Kota Cerdas Melayani
Salah satu unsur terpenting dalam
pengembangan Smart City (Kota Cerdas)
adalah Smart Governance (tata kelola pemerintahan yang cerdas). Kota yang cerdas setidaknya memenuhi beberapa indikator
seperti Smart Transportation, Smart Environment,
Smart Living, Smart Economy, dan Smart People. Muara dari konsep Kota Cerdas itu adalah
peningkatan kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik diharapkan cepat,
tepat, efektif, efisien, akuntabel dan transparan. Adanya tata kelola
pemerintahan yang cerdas ini tentu dapat menekan korupsi. Karena pelayanan sudah
transparan, dimana masyarakat dapat memantau proses pelayanan.
Pelayanan publik semakin hari semakin dinamis. Pelayanan yang dulunya berminggu-minggu, kini hanya hitungan hari. Bahkan tidak menutup kemungkinan, nantinya pelayanan hanya dalam hitungan jam. Ini berkembang seiring tuntutan masyarakat yang membutuhkan pelayanan cepat.
Apalagi di era disrupsi, pemerintah dituntut untuk melakukan berbagai terobosan agar pelayanan semakin cepat dan mudah. Oleh karena itu, membangun tata kelola pemerintahan yang cerdas merupakan suatu keharusan. Dalam masa ini diharapkan pelayanan publik tidak lagi dilakukan secara manual, namun berbasis digital dengan sistem tata kelola pemerintahan yang berbasis elektronik. Di berbagai kantor pelayanan publik, banyak pelayanan yang bisa diakses melalui rumah, masyarakat tidak perlu bolak balik ke kantor. Kelengkapan persyaratan dokumen bisa dilakukan melalui online. Pelayanan juga semakin cepat. Apalagi di masa sekarang ini, dimana terjadi wabah Covid-19 yang entah sampai kapan berakhir, dibutuhkan sebuah terobosan layanan agar bisa diakses tanpa tatap muka. Misalnya pelayanan SIM Online, layanan passport, layanan perizinan di PTSP, layanan akta kelahiran online. Bahkan, walaupun pejabatnya tidak ada ditempat, layanan tetap jalan karena bisa menggunakan tanda tangan elektronik.
Tata kelola pemerintahan berbasis digital pun saat ini mulai dikembangkan. Penyelenggara pelayanan publik dituntut untuk melakukan berbagai inovasi. Tujuannya adalah untuk memudahkan pelayanan kepada publik. Kunci Kota Cerdas adalah integrasi, dimana sektor-sektor yang terkait dengan pelayanan publik saling terhubung satu sama lain. Teritegrasi.
Dulu, pemerintah daerah/kementerian/lembaga masing-masing membuat inovasi pengaduan. Karena mengedepankan ego sektoral, akibatnya antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda. Antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian lain, belum terintegrasi. Sarana pengaduannya pun beragam. Ada yang berbasis website, aplikasi berbasis android, surat elektronik, WhatsApp, telepon atau Short Message System (SMS). Ada juga yang masih manual dengan menggunakan kotak pengaduan/saran. Semua sarana pengaduan tadi tidak terintegrasi satu sama lain. Berbeda dengan hal ini, dalam konsep Smart City, kanal pengaduan mesti teritegrasi antar lembaga pelayanan publik.
Masyarakat yang tidak puas terhadap pelayanan publik, terkadang mengadu kemana-mana. Setelah melapor ke instansi satu, melapor lagi ke instansi lain. Mulai dari tingkat bawah, sampai ke kementerian. Ketika sama-sama direspon, tindak lanjut antara satu intansi dengan instansi yang lain ini, berbeda-beda. Atau bisa jadi, laporan tersebut didiamkan, karena menganggap bukan kewenangannya untuk menindaklanjuti pengaduan. Akhirnya, masyarakat dirugikan karena laporannya tidak mendapat penyelesaian.
Dari sisi anggaran, terjadi pemborosan. Instansi penyelenggara pelayanan berlomba membuat sistem pengaduan, tapi sebenarnya fungsinya sama, yaitu untuk memudahkan masyarakat menyampaikan pengaduan. Namun karena belum terintegrasi menyebabkan penyelesaian pengaduan tidak terpadu.
Politik hukum yang diambil pemerintah adalah dengan membuat Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N), yang diberi nama LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). Aplikasi ini mengintegrasikan seluruh instansi penyelenggara pelayanan publik dalam satu sistem pengaduan secara online. Sehingga ketika ada pengaduan masyarakat, walaupun bukan kewenangannya, dapat diteruskan ke instansi yang berwenang. Tindaklanjut pengaduan juga terpadu, karena instansi terkait dapat memantau proses penyelesaian pengaduan. Masyarakat tidak perlu khawatir, karena laporannya akan ditindaklanjuti, diteruskan apabila bukan kewenangan, dan perkembangan laporannya dapat dipantau.
Apabila ada kota yang ingin mengembangkan konsep Kota Cerdas, maka harus terhubung dengan SP4N ini. Pemerintah daerah dilarang membuat aplikasi serupa. Ini mencegah pemborosan anggaran, untuk mata akun yang sama. Sekarang sudah ada 34 kementerian, 100 lembaga, pemerintah, 391 kabupaten, 94 pemerintah kota, serta 34 pemerintah provinsi yang sudah terhubung dengan SP4N.
Selain, SP4N, di bidang pengadaan barang dan jasa, ada Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sudah teritegrasi secara nasional. Pengadaan barang dilakukan melakukan lelang secara elektronik. Di bidang kepegawaian, ada Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK). Melalui sistem ini, data kepegawaian harus terintegrasi secara Nasional untuk mewujudkan satu data Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan menjadi rujukan data seluruh instansi.
Integrasi layanan ini sangat penting untuk memudahkan dalam memberikan pelayanan. Bagi pemerintah, misalnya, keterhubungan antara PTSP dengan kantor pajak, sangat berdampak pada optimalisasi pendapatan pajak. Pengusaha yang tidak taat bayar pajak, tidak akan memperoleh layanan kalau pajaknya bermasalah. Ke depannya, ini berlaku juga dengan kepesertaan BPJS. Ketika masyarakat tidak terdaftar sebgai peserta BPJS, bisa jadi nanti tidak akan mendapat pelayanan publik. Karena memang, undang-undangnya memberiksa sanksi administratif bagi masyarakat yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS.
Selain soal integrasi layanan, mewujudkan Kota Cerdas dari sisi pelayanan publik juga harus mengakomodir isu penting. Pertama, partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Terutama menyangkut pembangunan. Pelibatan masyarakat itu bisa melalui musyawarah perencanaan dan pengembangan, penyusunan standar pelayanan publik, public hearing maupun melalui Kanal Aspirasi Dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!). Saat ini, banyak kepala daerah yang menggunakan basis data diaplikasi LAPOR! untuk pembahasan APBD. Misalnya, laporan yang terbanyak soal infrastruktur, maka anggaran untuk perbaikan infrastruktur ditambah. Pengaduan yang masuk ke Ombudsman pun bisa dijadikan rujukan bagi kepala daerah untuk mengambil kebijakan.
Kedua, ciri Kota Cerdas adalah keterbukaan informasi. Masyarakat dimudahkan dalam memperoleh berbagai informasi. Di beberapa lembaga, sudah ada yang mengembangkan PPID secara online. Permohonan informasi dan data dapat disampaikan secara online sehingga masyarakat tidak perlu lagi datang ke kantor. Penyerahan berkas pun dilakukan secara online. Oleh karenanya penting bagi instansi untuk membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Dari sisi standar pelayanan publik, sebagai bentuk keterbukaan informasi, standar pelayanan publik juga diumumkan secara terbuka melalui website. Ini memudahkan masyarakat untuk mengakses layanan. Mereka tidak perlu datang ke kantor hanya untuk bertanya persyaratan. Cukup membuka website, informasi mengenai biaya, persyaratan, jangka waktu dan prosedur layanan dapat diketahui publik. Begitu juga dengan anggaran. Transparansi anggaran perlu dipublikasikan sebagai bentuk keterbukaan terhadap publik.
Ketiga, penggunaan teknologi digital untuk pelayanan publik. Di beberapa kabupaten/kota di Kalsel, selain beberapa jenis layanan sudah menggunakan online, di setiap sudut kota dipasangi CCTV. Keberadaan CCTV ini bertujuan untuk memudahkan pemantauan arus lalu lintas dan menimalisir tindak kejahatan. Selain itu, CCTV juga berguna untuk memantau agar kota tetap bersih. Jika ada sampah yang tidak terangkut, bisa dipantau melalui CCTV.
Keempat, Kota Cerdas harus mencerminkan ramah anak dan difabel. Sarana prasarana yang dibangun, harus memperhatikan kelompok rentan. Trotoar dibangun harus ramah difabel. Bangunan pemerintahan harus bisa diakses bagi difabel. Begitu juga dengan ruang terbuka hijau dan transportasi publik, juga harus memperhatikan kebutuhan difabel.
Kelima, mengoptimalkan SDM dan SDA yang ada. Mewujudkan Kota Cerdas tidak melulu soal teknologi. Misalnya, Banjarmasin yang memanfaatkan sungai sebagai objek wisata(Smart Tourism). Juga adanya himbauan dari walikota untuk menggunakan sasirangan (kain adat di Kalimantan Selatan) bagi ASN setiap Hari Kamis, dimana penggunaan sasirangan ini turut mendorong berkembangnya UKM. Selain itu, pengelolaan bank sampah yang memanfaatkan peran serta masyarakat sekitar (Smart Waste Management) juga dapat dilakukan guna mewujudkan Kota Cerdas.
Namun, mewujudkan Kota Cerdas bukan tanpa tantangan. Pertama, kualitas SDM yang melek teknologi (TIK) masih minim. Masih sedikit ASN yang memiliki kompetesi standar teknologi informatika dan komputer. Sehingga pengembangan aplikasi dan berbagai macam program, dikerjakan pihak ketiga. Kita bisa berhemat anggaran, kalau SDM-nya banyak memiliki keahlian di bidang TIK. Kedua, masih ada ego sektoral masing-masing kementerian/lembaga, sehingga keterhubungan antar instansi masih menjadi persoalan. Misalnya telepon 119 milik Kementerian Kesehatan. Layanan ini merupakan layanan cepat tanggap darurat kesehatan. Selain itu, ada call center 112 untuk layanan darurat, yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tidak seperti di Amerika, call center 911, satu untuk semua. Kita pun mudah untuk mengingatnya, padahal bukan bermukim di AS. Di Indonesia, terlalu banyak call center untuk layanan darurat, sehingga masyarakat kesulitan mengingatnya. Oleh sebab itu, ego sektoral harus dihilangkan untuk mewujudkan satu akses yang terintegrasi.
Ketiga, infrastruktur jaringan telekomunikasi. Masih banyak daerah yang mengalami blank spot. Akibatnya menjadi sulit untuk membangun konsep Smart City, ketika banyak daerah yang belum terjangkau jaringan internet. Dalam hal ini kerjasama dengan penyedia layanan internet sangat diperlukan, karena pengembangan layanan sangat erat dengan internet ketesediaan infrastruktur jaringan.
Terakhir, ketersediaan anggaran yang memadai. Untuk mengatasi hal ini, perlu dibangun kerjasama dengan pihak swasta. Misalnya dengan memanfaatkan dana CSR untuk mengembangkan perangkat CCTV. Selain itu, politik anggaran dari legislatif juga diperlukan, karena pada dasarnya anggaran merupakan unsur penentu, selain political will dari kepala daerah.