Mari Bersama Lawan Corona
"Mereka ibuk-ibuk, saya tidak minta mereka bekerja terlalu lelah, sesuai dengan yang mereka mampu saja, karena ini bukan tugas mereka saja. Tapi bagaimana lagi? Tenaga medis tak punya Alat Pelindung Diri (APD), jumlah mereka juga terbatas," kata Seniman asal Pariaman, Ajo Wayoik, sembari terisak dalam video yang diunggah di facebooknya, 2 Maret 2020 lalu.
Di ujung video itu tertulis "Tu ka maa Pemerintah/Pemda? Jan tanyo ka awak", yang artinya "lalu Pemerintah/Pemda mana? Jangan tanya kepada saya". Ajo Wayoik agaknya sangat menyesalkan lambannya kerja pemerintah dalam melindungi tenaga medis yang sering disebut sebagai garda terdepan dalam penanganan wabah Covid-19 ini.
Kegelisan Ajo, sebagaimana kegelisahan kita bukan tak berdasar. Data menunjukkan bahwa jumlah korban di Indonesia sudah mengalahkan Tiongkok. Dilihat dari segi jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19, di Tiongkok dengan jumlah penderita 82.000 orang, dokter yang meninggal 6 orang saja. Di Indonesia, dengan jumlah pasien 1.700 orang, tenaga medis yang meninggal 17 orang. Negeri Jiran kita, Malasyia dengan penderita 3000 orang lebih, dokter yang meninggal hanya satu orang. Demikian sementara, kapasitas kita dalam melindungi tenaga medis.
Rasanya inilah buah dari cara-cara pemerintah yang awalnya ogah-ogahan mengantisipasi Covid-19. Sebelum ada yang positif Covid-19, kelakar dan lelucuan soal Covid-19 dengan mudah keluar dari mulut para pejabat, ada kesan pejabat pemerintah menganggap enteng dan tampak terlalu percaya diri. Bukannya bersiap mengantisipasi dengan segera melengkapi sarana kesehatan, seperti APD bagi tenaga medis. Kendati demikian, hingga sekarang pemerintah nampak belum bermurah hati, misalnya meminta maaf atas keteledoran tersebut.
Nampak sekali bahwa pemerintah tidak siap. Bahkan setelah satu bulan menghadapi Covid-19, sejak tanggal 2 Maret 2020 dinyatakan pasien posotif Covid-19 pertama, hingga sekarang sarana atau APD masih saja kurang. Rumah sakit malah memilih membuka saluran donasi dari masyarakat untuk dapat membeli atau menyumbangkan APD.
Fasilitas kesehatan, dari berbagai level, mulai dari Puskesmas/Klinik hingga RSUD atau RS rujukan berteriak APD kurang. Berseliweran video di media sosial, para tenaga medis hanya menggunakan jas hujan saja untuk pelindung diri mereka. Miris.
Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit mengakui sendiri bahwa APD di Sumatera Barat memang kurang. Ia memprediksi kebutuhan APD untuk menangani wabah Covid-19 mencapai 200 ribu unit. Sementara saat ini, APD yang tersedia hanya sekitar 10 ribu unit saja.
Kembali ke soal Ajo, apakah Ajo hanya sampai pada berkeluh kesah saja? Jawabannya tidak. Banyak keluhan/kritikan dari Ajo, tapi Ajo langsung menyediakan diri menjadi bagian solusi. Ada hal kongkrit pula yang dilakukan oleh Ajo dan kawan-kawan senimannya di Pariaman. Kita bisa melihat di dinding facebook "Ajo Wayoik".
Ajo sibuk bergerak kian kemari menggalang dana dan membuat APD. Berkali-kali Ajo memperlihatkan timnya yang ia sebut Tim Rangers itu datang ke RSUD Pariaman menyerahkan APD sambil berfoto. Di sambungan telepon kepada saya, Ajo mengatakan telah membuat 40 baju APD dan penutup wajah untuk tenaga medis yang dibuat dari sumbangan para donatur dan perantau Pariaman.
Ajo menginspirasi banyak orang, dan juga saya. Karena itu, saya mulai aktif di Posko Tanggap Covid-19 Pelajar Islam Indonesia (PII) dan para alumni. Setelah kemarin berkirim bingkisan buah dan coklat bagi tenaga medis, minggu ini dana yang terkumpul dari sumbangan para alumni digunakan untuk membeli beberapa APD, masker dan hand sanitizer.
Bahaya keselamatan atas wabah harus ditangani bersamaan dengan dampaknya. Selanjutnya, kelompok masyarakat juga perlu memikirkan tentang pengamanan sosial bagi masyarakat terdampak. Saya berharap para kader dan Alumni PII yang tersebar di kabupaten/kota juga mulai bergerak.
Lalu, apakah dalam keadaan begini, Ajo atau saya misalnya, akan berhenti mengkritik atau berhenti mengawasi kinerja pemerintah? Rasanya tidak. Pemerintah tetap butuh penyeimbang. Pemerintah dalam kedaan darurat atau bencana sekalipun perlu diawasi. Tetap butuh partisipasi publik guna memberikan saran perbaikan. Hanya saja sekarang, risau dan mengkritik saja tidaklah cukup.
Kalau bagi Ajo, "kegelisahan" adalah bagian dari jiwanya. Namun ia berhasil mengartikulasikan kegelisahannya dalam bentuk gerakan yang nyata.
Ajo risau dengan kelunturan budaya piaman. Melalui forum seni Batajau ia berhasil membuat gerakan Festival Budaya Minang dari nagari ke-nagari. Demikian juga saat wabah, kegelisahan Ajo juga mengkristal menjadi gerakan kepedulian, mengumpulkan dana, dan menggerakkan ibu-ibu PKK untuk membuat APD bagi tenaga medis.
Demikian juga saya dan Ombudsman. Mulai bulan ini semua pegawai Ombudsman Perwakilan Sumbar mulai menyisihkan gaji untuk disumbangkan guna penanganan Covid-19. Mungkin nilainya kecil, tapi itulah arti sebuah sumbangsih.
Kami tentu saja tetap bekerja dan tidak berhenti mengawasi kinerja pelayanan pemerintah, sembari terus mengambil peran sosial di tengah masyarakat melawan Covid-19. Semua bisa, mulai dari tempat tinggal dan komunitas masing-masing. Inilah saatnya, solidaritas sosial terus dikembangkan dan diwujudkan di berbagai tempat. Masyarakat harus kian menyadari pentingnya saling bahu membahu dan saling bantu dalam menghadapi wabah ini. Semua lini, harus mengambil peran masing-masing.
Sementara di sisi pemerintah, sekaranglah ujiannya. Ujian menjadi kepala daerah atau kepala dinas memang bukan dalam situasi normal, ujian pemimpin justru pada masa sulit. Sekaranglah, akan kelihatan mana atah, mana bareh.
Jangan anggap remeh, jangan egois dan sok hebat. Harus lebih cepat, harus lebih meyakinkan. Jangan plin-plan, jangan gagap, jangan gagal merespon kebutuhan masyarakat.Â
- Adel Wahidi, Asisten Ombudsman Perwakilan SumbarÂ