• ,
  • - +

Artikel

Masalah Pedestrian sebagai Pelayanan Barang Publik
• Senin, 21/10/2019 • Asep Cahyana
 
Asep Cahyana - Keasistenan Resolusi dan Monitoring

Beberapa hari belakangan ramai lagi pemberitaan soal fasilitas pedestrian di ibu kota. Gubernur DKI Jakarta berencana mengeluarkan kebijakan mengenai pembagian waktu penggunaan trotoar bagi pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL). Permasalahan serupa pernah terjadi pada tahun 2018, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengizinkan PKL berjualan di trotoar Jalan Jatibaru Tanah Abang selama pembangunanskybridge. Saat itu Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya melakukan investigasi dan menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang memuat tindakan korektif kepada Pemprov DKI Jakarta. Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta juga tengah gencar membangun fasilitas pedestrian.

Hangatnya pemberitaan mengenai pedestrian menjadi momentum baik untuk menggugah kesadaran publik mengenai pentingnya fasilitas ini. Perlu juga menanamkan pemahaman kepada semua pihak, bahwa fasilitas pedestrian khususnya di perkotaan adalah barang publik yang sangat diperlukan bagi mobilitas masyarakat. Sayangnya bila merujuk data Ombudsman, belum banyak laporan masyarakat mengenai pedestrian. Padahal faktanya kita seringkali menemukan pedestrian yang rusak atau tidak tersedia sama sekali, ditempati PKL, dijadikan tempat parkir, dilintasi pengendara, dan kejanggalan lainnya. Kondisi ini menyiratkan pentingnya mengedukasi publik mengenai kedudukan fasilitas pedestrian dilihat dari sudut pandang pelayanan publik.

Fasilitas pedestrian merupakan pelayanan publik yang tergolong pelayanan barang publik. Hal ini merujuk Pasal 5 ayat (3) huruf a UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan bahwa pelayanan barang publik meliputi pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersuber dari APBN dan/atau APBD. Dengan demikian, ketersediaan fasilitas pedestrian menjadi kewajiban Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah selaku Penyelenggara Pelayanan Publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Namun seseorang yang berfikir kritis tentu akan bertanya: apakah Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah telah memenuhi pelayanan barang publik berupa fasilitas pedestrian itu dengan baik? Pertanyaan ini kiranya dapat dijawab dengan hasil kajian Ombudsman RI mengenai fasilitas pedestrian, yang masih cukup relevan walaupun dilakukan pada tahun 2016. Ombudsman mengkaji pelayanan fasilitas pedestrian meliputi tiga aspek, yaitu aspek kebijakan, aspek penyediaan (program), dan aspek pemanfatan (operasional). Kajian dilaksanakan di enam kota besar di Indonesia: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar dan Medan.

Terkait aspek kebijakan, teridentifikasi beberapa Undang-Undang yang mendukung terselenggaranya pelayanan pedestrian, antara lain: UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 28 huruf c UU Penataan Ruang menyatakan bahwa Rencana Rinci Tata Ruang yang disusun oleh Pemerintah Kota mesti memerhatikan rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana pejalan kaki. Pasal 25 ayat (1) UU LLAJ menyatakan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan, salah satunya berupa fasilitas untuk pejalan kaki. Dan Pasal 45 ayat (1) UU LLAJ menyatakan bahwa fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, antara lain trotoar dan tempat penyeberangan pejalan kaki.  

Akan tetapi, hasil kajian juga menunjukkan bahwa pasal-pasal terkait pedestrian umumnya memiliki proporsi yang kecil, bahkan hanya sebagai pelengkap muatan utama. Undang-Undang Jalan tidak memuat pasal khusus mengenai fasilitas pejalan kaki melainkan hanya disinggung pada penjelasan Pasal 11 ayat (2) mengenai ruang manfaat jalan, sebaliknya memposisikan pengguna kendaraan sebagai pihak yang mendominasi penggunaan jalan. UU LLAJ pun demikian, masih menempatkan trotoar sebagai "pendukung" penyelenggaraan LLAJ, belum dipandang sebagai unsur utama dalam sistem LLAJ. Akibatnya, sebagian Pemerintah Daerah pada kebijakan penataan ruang (RTRW/RDTR) dan kebijakan pembangunan (RPJPD/RPJMD) daerahnya tidak menempatkan fasilitas pedestrian sebagai isu pembangunan yang strategis, melainkan diselenggarakan alakadarnya sebagai komplemen dari rencana pembangunan infrastruktur utama seperti jalan dan drainase.

Terkait aspek program, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyebut Indonesia Ramah Pejalan Kaki sebagai salah satu aksi gerakan Revolusi Mental. Namun, program nyata Pemerintah pusat terkait penyelenggaraan pelayanan pedestrian belum terlihat. Pemerintah Kota umumnya membiayai pembangunan fasilitas pedestrian hanya dari APBN Kota tanpa dukungan APBD Provinsi dan/atau APBN, termasuk untuk trotoar pada Jalan Nasional dan Jalan Provinsi. Akibatnya, program penyediaan fasilitas pedestrian di daerah belum optimal dan merata, sangat tergantung visi Kepala Daerah dan ketersediaan APBD.

Dalam aspek operasional, kajian ini menunjukkan bahwa fasilitas pedestrian belum secara optimal memenuhi aksesibilitas, keselamatan, kenyamanan, kemudahan, keindahan dan interaksi. Ketersediaan fasilitas pedestrian umumnya masih terbatas pada kawasan tertentu. Lebar pedestrian banyak yang kurang memadai akibat keterbatasan ruang milik jalan. Fasilitas bagi kelompok khusus, rentan dan penyandang disabilitas juga masih banyak yang belum sesuai standar. Pemanfaatannya diwarnai banyaknya pelanggaran seperti ditempati PKL, bangunan liar, parkir liar, hingga vandalisme tanpa ada upaya penegakan hukum yang memadai. Pemerintah Daerah juga umumnya masih terbatas dalam pelibatan partisipasi masyarakat dan swasta untuk mewujudkan pelayanan pedestrian yang berkualitas.

  Permasalahan-permasalahan tersebut memerlukan solusi dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan mengambil langkah-langkah nyata untuk peningkatan pelayanan pedestrian. Sebagai salah satu langkah nyata, Pemerintah hendaknya memasukan penyediaan prasarana dan sarana pejalan kaki sebagai bagian dari target capaian nasional di bidang infrastruktur, dengan didukung anggaran yang memadai. Hal ini juga akan mendorong Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menetapkan target yang sama dalam Rencana Pembangunan Daerah-nya. Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga harus mulai membuka ruang yang cukup bagi partisipasi masyarakat dan pihak swasta dalam merencanakan, menyediakan, dan memanfaatkan fasilitas pedestrian sebagai suatu pelayanan barang publik.   





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...