Membaca Arah Restorasi Pelayanan Publik
Seiring berkembangnya pemahaman tentang tata kelola pemerintahan secara konseptual maupun kontekstual demi peningkatan pelayanan yang lebih prima dan menyeluruh kepada setiap lapisan masyarakat, maka pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan program ASTA CITA sebagai terobosan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju. Dalam butir ketujuh asta cita berbunyi memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Kebijakan asta cita bertujuan untuk menciptakan pengelolaan terhadap seluruh sumber-sumber berpotensi baik SDM maupun sumber daya alam agar terfokus pada pembangunan negeri. Jargon "Kolam Susu" diupayakan tidak hanya sebatas lirik lagu tetapi benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dalam upaya tersebut, satu satu pilar penting yang perlu direformasi dalam bernegara adalah birokrasi.
Kotak Pandora Pelayanan publik
Demokrasi tidak hanya berhubungan dengan kesetaraan ekspresi sosial politik melainkan hak setiap warga negara mendapatkan pelayanan pemerintah yang dipilih secara demokratik. Pelayanan pemerintah melalui penata-kelolaan birokrasi yang baik akan menghasilkan output yang kompeten, berkualitas dan menciptakan inovasi-inovasi baru yang mendukung pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang berkualitas. Pelayanan prima (service of excellent) berorientasi pada pemenuhan harapan publik mengenai kualitas barang, jasa, dan pelayanan administrasi. Birokrasi kita hari-hari ini lebih dihiasi beragam isu yang bertebaran, mulai dengan isu-isu netralitas yang berimplikasi pada terdegradasinya kualitas pelayanan publik bahkan keberpihakan pejabat tertentu dalam pilkada. Pejabat publik pun tenggelam dan tergerus oleh isu destruktif seperti ini sehingga melupakan tugas utamanya yakni melayani masyarkat. Isu-isu ini seakan menjadi pengalihan terhadap kinerja yang buruk, perilaku KKN bak jamur di musim hujan.
Pelayanan kepada masyarakat terkadang dipandang sebelah mata, kebijakan yang kurang produktif baik secara prosedural maupun substansial akibat dari proses formulasi yang minim partisipasi masyarakat. Akibatnya, potensi maladmnistrasi dalam berbagai rupa pun lahir sebagai output dari pergumulan demokrasi. Politik transaksional, dan sentralisme politik yang menjauhkan susbtansi demokrasi, membunuh kegelisahan rakyat, sekaligus mengucilkan rakyat dari layanan publik. Berbagai pandangan yang menempatkan birokrasi yang lebih banyak menghabiskan daripada menghasilkan merupakan suatu pukulan telak bagi era demokratisasi saat ini. Semuanya ini tumpah ruah saat kotak pandora terbuka lebar.
Laporan tahunan Ombudsman Republik Indonesia tahun 2023 menunjukan bahwa, Ombudsman pusat dan kantor perwakilan secara keseluruhan menangani 26.461 kasus, mulai dari laporan masyarakat sebanyak 7.392, konsultasi non-laporan 15.348, respon cepat sebanyak 948, investigasi atas prakarsa sendiri 118, serta tembusan sebanyak 2.655 kasus. Melimpahnya laporan pengaduan masyarakat pengaduan atas layanan publik baik jasa, administrasi maupun barang perlu disikapi dengan bijak. Wujud kehadiran negara adalah memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya. Argumentasi kebijakan desentralisasi sebagai alat pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi lokal dalam identifikasi masalah, penetapan proyek pembangunan, perencanaan, dan pelaksanaan yang pada gilirannya meningkatkan keberlanjutan kemakmuran sosial masyarakat di daerah terlihat hanya sebagai fatamorgana belaka. Bermula dari kebiasaan perbuatan maladministrasi hingga menjadi mewabahnya korupsi dan buruknya etika biroktasi mencerminkan kita harus segera berbenah, dan optimis akan suatu perubahan.
Etika birokrasi dalam konteks pelayanan publik yang degradatif memberi ruang bagi terciptanya pandangan negatif oleh masyarakat tentang aparat birokrasi serta sistem tata kelola pemerintah yang terlihat melorot. Mentalitas "priyayi" pada aparatur sipil Negara melunturkan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Mereka pada umumnya bekerja untuk mengejar pangkat dan jabatan serta kedudukan dan simbol-simbol prestise tertentu. Bahkan tidak sedikit yang menganggap prestasi bukan kebutuhan tetapi faktor kedekatan dengan atasan adalah sebuah keharusan.
Menyelamatkan publik
Menuju sebuah perubahan yang signifikat perlu ada keberanian dari seorang pemimpin untuk berpikir out of box dan cekatan dalam bertindak dan memutuskan sebuah kebijakan atas masalah yang terjadi. Kebijakan baru agar arah pembangunan kembali pada track yang tepat, pencerahan dan penguatan spirit baru dalam pengelolaan pemerintahan harus nampak. Itulah yang disebut restorasi. Melalui jalan restorasi birokrasi, geliat untuk memperkuat pencegahan maladministrasi yang bermuara kepada pemberantasan korupsi akan memberi dampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Semangat restorasi untuk menyelamatkan publik dari praktek maladministrasi perlu dipertimbangkan beberapa hal; Pertama, pendekatan kebijakan asimetris yang mengutamakan diferensiasi strategi berdasarkan kesadaran akan karakteristik ekosistem akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap negeri ini atau lebih spesifiknya rasa memiliki daerah. Seyogyanya potensi maladministrasi dapat ditekan melalui jalan restorasi agar menebalkan budaya atau kearifan lokal untuk langkah-langkah mitigasi. Dampak yang bisa dirasakan tentunya peningkatan kualitas kinerja pelayanan publik.
Kedua, budaya advesari yakni memberi ruang bagi lawan politik untuk menjadi kawan dalam perubahan. Pasca pemilihan presiden februari lalu, Presiden terpilih Prabowo Subianto melalukan hal ini. Merangkul semua stakeholder untuk bergotong royong membangun negara adalah kebijaksanaan berpolitik. Pasca perhelatan pilkada pun diharapkan kebiasaan ini mampu teraktualisasi di setiap daerah. Menggandeng lawan politik sebagai patner atau teman berdiskusi terkait solusi, strategi, ataupun terobosan-terobosan untuk bisa membangun daerah/negara bisa mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara.
Namun, pada kenyataanya di tempat lain, lawan politik cenderung dipandang sebagai objek yang harus selalu dijauhkan dan bahkan diekskomunikasikan dari kancah politik sebab akan membahayakan, mengoyangkan dan merong-rong kekuasaan yang telah dicapai melalui pesta demokrasi serta menghambat semangat restorasi birokrasi itu sendiri. Melalui cara merangkul, diharapkan mampu menjaga kestabilan politik sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu.
Ketiga, disposisi seorang pemimpin akan memberi efek yang besar terhadap terimplementasinya suatu program. Disposisi pemimpin sangat berpengaruh terhadap perkembangan birokrasi yang baik serta keberpihakan pemimpin dan birokrasi kepada masyarakat harus dijadikan suatu terobosan untuk bisa menumbuhkembangkan pola pelayanan publik dan akses dari dan ke publik yang transparan, akuntabel. Nampak dalam program ke tujuh Presiden Prabowo Subianto yaitu Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba. Sejatinya program ini sangat kontekstual sehingga aktualisasi atas program ini harus terejawantahkan dalam keseharian publik.
Pemimpin publik pun dalam melakukan rekrutmen pejabat publik untuk posisi strategis harus melalui sistem merit. Proses yang transparan dalam setiap tahapannya hingga proses fit and proper test diharapkan melahirkan insan-insan pejabat publik yang berkapasitas dan berkualitas dalam memberikan pelayanan dibutuhkan. Doktrinasi konsep Clean Government dan Good Governance melalui berbagai kegiatan sosialisasi kepada setiap ASN dan pejabat publik bahkan masyarakat penting diterapkan agar kesepahaman akan budaya pelayanan publik prima mampu terinternalisasi dengan baik mulai dari pimpinan hingga strata terbawah dalam struktur birokrasi. Outcome yang diidamkan yaitu terciptanya iklim pelayanan publik prima secara merata bagi seluruh masyarakat.
Keempat, mendobrak elitisme politik lokal yang membudaya seperti bosisme lokal, mental priyayi dan lain sebagainya. Hakikat birokrat dalam konteks demokrasi di Indonesia adalah melayani masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sehingga semangat untuk merestorasi birokrasi kita bisa secara perlahan-lahan terealisasi dan memungkinkan kita suatu saat nanti akan menjumpai suatu pelayanan yang menggembirakan, memuasakan, efektif, efiesien, professional, transparan, akuntabel, dan dari sana bisa terwujud cita-cita akan terciptanya good governance dan clean government menuju masyarakat madani yang sesungguhnya.
Penutup
Harapan publik untuk memperoleh pelayanan atas administrasi, barang dan jasa yang berkualitas tentunya dapat diwujudkan manakala komitmen pemerintah atau policy maker dan pelibatan partisipasi masyarakat untuk menutup ruang terjadinya maladministrasi berjalan pada koridor yang tepat. Ini akan membuahkan hasil-hasil terbaik bagi pelaksanaan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akhirnya target menuju Indonesia Emas 2024, mulai dari pemerataan ekonomi, perbaikan kesehatan masyarakat, hingga peningkatan investasi dan modernisasi industri menjadi lebih realistis.