• ,
  • - +

Artikel

Kebijakan Di Masa Wabah
• Rabu, 08/04/2020 • Ahmad Saleh David Faranto
 

Hari ini seluruh masyarakat Indonesia masih menghadapi wabah covid-19/corona. Dikutip dariWorld Health Organization (WHO), covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona dan paling baru ditemukan. Virus dan penyakit baru ini tidak diketahui sebelum wabah dimulai di Wuhan, Cina, pada bulan Desember 2019.

Untuk menjaga terbatasnya wabah covid-19 di Indonesia, pemerintah pusat dan pemerintah daerah di masing masing provinsi dan kabupaten/kota telah mengambil langkah antisipasi atau kesiapsiagaan agar wabah tidak menelan korban yang lebih besar. Catatannya,  langkah demikian harus dibangun secara baik dan sinergis oleh pemerintah.

Skema Pengendalian

Seperti yang beredar di media sosial dan media masa, penanganan wabah covid-19 antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kurang berjalan baik dan sinergis. Contohnya seperti yang terjadi di Papua yang telah menerapkan lockdown. Contoh lain, Presiden Joko Widodo menolak usulan Gubernur Anies Baswedan agar DKI Jakarta dikarantina atau lockdown untuk menghentikan laju penyebaran wabah covid-19.

Presiden Joko Widodo sedari awal sudah menekankan untuk tidak memberlakukan lockdown atau karantina wilayah. Presiden bahkan menegaskan sesuai amanat undang-undang, lockdown atau tidak, adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat bukan pemerintah daerah. Resiko lockdown mungkin saja menurut pemerintah pusat tidak kecil, keadaan bisa jauh lebih buruk, tidak terkendali hingga korban tetap saja berjatuhan. Alih-alih mengatasi wabah covid-19, contoh lockdown di Italia, Prancis, Denmark, dan belakangan India malah menimbulkan masalah baru.

Dalam kondisi tersebut pemerintah menyiapkan skema pengendalian dengan menggunakan beberapa peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang tentang Bencana, Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Nomor 23 Tahun 1959) tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Dalam Perppu yang diterbitkan oleh Presiden Soekarno itu terletak serangkaian peraturan yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan status darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.

Dalam Perppu itu juga diatur, bahwa "penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat". Presiden dapat mengumumkan darurat sipil kalau terjadi situasi-situasi amat genting sebagaimana disebut dalam Pasal 1, "...sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa atau ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara".

Masalahnya, mengumumkan darurat sipil sebagaimana disebut dalam Perppu itu kalau situasinya karena kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sedangkan wabah covid-19 terkategori bencana non alam. Hukuman atas pelanggaran status darurat sipil dalam Perppu itu tergolong ringan, yakni pidana penjara selama sembilan bulan atau denda Rp. 20.000,-. Bandingkan dengan ancaman hukuman atas pelanggaran serupa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni pidana penjara selama satu tahun atau denda Rp. 100 juta.

Skema pengendalian dengan Perppu itu telah menuai kritik karena dianggap akan menghindarkan pemerintah dari tanggung jawab terhadap warga negaranya. Sebab, jika darurat sipil diberlakukan pemerintah tidak bertanggung jawab atas kebutuhan dasar masyarakat. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, disebutkan bahwa "selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat".

Penerapan Darurat Sipil juga bertentangan dengan asas hukumlex specialis derogat legi generalis, yakni hukum yang khusus dapat mengenyampingkan hukum yang umum. Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi sekarang dibandingkan dengan Perppu Penetapan Keadaan Bahaya. Belakangan, sebagai pilihan pengendalian, pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya mengenai PSBB, tidak mengenai materi yang lain. Artinya, seperti kebutuhan hidup orang dan makanan hewan ternak masih menjadi tanggung jawab sendiri.

Stimulus dan Perlindungan Sosial

Dari pilihan pengendalian tersebut serta memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat, Presiden Joko Widodo menggulirkan penundaan cicilan selama setahun dan penurunan bunga untuk kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bawah Rp 10 miliar. Penundaan cicilan selama setahun juga berlaku untuk kredit motor/mobil oleh ojek online dan sopir taksi, serta kredit perahu oleh nelayan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Namun, isi aturan yang terbit pertengahan Maret lalu ini tidak spesifik seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Dalam aturan itu, bank disebut bisa terlibat dalam memberikan stimulus perekonomian di tengah wabah covid-19, lewat kebijakan penilaian kualitas kredit dan restrukturisasi kredit. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.

Sedangkan restrukturisasi bisa diberikan kepada debitur, tanpa batasan plafon, setelah maupun sebelum terdampak wabah covid-19. Bentuk restrukturisasi antara lain penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, dan atau konversi kredit menjadi "Penyertaan Modal Sementara". Kredit berstatus lancar setelah restrukturisasi. Beberapa contoh sektor yang terdampak karena wabah covid-19, seperti pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pertanian, dan pertambangan.

Begitu juga mengenai tagihan listrik, Presiden Joko Widodo dikabarkan juga akan memberikan bantuan kepada konsumen 450Volt Ampere (VA) berupa pembebasan biaya tagihan. Sedangkan kepada konsumen bersubsidi 900 VA diberikan keringanan tagihan sebesar 50 persen. Kebijakan pemberian keringanan tagihan listrik tersebut sebagai bagian dari perlindungan sosial untuk masyarakat lapisan bawah di tengah wabah covid-19 yang di sebut sebut mulai berlaku selama tiga bulan, yakni bulan April, Mei, dan Juni 2020.

Sama halnya terhadap penundaan cicilan kredit kepada nasabah, pelaksanaan pembebasan dan keringan tagihan listrik kepada konsumen sepatutnya dilakukan dengan baik, mudah diakses, bebas pungli, transparan, tidak diskriminasi, dan wajar. Caranya, mekanisme yang dibuat tidak mempersulit nasabah dan konsumen, mudah dilaksanakan oleh petugas, dan dilengkapi dengan standar pelayanan. Jika tidak, pelaksanaan yang terjadi bisa sebaliknya, sulit diakses, marak pungli, tertutup, diskriminatif, dan manipulatif. Kalau demikian, maka publik menghadapi kerugian yang lebih besar. Sebab, tidak diterapkannya Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, atau berjalannya model lockdown ala Indonesia selama ini telah membuat banyak masyarakat mengurung diri di rumah atau sulit produktif.

Sudah sewajarnya pemerintah melalui pengawasan terkait ikut mengoptimalkan kebijakan stimulus dan perlindungan sosial agar tepat sasaran dan menyerap banyak pihak yang perlu dibantu. Jangan sampai kebijakan di masa "corona" ini hanya bagus dalam opini namun rendah manfaat. Begitu juga dengan kebijakan lainnya, seperti dana bantuan pra kerja dan bantuan sosial sembako kepada masyarakat.       


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...