Mal Pelayanan Publik dan Maladministrasi
Istilah 'mal' mungkin sudah tidak asing ditelinga kita, karena mal itu sendiri memang identik dengan sebuah bangunan pusat perbelanjaan berisikan tenant-tenant yang menjual berbagai macam kebutuhan masyarakat. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mal adalah gedung atau kelompok gedung yang berisi macam-macam toko dengan dihubungkan oleh lorong (jalan penghubung). Namun beberapa tahun belakang ini mal kini mulai diadopsi oleh pemerintah karena konsep mal yang nyaman, aman dan menyuguhkan semua kebutuhan masyarakat. Hal itu mungkin yang mendasari pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas melalui Mal Pelayanan Publik.
Sejak Tahun 2017, Mal Pelayanan Publik mulai digaungkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Mal Pelayanan Publik. Saat ini sudah ada 29 Mal Pelayanan Publik (MPP) di Indonesia. Baru-baru ini Mal Pelayanan Publik Kabupaten Tulang Bawang diresmikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN-RB) Tjahjo Kumolo sebagai MPP ke-29 dan menjadi MPP pertama di Provinsi Lampung yang melayani 325 jenis layanan perizinan dari organisasi pemerintah daerah maupun instansi vertikal seperti dilansir di lampost.co (4/11).
Sebetulnya apa itu Mal Pelayanan Publik? Apa bedanya dengan mal pada umumnya? Dalam Peraturan MENPAN-RB tersebut, Mal Pelayanan Publik yang selanjutnya disebut MPP didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan atau aktivitas penyelenggaraan pelayanan publik atas barang, jasa dan/atau pelayanan administrasi yang merupakan perluasan fungsi pelayanan terpadu baik pusat maupun daerah, serta pelayanan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah/swasta dalam rangka menyediakan pelayanan yang cepat, mudah, terjangkau, aman, dan nyaman.
Kehadiran mal pelayanan publik di tengah-tengah masyarakat kini disebut-sebut sebagai bentuk pelayanan publik terpadu generasi ketiga. Generasi pertama layanan terpadu di Indonesia adalah Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA). Kemudian berevolusi menjadi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang merupakan generasi kedua. Kehadiran MPP sebagai generasi ketiga diharapkan dapat memayungi fungsi PTSP tanpa mematikan pelayanan yang sudah ada sebelumnya. Peran PTSP justru diperluas sebagai motor penggerak terbentuknya MPP. Bahkan untuk memperkuat penyelenggaraan Mal Pelayanan Publik saat ini pemerintah pun sedang merancang Peraturan Presiden.
Penyelenggaraan mal pelayanan publik tentu harus sejalan dengan semangat dalam menyelenggarakan pelayanan publik yaitu untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Di Era Revolusi Industri 4.0 saat ini juga, mal pelayanan publik juga harus mampu memadukan sebuah pelayanan dengan teknologi untuk percepatan pelayanan, akurasi pelayanan, dan fleksibilitas kerja. Sebagaiamana tujuan dari dibentuknya MPP itu sendiri yaitu memberikan kemudahan, kecepatan, keterjangkauan, keamanan, dan kenyamanan kepada masyarakat dalam mendapatkan pelayanan serta meningkatkan daya saing global dalam memberikan kemudahan berusaha di Indonesia.
Oleh karena itu, dengan hadirnya MPP juga diharapkan mampu membentuk ASN modern yang memiliki pola pikir untuk berkinerja tinggi, dan selalu memberikan pelayanan yang terbaik. Mal Pelayanan Publik sejatinya tidak hanya semata-mata menyuguhkan konsep pelayanan yang nyaman, aman dan cepat. Akan tetapi, juga mampu menyuguhkan pelaksana pelayanan yang profesional dan akuntabel sebagaimana asas penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri. Sebab, pelaksana pelayanan sebagai ujung tombak dari sebuah pelayanan publik yang berhubungan langsung dengan masyarakat, sehingga diharapkan meningkatkan nilai Ease of Doing Business(EoDB) di Indonesia.
Maladministrasi
Tentu kita tidak ingin hadirnya MPP sebagai generasi ketiga sebuah pelayanan masih ada perilaku pelaksana pelayanan publik yang maladministrasi. Apa itu maladministrasi? Di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan. Bentuk-bentuk maladministrasi tersebut kemudian dijelaskan lagi lebih sederhana yang dapat dipahami oleh masyarakat atau yang biasanya terjadi di setiap proses pemberian pelayanan di antaranya; penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, tidak kompeten, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, permintaan imbalan, tidak patut, berpihak, diskriminasi dan konflik kepentingan.
Jika kita melihat konteks dari kata maladministrasi maka makna kata Maladministrasi begitu luas karena menyangkut segala yang hal yang berkaitan dengan pelayanan publik termasuk soal pelayanan perizinan maupun non perizinan. Berdasarkan data hasil penilaian kepatuhan terhadap standar pelayanan publik pada tahun 2019 yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia, Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang memperoleh predikat zona kuning atau kepatuhan sedang (56,63) atas pemenuhan standar pelayanan publik untuk pelayanan perizinan maupun non perizinan. Artinya dari sisi pemenuhan standar pelayanan publik saja, sebetulnya masih terdapat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) penyelenggara pelayanan publik yang tidak patuh akan standar pelayanan. Maka dari itu, dengan hadirnya MPP terutama di Kabupaten Tulang Bawang menjadi momen memperbaiki kualitas pelayanannya mulai dari pemenuhan standar pelayannya bukan hanya sekedar mengejar eksistensi dengan keberadaan MPP tersebut.
Sebab, kepatuhan akan standar pelayanan publik menjadi kunci bagi pelaksana pelayanan publik agar terhindar dari perilaku-perilaku maladministrasi yang dapat berujung pada praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Semoga saja dengan adanya Mal Pelayanan Publik tidak untuk menjadi tempat yang nyaman layaknya mal pada umumnya untuk berperilaku maladministrasi. Semoga.