Masa Gugatan dan Pelayanan di Masa Covid-19
Laporan tersebut ada yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA). Mungkin ada juga paslon yang menyampaikan laporan mengenai etik sampai ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP.
Mengutip dalam situs Berita.Com, sejak tanggal 17 Desember 2020 hingga 1 Januari 2021, Mahkamah Konstitusi mencatat calon bupati (cabup) mendominasi pihak yang mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada (PHPkada) 2020. Jumlah cabup yang mengajukan PHPKada sebanyak 114. Angka itu lebih banyak dibandingkan gugatan yang diajukan oleh calon wali kota sebanyak 14 gugatan, dan calon gubernur yang hanya 7 PHPkada.
Dari sisi jumlah, permohonan PHPKada ini melonjak dibandingkan dengan posisi Minggu (20/12/2020) pagi yang hanya sebanyak 76 permohonan. Data MK juga mengonfirmasi lonjakan permohonan perselisihan pilkada 2020 dibandingkan tahun 2017 dan 2018 yang masing-masing hanya 60 dan 72 PHPKada.
Dalam catatan Bisnis.Com, permohonan sengketa yang cukup menonjol diajukan oleh calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan yakni Akhyar Nasution - Salman Alfarisi, calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Machfud Arifin - Mujiaman, serta gugatan dari calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan.
Selain tiga gugatan calon walikota, MK juga menerima gugatan PHPKada dari lima pemilihan gubernur, dua di antaranya dari Sumatera Barat yang diajukan oleh paslon Nasrul Abit - Indra Catri yang diusung Partai Gerindra serta paslon Mulyadi - Ali Mukhni yang merupakan paslon yang diusung Partai Demokrat dan PAN. Sementara tiga gugatan lainnya diajukan oleh calon gubernur yang bertarung di Pilkada Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Provinsi Bengkulu.
Sengketa atau perselisihan pilkada lazim diajukan oleh pasangan calon kepala daerah yang kalah dalam kontestasi pilkada. Pihak yang kalah biasanya akan mendalilkan sejumlah temuan kecurangan selama pelaksanaan pilkada ke MK. Adapun mekanisme pegajuan permohonan Perselisihan Hasil Pilkada Tahun 2020 dilakukan setelah pengumuman keputusan KPU tentang hasil penghitungan suara pemilihan pada 16 - 26 Desember 2020 (provinsi) dan 13 - 23 Desember (kabupaten dan kota). Sedangkan untuk pengajuan permohonan pada 16 Desember 2020 - 5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB (provinsi), pengajuan permohonan pada 13 Desember 2020 - 5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB (kabupaten/kota).
Hal yang sama juga terhadap laporan atau gugatan ke beberapa lembaga lainnya di atas, semua diikuti dengan masa atau waktu tertentu yang diatur dalam perundang-undangan. Jangankan soal laporan atau gugatan pilkada, pelayanan perizinan pun ada waktunya, termasuk masa berlaku izin itu sendiri.
Sejauh ini, belum ada perubahan berarti terhadap waktu pelayanan di masa covid-19. Apa yang diatur dalam perundang-undangan pilkada mengenai masa penyampaian laporan atau gugatan ke beberapa lembaga tetap mengacu dan tunduk pada peraturan dimaksud. Sehingga, waktu pelayanan dengan masa tertentu tersebut tetap berjalan sebagaimana mestinya (penyesuaian penting hanya pada tempat kerja/work from home dan jumlah personel, namun tetap wajib memberikan pelayanan sesuai core business masing masing instansi/lembaga).
Tidak heran, keluarnya surat edaran dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi Nomor 67 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara Dalam Tatanan Normal Baru, dan ditujukan kepada para Menteri, Panglima TNI, Kapolri, BIN, Kejagung, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Gubernur, Bupati, Walikota, tidak terkecuali Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara, membuat MK tetap melayani pengguna layanannya sesuai perundang-undangan. Pertanyaannya, bagaimana dengan MA? Sebagai senior lembaga peradilan tentu harapan publik di MA jauh lebih baik, bukan sebaliknya.
Terkecuali, pemerintah menganggap pada masa covid-19 ini keadaan menjadi genting dan memaksa (darurat), dimana keadaan tidak memungkinkan atau berbahaya jika bertemu sekalipun via online. Kalau anggapannya seperti ini dimungkinkan Presiden mengeluarkan perppu untuk merubah sistem pilkada dan masa pelaporan atau gugatan terhadap pilkada itu sendiri, atau pilkada perlu ditunda sampai batas waktu yang dapat ditentukan.
Kita jadi teringat pada waktu yang lalu, sebelum pilkada serentak digelar, Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) pernah menyampaikan rilis ke publik agar pilkada 2020 ditunda. Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Agustyati dalam keterangan tertulis menyebut, penyebaran covid-19 semakin meluas dan dapat mengancam siapa saja. Penundaan pelaksanaan Pilkada sangat dimungkinkan secara hukum. Terlebih, dalam situasi mendesak pandemi saat ini. Menunda tahapan pilkada bukan berarti gagal berdemokrasi. Melainkan menunjukkan sikap cepat tanggap membaca situasi dan mengedepankan kesehatan publik. Melanjutkan tahapan Pilkada dengan risiko besar atau menunda sampai adanya pengendalian wabah yang terukur (Sumber: https://m.mediaindonesia.com/).
Apa yang dikemukakan oleh Perludem belum dianggap genting dan memaksa oleh pemerintah, sehingga pilkada serentak 2020 tetap berjalan sesuai jadwal. Jadwal inilah dalam pelaksanannya menjadi rujukan bagi semua penyelenggara, paslon, eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menangani pilkada dan memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, alasan atau akibat lain diluar aturan, tentu resiko ditanggung sendiri.
Informasi belum terdaftar atau di registrasinya gugatan dari salah satu paslon di Bandar Lampung (Eva Dwiana - Dedy Amrullah) ke MA beberapa waktu lalu (tiga hari) pasca penetapan diskualifikasi oleh KPU Kota Bandar Lampung yang memperkuat putusan Bawaslu Provinsi Lampung, membuat paslon tersebut bisa mengalami atau menerima resiko ditanggung sendiri. Adapun akibat lain karena proses atau pemenuhan pelayanan di lingkungan MA, pihak paslon tersebut dapat menyampaikan keberatan kepada pihak penyelenggara layanan hingga menyampaikan laporan kepada Ombudsman. Tetapi tidak mempengaruhi substansi masa gugatan yang berbatas waktu dalam perundang-undangan pilkada. Begitu pun sebaliknya, paslon lain (Yusuf Kohar - Tulus Purnomo) yang merasa dirugikan jika masa gugatan sudah lewat namun MA tetap menerima dan memutus, hal ini pun dapat dilaporkan kepada Ombudsman dan/atau Komisi Yudisial. Sebab, tiga hari pasca penetapan KPU itu adalah tiga hari di waktu kerja.
Bandar Lampung, 19/1/2020
Penulis: Ahmad Saleh David Faranto (Asisten Ombudsman R.I. Perwakilan Provinsi Lampung)