Menakar Peran Ombudsman dalam Pelayanan Publik: Arsitek atau Pemadam Kebakaran?

Image umum yang melekat kepada Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga untuk menyampaikan pengaduan. Ombudsman sering kali diposisikan sebagai "pemadam kebakaran" dalam pelayanan publik. Ketika terjadi maladministrasi, laporan masuk, kemudian melakukan pemeriksaan, menelusuri fakta, menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) hingga mengeluarkan rekomendasi perbaikan. Peran ini penting, tetapi cenderung reaktif. Padahal, di tengah kompleksitas birokrasi dan meningkatnya ekspektasi publik, Ombudsman juga memikul peran yang jauh lebih strategis, yaitu sebagai arsitek pelayanan publik.
Dalam sebuah bangunan, pemadam kebakaran hanya dibutuhkan ketika terjadi insiden. Sementara arsitek bertugas merancang bangunan sejak awal agar aman, nyaman, dan sesuai kebutuhan penggunanya. Ia bekerja bersama insinyur sipil, dalam analogi ini adalah birokrasi pemerintah, untuk memastikan rancangan tersebut dapat dibangun secara teknis dan fungsional. Jika bangunan pelayanan publik sering terbakar oleh praktik maladministrasi, maka kita perlu bertanya, apakah selama ini kita hanya mengandalkan pemadam, tetapi lupa memperkuat peran arsitek?
Dalam praktik kelembagaan saat ini, fungsi Ombudsman lebih berat pada aspek pemeriksaan laporan. Hal ini bisa dilihat dari alokasi anggaran dan sumber daya yang lebih besar dalam pelaksanaan fungsi pemeriksaan laporan. Fungsi ini memang penting untuk menegakkan keadilan administratif, namun hanya menyentuh permukaan dari masalah struktural dalam pelayanan publik. Sementara itu, fungsi pencegahan maladministrasi, yang semestinya membangun sistem pelayanan publik yang lebih tahan terhadap kegagalan, justru belum mendapat perhatian yang setara, baik dari sisi kebijakan internal, struktur organisasi, maupun dukungan sumber daya.
Pada pelaksanaannya, dua fungsi yang sangat berbeda secara karakteristik dan pendekatan ini dijalankan oleh satu unit kerja yang sama (di pusat). Asisten Ombudsman bertanggung jawab sekaligus untuk menyelesaikan laporan dan melakukan kajian pencegahan. Padahal, keduanya membutuhkan pendekatan yang berbeda, pemeriksaan bersifat investigatif dan korektif, sementara pencegahan bersifat analitik, kolaboratif, dan sistemik. Kombinasi ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih tugas, beban kerja tidak seimbang, dan kebingungan peran.
Dari data tahun 2019 dan tahun 2024, Ombudsman RI menerima sekitar 7.000 laporan pada kedua tahun tersebut, sementara jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 285,7 juta jiwa. Artinya, hanya sekitar 0,0025% penduduk yang terwakili dalam laporan pengaduan. Dengan kata lain, hanya 1 dari 40.000 warga negara yang suaranya tercermin dalam data laporan setiap tahun. Rendahnya angka ini menunjukkan bahwa laporan masyarakat bukan cerminan utuh dari persoalan pelayanan publik di lapangan. Banyak warga tidak tahu mereka bisa melapor, tidak punya akses, atau telah apatis. Hal ini menunjukkan bahwa kerja reaktif semata tidak cukup.
Kelompok silent citizen yakni masyarakat yang mengalami maladministrasi tetapi tidak pernah melapor, berada di mana-mana. Seperti petani yang tidak mendapatkan pupuk bersubsidi, ibu rumah tangga yang kesulitan akses bantuan pangan, masyarakat yang kesulitan dalam kebijakan penyediaan LPG 3 kg, hingga anak-anak yang mengalami stunting karena layanan kesehatan tidak menjangkau wilayahnya. Mereka adalah kelompok yang sering luput dari radar pengawasan karena tidak menyuarakan keluhan. Oleh sebab itu, kerja pencegahan tidak boleh bergantung pada laporan saja. Ombudsman harus hadir sejak awal untuk mendesain ulang sistem layanan publik yang lebih adil dan inklusif.
Sudah saatnya Ombudsman RI melakukan reformasi struktural dan fungsional. Pisahkan fungsi pemeriksaan dan pencegahan dalam struktur organisasi. Bangun unit-unit spesifik dengan indikator kinerja, rencana kerja, dan SDM yang berbeda dengan memperkuat sistemknowledge management. Dan yang terpenting, tingkatkan kapasitas pencegahan, bukan sebagai kegiatan sisa setelah laporan selesai ditangani, tetapi sebagai jalan utama menuju reformasi pelayanan publik yang lebih merata dan adil.
Dengan memperkuat peran sebagai arsitek, Ombudsman RI tidak hanya hadir ketika api sudah menyala, tetapi menjadi garda terdepan dalam mencegah kebakaran. Tidak hanya sebagai pemadam, tetapi sebagai perancang sistem pelayanan publik yang berdaya, adaptif, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang diam dalam statistik, tetapi paling rentan di lapangan. Bangunan pelayanan yang kokoh tidak dibangun dari laporan yang dipadamkan, tetapi dari rancangan sistemik yang antisipatif. Negara tidak boleh terus bergantung pada pemadam tanpa pernah mengundang arsitek ke dalam ruang desain pelayanan publik.
M. Ilham Setiawan Bahri
Asisten Ombudsman RI








