Lidah Tak Bertulang : Menjaga Tertib Hukum Dalam Sistem Pemerintahan
Belum lama ini media massa lokal santer memberitakan terkait salah seorang penjabat kepala daerah yang membolehkan masyarakat kembali menggelar acara pesta pernikahan yang dapat dihadiri tamu meski dengan tambahan narasi jumlah tamu dibatasi. Tidak sedikit euforia bermunculan menyambut adanya gagasan the new normal, meskipun seharusnya tidak ditanggapi secara terburu-buru. Terlebih lagi jika daerah yang ngebet melakukan penerapan new normal tidak termasuk dalam daftar kabupaten/kota yang akan dilakukan uji coba pelaksanaan new normal dan di sisi lain juga masih mencatat angka kasus terkonfirmasi positifCOVID-19 yang terus bertambah.
Sejak World Health Organization menyatakan COVID-19 sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020 hingga saat ini belum dinyatakan berakhir. Dalam skala nasional sendiri Ketua Gugus Tugas Percepatan PenangananCOVID-19 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 tentang Status Keadaan Darurat Bencana Nonalam Corona Virus Disease (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional yang dapat dipahami bahwa status darurat bencana nonalam masih belum berakhir.
Alih-alih menyelamatkan perekonomian dengan menyabung kesehatan masyarakat, antara kesejahteraan dengan kesehatan sesungguhnya bukan pilihan yang boleh ditawarkan hanya salah satunya saja kepada masyarakat. Sebab keduanya merupakan cakupan hak keselamatan yang harus dijamin oleh negara. Dalam adagium hukum dikenal ungkapan salus populi suprema lex esto bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, sehingga mengesampingkan perlindungan kesehatan masyarakat demi menyelamatkan perekonomian adalah langkah yang tidak bertanggung jawab.
Sebuah ironi jika masyarakat kembali melakukan kegiatan yang menyebabkan kerumunan sebagai akibat dari adanya pernyataan seorang pejabat kepala daerah yang membolehkan kembali melakukan kegiatan bersifat ramai, namun berikutnya masyarakat tersebut dijerat hukum karena dianggap telah melanggar ketentuan pidana sebagai bentuk pelaksanaan Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (COVID-19). Seyogianya dipahami bahwa kendati suatu daerah tidak lagi ditetapkan berstatus PSBB namun dalam skala nasional Keputusan Presiden nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional masih berlaku, termasuk di dalamnya agar kepala daerah selaku ketua gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 di daerah dalam menetapkan kebijakan daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan pemerintah pusat. Dengan demikian penting bagi seorang pejabat publik menjaga harmonisasi antar kebijakan.
Berbeda dengan lidah kebanyakan orang yang tak bertulang, sebaliknya lidah seorang pejabat publik mesti bertulang dalam arti seorang pejabat publik sebaiknya tidak terlalu sering menunjukkan kepiawaian menggunakan lidah, utamanya jika apa yang dilontarkan cenderung inkonsisten. Secara teoritis pernyataan seorang pejabat publik adalah bentuk kebijakan publik, sebagaimana pendapat Riant Nugroho (Public Policy, 2014 : 146) bahwa pernyataan pejabat publik dalam forum publik mewakili lembaga publik yang dipimpinnya. Dengan demikian setiap pejabat publik harus bijaksana dalam mengemukakan pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan dari lembaga publik yang diwakilinya.
Walau dikenal asas lex superior derogate legi inferiori, hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah, yang dapat pula berarti setiap kebijakan oleh pejabat di level pemerintah daerah akan teranulir apabila bertentangan dengan kebijakan di level pemerintah pusat, mengeluarkan kebijakan yang saling bertentangan semacam itu ibarat menjaring angin, hanya membuang energi. Sementara juga penting bagi seorang pejabat publik untuk menjaga tertib hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan demi menghindari kebingungan di tengah masyarakat, maka seharusnya seorang pejabat publik menghindari setiap pernyataan yang mengarah pada kontestasi, reduksi dan distorsi terhadap kebijakan yang telah ada sebelumnya, tidak lain untuk memberikan jaminan kepastian.
Hadirnya kebijakan-kebijakan yang menyebabkan ketidakpastian adalah tindakan yang berisiko, terlebih jika tingkat ketaatan masyarakat masih berada pada level compliance, berbeda dengan masyarakat pada tingkat ketaatan internalization yang mana ketaatan seseorang terhadap aturan karena ia merasa aturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai intrisik yang dianutnya (Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, 2009:348). Sebaliknya tingkat ketaatan compliance ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan sanksi sebagai daya paksa. Selain itu juga perlu ketegasan dan kejelasan sehingga pernyataan pejabat publik yang memuat argumentasi kelonggaran hukum tentu akan berkontribusi positif pada tingkat ketidaktaatan. Hal ini tentu kontraproduktif dengan usaha pemerintah selama ini untuk mencegah dan menekan penyebaran virus melalui pendisiplinan masyarakat dalam beraktivitas.
Menyambung kebijakan pemerintah pusat terkait penetapan pandemi COVID-19 sebagai bencana nonalam yang masih berlaku, seharusnya kepala daerah memberikan atensi terhadap pelaksanaan penyaluran bantuan jaring pengaman sosial bagi masyarakat terdampak agar tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat guna, mengingat sejak dibukanya posko layanan pengaduan Daring COVID-19 pada 28 April 2020 hingga saat ini Ombudsman RI perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan telah mencatat sebanyak 30 pengaduan. Hal lainnya ketimbang mengambil kebijakan yang bukan pada porsinya, kita berharap kepala daerah justru mengerahkan perhatian juga pada maksimalisasi pelaksanaan urusan wajib yang menjadi bagiannya sesuai diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, baik itu pelayanan dasar maupun non dasar yang saat ini mengalami perubahan performa sebagai dampak pandemi. Kepala Daerah dapat melakukan terobosan agar masyarakat tetap terpenuhi haknya atas pelayanan publik, di antaranya saat ini jelang jadwal pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Di Kota Makassar misalnya, yang jika berkaca pada tahun 2019 silam pelaksanaan PPDB yang notabenenya masih pada situasi normal ikut diwarnai dengan bludakan antrian di instasi pencatatan sipil untuk pengurusan dokumen kelengkapan syarat administrasi keikutsertaan seleksi PPDB.
Seharusnya saat ini pemerintah daerah telah menyiapkan formulasi sebagai langkah antisipatif yang dapat meminimalisir potensi kerumunan masyarakat di setiap instansi pelayanan diikuti peningkatan kualitas layanan. Demikian di situasi pandemik ini kita berharap pemerintah daerah mengambil kebijakan sesuai porsi kewenangannya saja tanpa melabrak kebijakan yang telah lebih dulu atau yang lebih tinggi. Jangan sampai menjadi seperti kata pepatah "anak dipangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan", sehingga ke depannya pejabat publik tidak menambah daftar panjang penyebab kepanikan dan kebingungan masyarakat dengan hadirnya kebijakan-kebijakan yang simpang siur, semoga.