• ,
  • - +

Artikel

Korupsi Lahir Dari Penyimpangan Standar Pelayanan Publik
• Senin, 20/07/2020 • Lagat Parroha Patar Siadari
 
Flyer Kegiatan Ngopi Online Bersama Aliansi Jurnalis Independen dengan tema STOP KORUPSI di KEPRI

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan meski tidak signifikan. Pada tahun 2017 lalu mendapatkan nilai 37, kemudian meningkat di tahun berikutnya menjadi 38 dan tahun lalu 2019 lalu mencapai 40. Pencapaian nilai ini juga serta merta meningkatkan peringkat negara, terakhir menduduki peringkat 85 dari 180 negara (semakin kecil peringkatnya semakin baik persepsi korupsinya). Kenaikan skor ini salah satunya dipicu penegakan hukum yang tegas kepada pelaku suap dan korupsi. Penilaian ini dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) yang melakukan kajian tiap tahun. Meski membaik namun bila dibandingkan negara lain di Asean maka pemberantasan korupsi di Indonesia masih dianggap tidak sebaik di Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalaam yang indeksnya di atas Indonesia. Masih tingginya persepsi korupsi di negara kita berbanding lurus dengan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) yang menduduki peringkat 73 dari 180 negara.

Pada buku pencegahan korupsi yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 menyebutkan bahwa selama periode 2004 - 2018 tindak pidana korupsi yang ditangani KPK melibatkan 998 orang. Berdasarkan profesi/jabatannya sebanyak 31% adalah anggota DPR/DPRD, 25% pejabat ASN Eselon I-III, Walikota/Bupati dan Wakilnya 12% dan Gubernur 2%. Dengan demikian berdasarkan profesi/jabatan sebanyak 70% melibatkan pejabat publik dan anggota legislatif.[1]  Sedangkan tindak pidana korupsi berdasarkan jenis perkara dari 887 Perkara, sebanyak 564 kasus penyuapan, 188 kasus pengadaan barang dan jasa, dan sebanyak 46 kasus penyalahgunaan anggaran.[2]

Tingginya kasus korupsi yang terjadi ditengarai karena penyimpangan pelayanan publik kepada masyarakat tanpa menerapkan standar pelayanan yang seharusnya. Jenis penyimpangan pelayanan publik yang sering terjadi adalah tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, berpihak, penyalahgunaan wewenang, permintaan uang/ barang/jasa dan diskriminasi. Berdasarkan Undang-Undang 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, standar pelayanan sebagai  tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai  kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang bekualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Standar Pelayanan publik setidaknya meliputi dasar hukum, persyaratan, sistem, mekanisme dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan, sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, penanganan pengaduan, saran, dan masukan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan (Maklumat Pelayanan), komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan dan evaluasi kinerja pelaksana.

Rendahnya kepatuhan/implementasi standar pelayanan mengakibatkan berbagai jenis maladministrasi (ketidakjelasan prosedur, ketidakpastian jangka waktu layanan, pungli). Hal ini akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan hambatan pertumbuhan investasi serta kepercayaan publik terhadap aparatur dan pemerintah menurun yang berpotensi mengarah pada apatisme publik terhadap Pemerintah. Ombudsman Republik Indonesia menemukan jenis penyimpangan yang paling dominan dilaporkan masyarakat adalah penundaan berlarut, penyimpangan prosedur dan tidak memberikan pelayanan.

Secara nasional tiap tahun Ombudsman Republik Indonesia melaksanakan kajian ilmiah survei kepatuhan standar pelayanan publik atas pelayaan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan maladministrasi pada Unit Layanan Publik Pemerintah Pusat & Daerah dengan upaya pemenuhan komponen standar pelayanan sebagaimana diatur dalam UU 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Juga untuk mengetahui efektivitas dan uji kualitas penyelenggara pelayanan publik.

Ombudsman Perwakilan Kepulauan Riau akan semakin intensif mengawasi unit layanan publik yang ada di Kepulauan Riau dengan memastikan semuanya menerapkan standar pelayanan. Juga mendorong agar dibentuk unit penerimaan dan pengelolaan pengaduan masyarakat sehingga membuka akses masyarakat dalam menyampaikan pengaduannya ketika menemukan/mengalami penyimpangan pelayanan. Untuk menjalin koordinasi yang baik maka akan dibentuk focal point pada masing-masing unit layanan sehingga Ombudsman dapat memantau penerapan standar pelayanan publik di instansi tersebut.



[1] Disampaikan Pada  Ngobrol Pagi (Ngopi)  dengan topik "Membedah Praktik Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Di Kepri" Bersama Aliansu Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang, 18 Juli 2020

Sumber diolah dari :https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi/tpk-berdasarkan-profesi-jabatan

[2]Sumber diolah dari : https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi/tpk-berdasarkan-jenis-perkara





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...