Maladministrasi dan Etika Pelayanan Publik
Suatu ketika ada masyarakat yang mengeluhkan pelayanan disuatu instansi yang dinilai kurang baik ke Ombudsman, ia menyebutkan bahwa pelayanan di instansi yang menurutnya kurang baik tersebut tersebut adalah malpraktik, ia menduga ada "permainan" dibalik belum ditindaklanjutinya Laporan yang disampaikan ke instansi terkait. Bahkan, masyarakat tersebut menilai petugas yang melayaninya pun tidak begitu berkompeten ketika si masyarakat menanyakan sesuatu, alih-alih bicara kompetensi gaya si petugas yang melayaninya pun tidak patut dan tidak ramah .
Peristiwa tersebut di atas adalah salah satu ilustrasi dari sekian banyak potret pelayanan publik yang disampaikan masyarakat. Kepedulian masyarakat akan pelayanan publik dengan cara melapor ke kanal-kanal pengaduan atau lembaga/instansi yang berwenang menerima pengaduan patut kita apresiasi, meskipun masih banyak masyarakat yang belum memahami istilah dari sebuah penyimpangan dalam suatu pelayanan publik itu. Maka tidak heran, masih banyak masyarakat yang menyebutkan penyimpangan dalam suatu pelayanan publik disebut dengan kata malpraktik ketimbang kata maladministrasi yang bisa dibilang belum eksis.
Mengenal Maladministrasi
Kata maladministrasi mungkin masih asing di telinga publik dibandingkan dengan kata malpraktik. Namun, pada intinya kedua kata tersebut sama-sama mengartikan kesalahan/ penyimpangan. Jika malapraktik sebuah kesalahan/ penyimpangan yang terjadi pada dunia kesehatan sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan malapraktik adalah praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik, maka kata maladministrasi sebagai bentuk kesalahan penyimpangan pada proses penyelenggaraan pelayanan publik.
Sebetulnya apa itu maladministrasi? Di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan. Bentuk-bentuk maladministrasi tersebut kemudian dijelaskan lagi lebih sederhana yang dapat dipahami oleh masyarakat atau yang biasanya terjadi di setiap proses pemberian pelayanan di antaranya; penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, tidak kompeten, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, permintaan imbalan, tidak patut, berpihak, diskriminasi dan konflik kepentingan.
Jika kita melihat konteks dari kata maladministrasi dan malpraktik, maka kata maladministrasi lebih bersifat luas karena menyangkut segala yang hal yang berkaitan dengan pelayanan publik yang di dalamnya termasuk pelayanan kesehatan jika dibandingkan dengan malpraktik yang hanya ada pada lingkup kesehatan. Karena begitu luasnya makna dari maladministrasi dan potensi terjadinya maladministrasi, Ombudsman Republik Indonesia sebagai satu-satunya Lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk menindaklanjuti segala bentuk dugaan maladministrasi yang bertujuan untuk mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintah yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kewajiban negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan proses pelayanan publik yang efektif dan efesien tak luput dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) diantaranya adalah kemanfaatan, ketidakberpihakan, tidak menyalahgunakan wewenang dan sebagainya guna mewujudkan pelayanan yang berkualitas bahkan prima. AUPB sendiri merupakan etik dalam penyelengaraan pemerintahan termasuk didalamnya penyelenggaraan pelayanan publik. Maka, pelanggaraan terhadap AUPB juga merupakan bentuk maladministrasi.
Etika Pelayanan Publik
Dalam memberikan suatu pelayanan kepada publik sudah barang tentu norma seperti halnya Standard Operational Procedure (SOP) menjadi suatuguidance/pedoman penyelenggara pelayanan publik. Namun demikian aspek etika maupun moral juga tidak serta merta diabaikan hanya karena sudah adanya aspek prosedural formal. Senyum, salam, sapa, ramah dan melayani dengan penuh ketulusan merupakan salah satu contoh etika yang baik dalam memberikan suatu pelayanan kepada publik.
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang mempunyai dua dimensi konsep yaitu tunggal dan jamak. Pada dimensi tunggal berarti sikap, cara berpikir, watak, akhlak. Sedangkan dalam bentuk dimensi jamak bermakna adat kebiasaan. Lalu, apa bedanya etika dan moral? Sederhananya etika adalah sebuah penilaian baik dan buruk. Sementara moral bentuk operasional dari etika tersebut yakni integritas. Maka ketika kita berbicara etika di dunia publik tidak hanya berbicara mengenai institusi-institusi sosial baik itu hukum maupun kebiasaan. Namun, dalam etika publik ada yang namanya integritas publik yang merupakan landasan utama etika publik itu sendiri.
Dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan disebut dengan "profesional standard" (kode etik) atau "right rules of conduct" (aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik. Artinya, penyelenggara pelayanan selain melayani masyarakat dengan berperilaku yang baik, ramah juga harus mematuhi standar atau kode etik yang telah diterapkan di setiap institusi-institusi. Apabila ada penyelenggara yang melanggar etika administrasi publik maka sama saja penyelenggara tersebut maladministrasi karena tidak menjalankan professional standard dan tidak berperilaku yang benar.
Sederhananya, untuk melihat penyelenggara pelayanan publik tersebut menjalankan etika administrasi publik adalah melihat apakah si penyelenggara tersebut sudah menerapkan standar pelayanan atau belum dalam proses pelayanan publiknya. Beberapa waktu lalu, Ombudsman Republik Indonesia merilis hasil penilaian kepatuhan standar pelayanan publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik hasilnya, masih banyak pemerintah daerah memperoleh kepatuhan standar pelayanan yang rendah dan sedang.
Padahal, pemenuhan standar pelayanan adalah suatu keharusan yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara pelayananan sebagai pemenuhan dari aspek prosedural formal. Kepatuhan standar pelayanan yang rendah selain bentuk dari tidak menjalankan etika administrasi juga menimbulkan potensi adanya maladministrasi. Pada akhirnya, masyarakat pun akan menilai sendiri, jika aspek prosedural formal saja tidak dipenuhi bagaimana dengan aspek etika atau moral? Betul penilaian tersebut tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator untuk mengukur etika seseorang atau instansi, tapi apa iya kita akan selamanya membiasakanwrong rule of conduct bukanright rule of conduct? Tentu saja tidak.