• ,
  • - +

Artikel

Ketersediaan Pangan dalam Perspektif Pelayanan Publik
ARTIKEL • Kamis, 29/08/2024 • M. Ilham Setiawan Bahri
 
M. Ilham Setiawan Bahri

Masalah ketersediaan pangan dalam perspektif kebijakan publik membutuhkan pendekatan sistemik dan melibatkan berbagai unsur dalam pemerintahan pada pelaksanaan kebijakannya. Perlu konstruksi yang terintegarsi dalam perencanaan serta pengelolaan atas produksi pangan, infrastruktur pendukung serta biaya logistik.

Kebijakan harga dan subsidi juga mempengaruhi ketahanan pangan dari ketersediaan cadangan pangan yang diperoleh dari produktifitas pertanian, adaptasi perubahan iklim, kebijakan perdagangan dan impor pangan. Kebijakan untuk penyediaan pangan juga berkorelasi pada kesehatan dan produktivitas masyarakat atas jaminan kecukupan nutrisi. Kebijakan tersebut perlu dilaksanakan dalam rangkaian layanan publik yang memerlukan partisipasi publik dan koordinasi lintas lembaga.

Dalam perspektif pelayanan publik, masalah ketersediaan pangan menjadi urusan layanan yang meliputi: 1) Layanan pengaturan (regulatory service), berupa kebijakan penyediaan dan produksi pangan. Contoh penyediaan CBP, impor pangan, dan produksi pangan; 2) Layanan barang, berupa pangan yang disediakan oleh pemerintah sebagai program kebijakan pelayanan barang kepada masyarakat. Contoh bantuan pangan pemerintah berupa beras, dan program beras SPHP.

Kebijakan terkait ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan nasional paling tidak diperoleh melalui dua sumber, yaitu melalui produksi dalam negeri dan impor produk pangan.

Pada produksi dalam negeri terjadi penurunan produksi beras di empat tahun terakhir. Menurut data BPS pada tahun 2020 produksi beras mencapai angka 54,65 juta ton GKG. Sementara pada tahun 2021 sampai 2023 terjadi penurunan, masing- masing di tahun 2021 sebesar 53,48 juta ton GKG, tahun 2022 sebesar 52,44 juta ton GKG, dan tahun 2023 drastis turun di angka 50,56 juta ton GKG. Terjadi penurunan produksi 1 sampai 2 juta ton setiap tahun. Tentunya penurunan angka produksi ini akan sangat mempengaruhi ketersediaan pangan dari sumber produksi dalam negeri. Ada banyak faktor yang mempengaruhi turunnya tingkat produksi beras setiap tahun.

Salah satu yang paling mempengaruhi berkurangnya produksi adalah faktor lahan. Dalam perspektif layanan publik, bagaimana pengaturan atas kebijakan lahan padi ini diselenggarakan oleh pemerintah? Luas panen padi di Indonesia pada tahun 2023 sekitar 10,46 juta hektar (data BPS). Dari data BPS menunjukkan bahwa luas lahan sawah di Indonesia mengalami penurunan sekitar 1,6 juta hektar dari tahun 1995 hingga 2020.

Data ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tersebut terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, seperti pemukiman dan industri, mengurangi luas lahan yang digunakan untuk budidaya padi. Situasi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengaturan terkait lahan padi gagal dilaksanakan. Walaupun kita sudah memiliki peraturan perundangan yang menjadi payung untuk memastikan kelangsungan produksi pertanian padi melalui perlindungan atas lahan yang ada.

Beberapa produk peraturan perundangan tersebut di antaranya UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang bertujuan untuk mengatur perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan dan mencegah alih fungsi lahan; UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang mengatur penataan ruang wilayah untuk memastikan penggunaan lahan yang berkelanjutan dan terencana, termasuk perlindungan terhadap lahan pertanian; UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur perlindungan lingkungan hidup secara umum, yang juga mencakup perlindungan terhadap lahan pertanian dari dampak pencemaran dan kerusakan; PP 1/2011 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai dengan UU 41/2009; Perpres 59/2017 tentang Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur kebijakan dan strategi nasional dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk aspek yang berhubungan dengan perlindungan lahan pertanian; Permentan 26/Permentan/OT.140/4/2017 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang mengatur tata cara penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan dalam UU 41/2009.

Peraturan perundang-undangan tersebut telah mengatur perlindungan lahan pertanian yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan fungsi lahan pertanian, mencegah konversi lahan, dan mendukung ketahanan pangan. Namun dalam pelaksanaannya gagal untuk memastikan lahan pertanian tetap terjaga dan berfungsi secara optimal untuk produksi pangan. Artinya, dari sisi pengaturan (regulatory service) kita sudah memiliki perangkat aturan untuk memastikan kelangsungan lahan pertanian kita, khususnya lahan padi.

Namun perlu digarisbawahi, bahwa masalah menurunnya luasan lahan pertanian padi Indonesia terletak pada masalah penegakkan peraturan. Hal inilah yang menjadikan lahan pertanian kita tidak dapat optimal untuk produksi pangan. Sehingga perlu adanya program perbaikan dan perancangan yang dapat meningkatkan luasan lahan pertanian kita.

Untuk mendatangkan hasil lebih besar, perlu adanya program penambah lahan pertanian yang dapat meningkatkan produksi pangan. Program penambah lahan pertanian perlu dilakukan dengan baik untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebagai contoh, program perluasan lahan pertanian yang sukses dapat dilihat di negara-negara seperti Vietnam dan Brasil. Di Vietnam, program intensifikasi pertanian dan perluasan lahan basah telah berhasil meningkatkan produksi padi secara signifikan. Sedangkan di Brasil, inisiatif untuk membuka lahan pertanian baru di wilayah Cerrado telah memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan produksi kedelai.

Pemerintah harus memainkan peran penting dalam kebijakan perluasan lahan pertanian untuk memastikan implementasi yang efektif dan berkelanjutan. Kebijakan yang jelas dan dukungan finansial yang memadai dari pemerintah dapat membantu petani dalam mengakses teknologi modern dan praktik pertanian yang lebih efisien. Selain itu, regulasi yang ketat dan pengawasan yang konsisten diperlukan untuk mencegah konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, sehingga tujuan peningkatan produksi pangan dapat tercapai. Namun, tantangan dalam mengimplementasikan kebijakan ini tidak sedikit. Beberapa tantangan utama termasuk resistensi dari pemilik lahan, birokrasi yang berbelit-belit, dan keterbatasan anggaran. Selain itu, ada juga risiko kerusakan lingkungan jika perluasan lahan tidak dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan.

Dampak dari berkurangnya lahan pertanian padi, berdampak pada produksi padi yang menurun setiap tahun. Akhirnya, upaya untuk memastikan ketersediaan pangan untuk konsumsi nasional ditempuh melalui mekanisme impor. Khususnya dalam hal untuk memenuhi cadangan pangan pemerintah, dan upaya untuk melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan dalam negeri. Menurut data BPS, produksi beras Indonesia pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 30,90 juta ton. Sedangkan untuk kebutuhan konsumsi beras di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 30,77 juta ton. Artinya Indonesia hanya surplus 0,13 juta ton. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bahwa cadangan pangan nasional yang ideal setidaknya mencakup 17-18% dari total kebutuhan konsumsi tahunan.

Berdasarkan konsumsi beras Indonesia sekitar 30,77 juta ton per tahun (data 2023), maka cadangan yang ideal adalah sebesar 5,2 juta ton. Sehingga upaya untuk memastikan ketersediaan pangan beras nasional harus mampu menyediakan pangan beras sebesar total 35,97 juta ton setiap tahunnya. Prasyaratnya adalah memastikan total luas lahan panen padi yang ada di dalam negeri mampu memproduksi beras sebesar 35,97 juta ton. Apabila ketersediaan lahan tidak mampu menyediakan jumlah tersebut, maka pilihan lainnya adalah melalui importasi pangan.

Masalah layanan publik selanjutnya yang timbul dalam ketersediaan pangan adalah terkait masalah pengaturan importasi beras. Setidaknya terdapat 3 isu utama dalam importasi beras, yakni timing, volume, & stock. Waktu impor pangan beras yang sering kali diambil bertepatan dengan masa panen petani selalu akan merugikan petani karena berdampak pada anjloknya harga panen padi milik petani, dan menimbulkan gejolak publik yang cukup besar. Tidak jarang kita temukan pengumunan importasi beras oleh pemerintah harus direvisi bahkan ditarik kembali keputusannya oleh pemerintah, bahkan oleh presiden secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki perencanaan yang matang dalam masalah ketersediaan pangan, tidak mampu melakukan proyeksi terhadap kebutuhan di masa depan, dan melakukan mitigasi atas potensi kebutuhan pangan yang terganggu akibat produksi yang menurun akibat perubahan iklim dan lain sebagainya.

Terkait volume impor beras, pada tahun 2023 Indonesia melakukan importasi beras sebesar 3,06 juta ton. Jika ditambah dengan hasil produksi beras dalam negeri tahun 2023 sebesar 30,90 juta ton maka total ketersediaan beras mencapai 33,96 juta ton. Angka ini jauh di atas jumlah kebutuhan konsumsi sebesar 30,77 juta ton. Seharusnya dengan jumlah ketersediaan sudah mencapai di atas kebutuhan konsumsi nasional, HET beras medium dan premium dapat terbentuk di pasar domestik, Beras Medium Rp 9.450 per kilogram (HET di wilayah Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi), dan Beras Premium: Rp 13.900 per kilogram (HET di wilayah yang sama dengan beras medium). Namun HET beras tersebut tidak pernah terbentuk sepanjang tahun 2023. Harga beras medium di Indonesia pada tahun 2023 berkisar antara Rp 11.000 hingga Rp 12.500 per kilogram. Harga beras premium di Indonesia pada tahun 2023 umumnya berada di kisaran Rp 13.000 hingga Rp 15.500 per kilogram.

Ada dua kemungkinan mengapa HET beras tidak dapat terbentuk di pasar. Pertama, biaya produksi beras yang memang mengalami kenaikan sesuai dengan tingkat inflasi yang terjadi setiap tahun. Kedua, program SPHP untuk stabilisasi harga gagal. Kita hanya akan menyoroti faktor yang kedua, karena pelaksanaannya berdasar atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk melakukan intervensi harga terhadap pasar. Program SPHP gagal mewujudkan HET beras karena psikologi pasar yang melihat bahwa pemerintah tidak benar-benar mampu dapat mengendalikan harga beras di pasar.

Hal ini dapat dilihat dari sulitnya pemerintah untuk mewujudkan ketersediaan stok pangan pemerintah dalam CBP. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian dan Bulog menetapkan cadangan beras pemerintah (CBP) di angka sekitar 1-2 juta ton pada kondisi normal untuk kebutuhan darurat dan stabilisasi harga. Angka ini jauh di bawah standar cadangan pangan nasional yang ideal menurut FAO, dimana seharusnya berada di angka 5,2 juta ton (17% dari total kebutuhan konsumsi). Artinya, kebijakan impor beras sebanyak 3,06 juta ton di tahun 2023 dipandang sebagai upaya yang tidak serius dari negara untuk menjamin kebutuhan pangan nasional, yang mengakibatkan pasar melihat bahwa negara melalui pemerintah tidak akan benar-benar mampu mewujudkan HET beras, karena ketiadaan instrumen pengendali berupa stok yang ideal untuk dapat mengendalikan pasar domestik.

Stok CBP adalah instrumen negara untuk mengendalikan pasar atas harga pangan. Selama stok tidak dapat dijamin untuk terpenuhi, maka selama itu kebijakan ketersediaan pangan, baik berupa pasokan maupun harga, akan sulit terwujud. Pemerintah saat ini menerapkan kebijakan stok melalui skema dynamic stock. Dynamic stock ini menjadi bagian dari upaya menjaga keseimbangan hulu dan hilir beras supaya stok menjadi segar dan menghindar kerusakan.

Pada praktiknya, pengelolaan stok ini tidak benar-benar dapat dilaksanakan. Seperti yang ditemukan Ombudsman pada bulan Juni 2023 di Provinsi Gorontalo, tidak terdapat stok di gudang Bulog di kota Gorontalo, yang menurut kepala Bulog bahwa beras impor untuk kegiatan penyaluran bantuan pangan dan program SPHP masih dalam perjalanan dari kota Manado menuju Gorontalo.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa, pemerintah tidak benar-benar memiliki apa yang kita kenal sebagai "stok". Stok seharusnya adalah barang yang diam, dan akan digerakkan atau digunakan dan/atau dikeluarkan ketika sudah ada barang pengganti yang masuk menggantikan stok yang keluar. Barang yang baru masuk tersebut kemudian berubah menjadi stok pengganti barang yang keluar menjadi bantuan pangan atau beras SPHP. Setidaknya, dari temuan di Gorontalo tersebut, kita melihat bahwa apa yang disebut dengan dynamic stock atau bahkan stok itu sendiri tidak ada atau tidak pernah terbentuk. Karena setiap beras yang disediakan oleh Bulog hanya "transit" di gudang Bulog.

Terakhir, terkait akses publik terhadap pangan. Khususnya akses terhadap program-program penyediaan bahan pangan oleh pemerintah seperti beras: bantuan pangan beras dan beras SPHP. Ombudsman merangkum beberapa masalah layanan publik dalam penyaluran bantuan pangan beras, yaitu: barang/beras, data penerima, pengawasan, waktu penyaluran,  dan tata cara/prosedur penyaluran, tatacara/prosedur bagi masyarakat penerima dalam mengakses bantuan pangan serta sosialisasi yang telah dilakukan.

Adapun beberapa potensi masalah/maladministrasi yang ditemukan Ombudsman dalam 2 tahun terakhir aktif di kegiatan pengawasan penyaluran dan penyediaan bantuan pangan beras, yaitu: kualitas/mutu beras. layak/tidak layak konsumsi, volume/berat beras sesuai yang ditentukan, dan Kapasitas pelaksana/penyedia beras. Kompetensi petugas, infrastruktur, jaringan distribusi, permodalan, dll.

Potensi masalah/maladministrasi yang bisa terjadi dalam penyajian data penerima bantuan pangan adalah terkait data yg tidak mutakhir, karena: Penerima telah pindah alamat atau meninggal dunia, Penerima tidak memenuhi kriteria, Memenuhi kriteria tapi tidak terdaftar, Mekanisme pendataan yang belum menunjang proses pemutakhiran.

Potensi masalah/maladministrasi dalam pengawasan penyaluran bantuan pangan adalah tidak adanya saluran pengaduan, karena masyarakat adalah salah satu unsur pegawas pelayanan publik, Pengawasan oleh masyarakat, khususnya para penerima bantuan, tidak akan efektif apabila tidak disediakan saluran pengaduan. Misalnya ketika beras yang diterima mutu dan beratnya tidak sesuai, akan kesulitan melaporkan peristiwa tersebut, belum adanya unit pengelolaan pengaduan dalam layanan penyaluran bantuan pangan.

Potensi masalah dalam penentuan waktu penyaluran. Masalah ini tidak terkait langsung dengan proses penyaluran bantuan, tapi memiliki dampak yang luas, khususnya kepada Petani, apabila waktu tidak diatur dan dikelola secara tepat. Yaitu penyaluran bantuan beras yang dilakukan di masa musim panen padi. Hal ini akan berdampak pada jatuhnya harga jual gabah/beras milik petani. Penyaluran sebaiknya dilakukan di luar musim panen.

 Kesimpulan

Program pembukaan 2,5 juta hektar lahan baru oleh Menteri Pertanian perlu didukung untuk memastikan kemampuan produksi kita. Bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional, tapi dapat juga memenuhi kewajiban ketersediaan stok cadangan beras pemerintah di angka yang ideal. Dengan total luas lahan panen padi saat ini sebesar 10,46 juta hektar dengan produksi sekitar 30,90 juta ton di tahun 2023, maka rata-rata produksi per hektar kita di angka 2,95 ton per hektar. Dengan tambahan luas lahan padi baru seluas 2,5 juta hektar, harapannya produksi beras kita dalam beberapa waktu ke depan bisa bertambah 7,37 juta ton. Sehingga produksi beras nasional kita ke depan bisa menembus angka 38, 27 juta ton. Melampaui angka kebutuhan konsumsi nasional dan kebutuhan cadangan pangan beras sejumlah 35,97 juta ton. Artinya, swasembada beras terwujud.

Tata kelola stok CBP juga perlu pembenahan. Biaya perawatan dan kerusakan adalah keniscayaan dalam pengelolaan stok. Dynamic stock bukanlah stok yang diperuntukan sebagai cadangan bagi pemerintah untuk mengatasi potensi situasi krisis pangan. Dynamic stock hanya ideal dalam sebuah tata kelola unit usaha, tapi tidak ideal sebagai intrumen "alat gebuk" pemerintah untuk mengintervensi pasar, dan terbukti gagal. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai apabila ingin betul-betul mewujudkan stok yang dapat disegani pasar.

Akses publik terhadap program pangan pemerintah perlu memperhatikan pelibatan masyarakat, khusunya terkait data. Pemerintah perlu memperhatikan mekanisme pengelolaan data yang dapat dengan mudah diakses untuk melakukan pemutakhiran oleh petugas pendataan di daerah. Pemerintah melalui Bapanas agar membentuk unit pengelolaan pengaduan, dan mencantumkan nomor pengaduan pada setiap karung beras bantuan pangan. hal ini bertujuan agar masyarakat mengetahui kemana mereka harus memberikan laporan atas masalah dan kendala yang dihadapi dalam mengakses layanan bantuan pangan.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...