mystery shopper, yang kemudian setelah melalui tahap mediasi atau konsiliasi dapat berakhir dengan ajudikasi atau rekomendasi.

Ajudikasi jelas memerlukan hukum acara yang menjadi ciri khas jalur projustitia dan cara litigasi. Namun Ajudikasi di Ombudsman RI dilakukan terbatas untuk aspek ganti rugi. Sementara rekomendasi Ombudsman bukan merupakan kesepakatan yang dibuat oleh para pihak. Rekomendasi dalam konteks Ombudsman RI bukan pula berarti saran atau referensi semata, sebagaimana pengertian umumnya. Rekomendasi Ombudsman RI pada hakekatnya adalah putusan sebagaimana putusan pengadilan, namun karena bukan jalur projustisia maka tidak disebut putusan. Maka istilah "rekomendasi" dalam pengertian khususlah yang dipakai.

Rekomendasi Ombudsman RI bersifat "Final dan Mengikat". Ini jelas tertera dalam UU 37/2008 tentang Ombudsman. Artinya tidak ada mekanisme banding, dan wajib dilaksanakan. Karenanya Rekomendasi Ombudsman RI merupakan produk akhir dan tertinggi dalam penanganan suatu kasus. Oleh internal Ombudsman RI sendiri rekomendasi menjadi produk yang dihindari untuk dikeluarkan. Di bawah rekomendasi ada yang disebut LAHP (Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan).

Di dalam LAHP inilah kronologis sebuah kasus dipaparkan, mulai dari pemeriksaan dokumen yang disajikan para pihak, telaah perundangan, proses investigasi, proses mediasi dan konsialiasi, kemudian pendapat Ombudsman sebagai hasil analisis. Selanjutnya disajikan maladministrasi yang disimpulkan. Baru di bagian akhir muncul saran dan tindakan korektif. LAHP yang memuat saran dan tindakan korektif inilah yang oleh banyak orang sering disalahartikan sebagai rekomendasi Ombudsman. Padahal belum sampai pada level rekomendasi Ombudsman. Produk di bawah rekomendasi inilah yang menjadi andalan utama Ombudsman selama ini.

LAHP sifatnya mengikat karena memiliki batas waktu dan konsekuensi untuk melaksanakan saran dan tindakan korektif. Apabila dalam batas waktu yang ditentukan tersebut tidak ada saran dan tindakan korektif yang dilakukan. Maka LAHP tersebut dapat ditingkatkan statusnya menjadi Rekomendasi Ombudsman RI, melalui rapat Pleno seluruh Anggota/Pimpinan Ombudsman. Rekomendasi Ombudsman RI sangat jarang dikeluarkan, selain karena dihindari, kebanyakan kasus di Ombudsman selesai hanya sampai di produk LAHP.

Jadi kalo ada yang bertanya, "berapa banyak rekomedasi Ombudsman yang dilaksanakan instansi pemerintah atau instansi terlapor?", Ya tidak banyak karena, Ombudsman sendiri menghindari dan hanya sedikit mengeluarkan "rekomendasi". Itupun kalo terpaksa. Tapi kalo ditanya, "berapa banyak saran dan tindakan korektif yang dilaksanakan instansi pemerintah atau instansi terlapor?" Jawabannya ribuan se-Indonesia, karena setiap LAHP yang sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani Ombudsman di dalamnya bisa ada beberapa tindakan korektif. Jadi satu kasus, tindakan korektifnya bisa banyak. Sebagian besar dilaksanakan oleh pihak terlapor.

Saat ini setiap kasus di Ombudsman ditutup ditandai dengan dilaksanakannya saran dan tindakan korektif yang termuat dalam LAHP. Ini berarti proses yang dilakukan maksimal hanya sampai mediasi atau konsiliasi. Plus Ajudikasi khusus bila ada gugatan besaran ganti rugi. Mediasi dan konsiliasi di Ombudsman RI tidak jauh berbeda sebagaimana dengan model jalur non projustitia lainnya. Karenanya pengembangan kapasitas SDM Ombudsman RI banyak diarahkan pada mediator, konsiliator dan ajudikator yang handal. Tentu dengan kapasitas investigator yang handal pula sebagai standar minimal menjadi asisten Ombudsman sebagai penunjang pelaksana tugas Sembilan Anggota Ombudsman RI sebagai pimpinan kolektif lembaga.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...