Korektif Layanan Disdik dan PLN
Insiden pemutusan aliran listrik di 3 (tiga) Sekolah Menengah Atas yakni SMA Banua, Sekolah Luar Biasa (SLB) C Banjarbaru dan SMK Peternakan (Snakma) Pelaihari, termasuk kantor Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel dirasa sangat disayangkan.
Menurut PLN, penyegelan atau pemutusan sementara aliran listrik tersebut dikarenakan pihak Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel melakukan tunggakan pembayaran selama satu bulan, sekitar Rp 70.861.866. Bahkan pihaknya telah mengirimkan surat tagihan rekening listrik pada 27 Januari 2020 lalu. Sayangnya sampai batas waktu pukul 15.00 tanggal 31 Januari 2020, pihak Dinas Pendidikan belum juga menunaikan kewajiban meski di tanggal 29 Januari, UPPP telah melakukan pertemuan dengan Kasubag Perencanaan Keuangan dan Aset Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel
Sesuai dengan Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) antara pelanggan (Disdik Kalsel), dikatakan bahwa apabila menunggak membayar listrik 1 bulan, maka akan dikenakan sanksi pemutusan sementara segel MCB. Akhirnya terjadilah pemutusan aliran listrik yang sekali lagi, adalah insiden tragis yang mestinya tak perlu terjadi.
Melihat problem ini, Ombudsman Kalsel melakukan inisatif dengan menghubungi pihak PLN dan pihak sekolah untuk memastikan bahwa pelayanan publik di bidang pendidikan harus terus berjalan.
PLN Jangan Abai, Disdik Jangan Lalai
Bagi Ombudsman, pemutusan listrik oleh PLN kepada sekolah sebagai fasilitas penting pelayanan publik mestinya tak boleh terjadi lagi. Sebab sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, kita tak bisa membayangkan bagaimana pelayanan dasar yakni pendidikan hanya dilihat dengan kacamata buram.
Tindakan PLN yang berfokus pada nilai tagihan tanpa mempertimbangkan layanan utama negara yakni pendidikan patut disesalkan,. Dalam hemat Ombudsman, publik di Kalimantan Selatan sebenarnya sering sabar dengan layanan PLN yang masih jauh dari sempurna. Penyalaan bergilir di sejumlah titik di kabupaten yang masih terjadi, lambannya penanganan perbaikan jaringan, penertiban kabel listrik yang masih semrawut, tindakan P2TL yang sering dikeluhkan, serta informasi yang belum memadai atas pemadaman, faktanya masih sering terjadi. Atas dasar ini perlu ada nilai kebijaksaan dan perhatian serius oleh PLN atas segala keputusan yang menyangkut fasilitas dan sarana publik vital seperti sekolah, rumah sakit, kantor layanan publik dan area yang menyangkut kepentingan publik luas. Jangan sampai bisnis setrum mengabaikan kepentingan umum.
Lain lagi dengan soal Dinas Pendidikan. Sebagai penyelenggara pelayanan publik di bidang pendidikan mestinya hal yang "remeh" ini tak boleh terjadi. Bukankah dalam proses perencanan dan anggaran rutin pengeluaran sudah jelas dan terprogram setiap tahun, apalagi urusan LTGA ( Listrik,Telepon, Gas dan Air ) adalah pengeluaran rutin. Tapi sayangnya masih saja ada kelalaian dalam hal ini.
Dinas Pendidikan Kalsel seyogyanya sudah mencegah peristiwa "lambat bayar" ini terjadi. Publik pun menjadi bertanya apakah Dinas Pendidikan terlalu sibuk dengan program kerja, sehingga hal teknis sederhana ini terabaikan? Atau seperti pemberitaan media baru baru ini, masih terjadi konfilk internal yang juga belum terselesaikan oleh Diknas sendiri?
Pada fokusnya Ombudsman sebagai pengawas ingin mengingatkan atas sumpah jabatan, komitmen melayani dan orientasi keadilan yang menjadi arah kompas setiap penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Jangan sampai atas dasar ketidakpahaman atau ketidaksiapan justru mengorbankan hakikat pelayanan publik yang menjadi misi utama negara.
Bukankah, baik PLN apalagi Dinas pendidikan adalah instrumen pelayanan publik negara yang menjadi representatif kehadiran negara atas kepentingan rakyatnya? Masih ingatkah bahwa PLN, Disdik, pun Ombudsman, adalah abdi/ "pelayan" rakyat sekaligus abdi negara? Hal ini mengingatkan kita untuk melihat dari kacamata "pelayanan", bukan malah terlihat seperti kepentingan bisnis swasta semata atau hanya melihat pelayanan dari kacamata kuda. Sekian.