• ,
  • - +

Artikel

Kualitas Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
ARTIKEL • Jum'at, 15/11/2019 • Muslimin B Putra
 
foto by ombudsman sulsel

Kualitas Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar menggelar kegiatan Pekan Panutan PBB-P2 tahun 2019 pada tiga kantor kecamatan pada Kamis, 14 November 2019, masing-masing di kantor kecamatan Makassar, Ujungpandang dan Rappocini. Kegiatan ini digelar dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Kota Makassar akan kewajiban membayar pajak, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Fenomena umum ditengah masyarakat bahwa tingkat kepatuhan untuk membayar PBB masih pada taraf rendah. Masyarakat relatif terbiasa bersifat pasif dalam melaksanakan kewajiban pajaknya atas penerimaan manfaat atas tanah dan bangunannya. Apalagi prosedur yang biasa berlaku dalam mendistribusikan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) yang diedarkan melalui jaringan RT-RW ke rumah-rumah warga sehingga semakin membuat warga bersifat "menunggu" dan jarang yang bersikap proaktif menanyakan SPPT ke kantor-kantor pemerintahan setempat.

Berbagai hasil penelitian mengkonfirmasi tentang fenomena kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya berkaitan erat dengan tingkat kesadaran wajib pajak. Seperti penelitian Boediono (1993) mengatakan bahwa kesadaran Wajib Pajak akan perpajakan adalah rasa yang timbul dari dalam diri wajib pajak atas kewajibannya membayar pajak dengan ikhlas tanpa adanya unsur paksaan. Kesadaran Wajib Pajak berkonsekuensi logis untuk para Wajib Pajak agar mereka rela memberikann kontribusi dana untuk para Wajib Pajak.

Penyebab masih rendahnya kesadaran membayar PBB kaitannya dengan tingkat kepatuhan Wajib Pajak karena persoalan sanksi pajak yang belum ditegakkan. Padahal ada konsekuensi bagi Wajib Pajak jika terlambat melakukan pembayaran PBB, baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif berupa denda bagi Wajib Pajak yang terlambat membayar pajak terutang sebesar 2 % per bulan dari jumlah pajak yang terutang (Pasal 3 ayat 1 PMK No. 78/PMK.03/2016).

Namun berbeda dengan Pemerintah Kota Makassar yang mengalami peningkatan dari sektor PBB-P2. Hingga akhir 30 September 2019, realisiasi penerimaan PBB mencapai Rp 139, 45 miliar. Menurut Kepala UPTD PBB Bapenda Makassar, Adriyanto, angka ini meningkat Rp 9,33 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tahun lalu pada periode yang sama penerimaan PBB mencapai Rp 130,12 miliar. Dari 15 kecamatan dalam wilayah kota Makassar, terdapat dua kecamatan yang melebihi target penerimaan PBB yakni Kecamatan Tallo dan Kecamatan Sangkarrang. Kecamatan Tallo mendapat target sebesar Rp 7,71 miliar, realisasinya mencapai Rp 7,95 miliar atau lebih sekitar Rp 239,40 juta; sementara kecamatan Sangkarrang mendapat target penerimaan sebesar Rp 47,80 juta, realisasinya Rp 47,94 juta atau lebih sekitar Rp 148,88 ribu. Sementara kecamatan lainnya belumm mencapai target 100 persen namun rata-rata sudah diatas 60 persen. Hanya ada dua kecamatan yang berada dibawah target 50 persen yakni Kecamatan Tamalate dan Manggala (Sindonews, 2/10/2019). Keberhasilan mencapai target bisa karena dua faktor yakni faktor petugas pajak atau faktor kesadarana warganya membayar kewajiban pajaknya.

Kebijakan Perpajakan

Eksistensi pajak dalam negara sangat vital dalam menjalankan roda pemerintahan untuk menjalankan fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan dan pembangunan. Demikian pentingnya, maka pajak diatur dalam konstitusi negara UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PBB adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Peraturan perundang-undangan dibawah UU adalah Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan. Regulasi lainnya adalah Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sementara peraturan teknis dikeluarkan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), seperti PMK 532/KMK.04/1998 sebagaimana telah diganti menjadi PMK No. 150/PMK.03/2010 tentang Klasifikasi dan Besarnya NJOP sebagai Dasar Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan. Kemudian PMK No. 201/KMK.04/2000 sebagaimana telah diganti menjadi PMK No. 67/PMK.03/2011 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak.

Sejak tahun 2009 ketika berlaku Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan dan pedesaan (PBB-P2) telah diserahkan kepada pemerintah kota/kabupaten. Sementara PBB-P3 (sektor pertambangan, perhutanan dan perkebunan) masih dibawah kewenangan pemerintah pusat yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Pelayanan Perpajakan

Pelayanan publik dibidang perpajakan perlu terus dibenahi dan ditingkatkan agar pengguna layanan perpajakan merasakan kepuasan. Perintah Pasal 25 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik agar penyelenggara pelayanan publik menyediakan sarana, prasarana, fasilitas pelayanan publik yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan atau penggantian sarana, prasarana, fasilitas pelayanan publik.

Untuk mengetahui kepuasan masyarakat atas layanan perpajakan pada kantor perpajakan maka sebaiknya disiapkan fasilitas pengukuran kepuasan masyarakat yang telah menerima layanan pada instansi tersebut. Fasilitas pengukuran kepuasan masyarakat dapat menjadi alat ukur bagi pimpinan kantor perpajakan untuk melakukan evaluasi kualitas pelayanan yang telah dilakukannya. Hal ini pernah dilakukan oleh kantor Ditjen Pajak, Kementrian Keuangan sebagaimana tertuang dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak Tahun 2016. Merujuk pada Laporan tersebut, Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Ditjen Pajak tahun 2016 mencapai angka sebesar 4,10. Angka ini melampaui tahun sebelumnya yang hanya pada angka 3,87. Padahal Ditjen Pajak hanya menargetkan Angka Kepuasan Pengguna Layanan pada tahun 2016 sebesar 3,93 tetapi ternyata berhasil melampauinya menjadi angka 4,10.

Untuk mencapai angka kepuasan pengguna layanan, faktor sarana, prasarana, fasilitas pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 25-28 UU Pelayanan Publik memiliki peran besar membentuk persepsi publik tentang kualitas layanan. Beberapa sarana prasarana yang sering menjadi perhatian masyarakat pengguna layanan adalah tempat parkir yang aman, ruang tunggu yang nyaman, toilet yang terpisah laki-laki dan perempuan, sarana antrian elektronik, ruang khusus bagi ibu dan anak (ruang laktasi dan bermain anak), sarana dan prasarana bagi disabilitas serta keramahan petugas yang melayani dengan menggunakan atribut. Ruang tunggu yang nyaman sekarang ditandai dengan sarana sirkulasi udara (AC/kipas angin) dan tidak lengkap rasanya jika tidak dilengkapi dengan tempat charger handphone dan fasilitas WIFI.

Rendahnya kepatuhan Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya membayar pajak tepat pada waktunya bisa disebabkan karena faktor kualitas pelayanan perpajakan dan kinerja pelaksana pelayanan perpajakan. Penyelenggara pelayanan perpajakan dapat menerapkan berbagai cara agar masyarakat semakin sadar diri untuk melaksanakan kewajiban pajaknya dengan cara memperbaiki cara melayani dan melengkapi fasilitas pelayanannya.

Penulis, Asisten Ombudsman RI Provinsi Sulsel





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...