• ,
  • - +

Artikel

Lapor ke Ombudsman RI Sebagai Cara Tepat Mengkritik Pemerintah
• Kamis, 25/02/2021 • I Gede Febri Putra
 
Asisten Pemeriksa Laporan ketika menghadapi Pelapor

Pada Senin (08/02) lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan dalam pidatonya bahwa masyarakat diminta untuk lebih aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah. Presiden menyatakan semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan.

Menurut Presiden, negara bisa dikatakan hadir jika dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang cepat dan berkeadilan. Untuk mewujudkan ini, diperlukan transformasi sistem dan perubahan pola pikir budaya birokrasi. Perubahan mencakup model pelayanan birokrasi yang selama ini kaku, terjebak pada hal yang bersifat prosedural, bersifat administratif, dan menjadi pelayanan publik yang menekankan pada kecepatan, inovatif, berorientasi pada hasil.

Pernyataan Presiden ini kemudian ramai direspon oleh para tokoh dan netizen di Indonesia. Salah satunya oleh Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla. Jusuf Kalla mempertanyakan bagaimana caranya agar masyarakat bisa mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil polisi.

Jusuf Kalla menyelipkan salah satu contoh untuk mendukung pertanyaan tersebut seperti hal yang dialami oleh Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid. Kwik Kian Gie sebelumnya mencuit lewat akun Twitter-nya, @kiangiekwik bahwa dirinya takut mengemukakan pendapat yang berbeda meski bermaksud baik, karena buzzer bisa menyerang pribadi si pengemuka pendapat. Cuitan tersebut mendapatkan lebih dari 3.000 comment, 10.000 retweet dan 36.000 likes dimana sebagian netizen mengamini isi cuitan tersebut.

Lalu kritik seperti apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan masalah bagi pribadi si pengkritik?

Kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dapat dilihat dalam pengertian tersebut terdapat beberapa unsur dari kritik, yaitu pihak yang mengkritik (subjek), pihak yang dikritik (objek) dan substansi/isi dari kritik itu sendiri.

Dalam konteks hubungan warga negara (masyarakat) dengan negara (pemerintah), negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasar bagi warga negara, tidak menutup kemungkinan pemerintah sebagai bagian dari penyelenggara melakukan penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Maka dari itu negara juga memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara.

Penyalahgunaan wewenang sendiri merupakan salah satu unsur dari maladministrasi, dimana maladministrasi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Jika masyarakat menemukan adanya maladministrasi, masyarakat berhak mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan Ombudsman. Pengertian pengaduan ini tentunya sejalan dengan pengertian kritik yang termuat di dalam KBBI.

Tetapi selain memiliki hak, masyarakat juga memiliki kewajiban dalam melakukan pelaporan kepada Ombudsman. Laporan harus memenuhi persyaratan diantaranya Pelapor, pihak yang dilaporkan (Terlapor), dan uraian peristiwa harus lengkap dan jelas.

Identitas pelapor harus memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan dan alamat lengkap namun dalam keadaan tertentu, nama dan identitas Pelapor dapat dirahasiakan. Hal ini dimaksudkan agar pihak pelapor merupakan pihak atau korban langsung yang benar-benar mengalami kerugian.

Selain itu laporan harus memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci. Hal ini dimaksudkan agar pihak Terlapor dan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Terlapor menjadi jelas dan termasuk dalam wewenang Ombudsman.

Dalam data yang dimiliki oleh Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali, hingga saat ini tidak ada masyarakat yang dilaporkan kepada pihak Kepolisian atau mendapat persekusi karena melakukan pengaduan kepada Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali.

Maka berdasarkan paparan diatas didapat kesimpulan bahwa kelebihan menyampaikan kritik/pengaduan kepada pemerintah melalui Ombudsman RI adalah tepat sasaran, tidak dilaporkan ke polisi, dan tidak diserang buzzer (persekusi).

Tepat sasaran artinya pihak yang mengkritik (Pelapor), pihak yang dikritik (Terlapor), harapan Pelapor dan substansi/isi dari kritik itu sendiri yaitu berupa dugaan tindakan maladministrasi oleh Terlapor menjadi jelas.

Tidak dapat dilaporkan ke polisi karena penyampaian pengaduan ke Ombudsman merupakan hak dari masyarakat. Uneg-uneg negatif dapat disampaikan kepada Ombudsman, dimana peran Ombudsman adalah mendengar, memahami dan memberi solusi atas keluhan masyarakat, sehingga masyarakat dapat melihat persoalan secara jernih tanpa adanya ujaran kebencian.

Jadi mari sampaikan kritik atau pengaduan kepada pemerintah melalui Ombudsman RI.






Loading...

Loading...
Loading...
Loading...