Manusia, Bumi, dan Tambang (Refleksi Hari Bumi Internasional )
Bulan April memiliki banyak momen penting yang seharusnya terus kita ingat meskipun sedang dalam wabah Covid-19. Di bulan ini banyak peristiwa yang seyogyanya menjadikan kita sadar akan pentingnya tenggang rasa, penghormatan, keadilan, lingkungan hidup, kesehatan dan peradaban. Di bulan ini ada beberapa peringatan penting, seperti Hari Buku, Hari Kartini, Hari Kesehatan Sedunia, Hari Nelayan, Hari Konsumen, Hari Peduli Autisme, dan Hari Bumi. Diantara peringatan hari-hari besar tersebut, kali ini saya ingin menyoroti Hari Bumi yang jatuh pada 22 April lalu.
Hari Bumi merupakan hari dimana manusia melakukan refleksi massal, atau singkatnya hari dimana manusia harus berterima kasih atas keberadaan bumi sebagai tempat mereka berpijak, memulai, dan mengakhiri kehidupan. Sayangnya Hari Bumi ini tak banyak menjadi agenda penting negara atau kepala daerah. Kalaupun ada biasanya hanya seremonial basa-basi semata.
Dikutip dari sejumlah surat kabar dan media sosial, dikatakan bahwa wabah Corona saat ini menjadi "penyelamat bumi". Hal ini disebabkan karena hasil laporan sejumlah peneliti menyatakan bahwa bumi saat ini terlihat indah meski manusia di tengah wabah. Di waktu lalu, bumi seolah mendeklarasikan dirinya bahwa ia sedang sakit. Terlalu banyak pengrusakan yang dilakukan manusia atas bumi tanpa memikirkan keseimbangan alam. Untuk itulah melalui Virus Corona, bumi berpesan agar manusia harus menghormati alam, tidak merusak, apalagi menambang tanpa memikirkan kondisi lingkungan dan masa depan manusia setelahnya. Oleh karena itu, dengan adanya Corona, bumi seakan bisa pulih kembali.Â
Dalam konteks pertambangan saya mengutip satu jurnal penelitian yang menurut saya bagus untuk bahan kajian dan refleksi Hari Bumi. Apalagi anjuran pemerintah untuk tetap di rumah bekerja dan melayani publik demi pencegahan Covid-19 harus disambut dengan pikiran jernih dan baik sangka. Setidaknya kita punya banyak waktu untuk membaca, belajar, dan bekerja lebih giat dari biasanya
Sebagai suatu produk penelitian ilmiah. Jurnal yang diteliti dan ditulis langsung Oleh Dr. Jalaludin M.Hum selaku dosen sekaligus dekan Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin yang di-publish melalui web http;//atlantis-press.com/proceedings/iclj-17/25891431  berjudul Cool Mining and Human Rights; Iniating The Right to A Good and Healthy Environment As non Derogable Right (Penambangan Batubara dan Hak Asasi Manusia: Memulai Hak atas Lingkungan yang Baik dan Sehat sebagai Hak yang Tidak Dapat Dibatasi) adalah satu karya yang sangat unik, menarik dan sarat akan informasi yang konstruktif terlebih untuk kepentingan pengelolaan sumber daya alam di daerah Â
Pokok yang disajikan dalam jurnal ini tak hanya mengungkapkan potret pertambangan di salah satu daerah di Kalimantan Selatan, namun beberapa tempat lainnya. Namun yang ingin saya angkat adalah kajian tentang potret pertambangan di Desa Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalsel. Akibat operasi tambang batubara, di wilayah tersebutterjadi kerusakan yang cukup parah terhadap lingkungan seperti polusi udara, pencemaran sungai, rusaknya sejumlah perkebunan masyarakat dan terganggunya sawah. Namun ada dampak lain yang juga terjadi, yakni gangguan atas hak ekonomi warga, pendidikan, terutama kesehatan. Bahkan dalam hal kenyamanan beribadah pun warga merasa tidak nyaman.
Temuan penting dalam tulisan ini adalah terjadinya pelanggaran hak atas lingkungan, padahal lingkungan hidup merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang tak boleh diabaikan. Pengabaikan terhadap hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat adalah pelanggaran hukum. Sebab hak ini di lindungi oleh konstitusi dan negara. Salah satunya termaktub dalam UU Lingkungan Hidup.
Namun realitasnya di lapangan masih jauh panggang dari api. Nyatanya negara masih terlihat lemah dihadapan para perusak lingkungan meskipun instrumen hukum atau undang-undang sudah lengkap dan lebih dari cukup. Hanya saja, pasal-pasal penegakan hukum lingkungan ini seperti macan ompong terlihat tajam di luar tetapi tumpul setelah digunakan.
Penelitian yang dihadirkan oleh Dr. Jalaludin menjadi pesan penting yang tak hanya bagi masyarakat Banjar, tetapi juga dalam kajian hukum lingkungan dan hukum nasional. Bahkan, bisa menjadi referensi yang efektif guna penyelesaian sengketa hukum lngkungan. Â Apresiasi juga saya berikan keberanian untuk menyuguhkan hasil temuan apa adanya, tanpa kepentingan dengan memenuhi unsur objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan
Senada juga dengan temuan Ombudsman di tahun 2019 lalu, dimana Tim Investigasi Ombudsman Kalsel turun langsung ke sejumlah titik yang disinyalir banyak terjadi pertambangan batu bara illegal atau disebut Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Tim investigasi Ombudsman dengan "strategi intelijennya" menemukan praktek PETI yang memang sengaja dibiarkan, bahkan dengan exavator dan puluhan truk, beraktivitas di siang hari anehnya jaraknya tak jauh dari jalan utama. Tapi sekali lagi hal itu terlihat sengaja dibiarkan tanpa ada tindakan tegas.
Aktivitas PETI ini makin hari makin marak meskipun konon aparat penegak hukum sudah berupaya melakukan penertiban. Tetapi sekali lagi, oknum kasus PETI ini biasanya senyap setelah ditangkap. Jarang sekali yang masuk sampai persidangan bahkan dipidanakan sebab biasanya hanya diselesaikan dengan jalan biaya tutup mata atau sarat kepentingan pengusaha dan penguasa.
Melalui Hari Bumi setidaknya kita diingatkan untuk menjaga dan merawat sebaik-baik alam dan lingkungan. Tidak menambang dengan cara cara yang serabutan, tidak abai atas wewenang dan sumpah jabatan. Menghormati bumi, alam dan lingkungan adalah sejatinya manusia.Â