(Kebiasaan) Memaklumi Pungli
Istilah pungli (pungutan liar) cukup populer belakangan ini. Banyak pihak yang sudah mulai menyadari betapa buruk dan merusaknya perilaku pungli. Pungli dalam pelayanan publik sadar atau tidak telah banyak kita saksikan. Namun dalam hal pemberantasan pungli, tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah pun cukup kewalahan. Bahkan keberadaan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar pun belum cukup efektif dalam artian masih dirasa kurang memberikan dampak yang signifikan dalam pemberantasan pungli.
Pungli Dalam Pelayanan Publik
Dalam pelayanan publik, Pungutan liar (Pungli) dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Pelaksana Pelayanan Publik) dengan cara meminta pembayaran uang yang tidak sesuai atau tidak ada aturan atas layanan yang diberikan kepada pengguna layanan. Pungli merupakan salah satu bentuk contoh maladminidtrasi yang cukup sering terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelaksana layanan publik melakukan tindakan pungli. Pertama, disebabkan karena ketidakjelasan prosedur layanan. Kedua, adanya penyalahgunaan wewenang. Ketiga, keterbatasan informasi layanan yang diberikan sehingga tidak dapat diakses oleh pengguna layanan. Keempat, kurangnya integritas pelaksana layanan. Kelima, kurangnya pengawasan dari atasan dan pengawas internal. Dan keenam, adanya kebiasaan dari pelaksana dan pengguna layanan.
Berbicara mengenai pungli dalam pelayanan publik, idealnya dapat dicegah dengan melakukan pengawasan maksimal dan pemenuhan setiap standar layanan. Namun banyak hal yang menjadikan hal tersebut sulit dilakukan. Mulai dari kurangnya komitmen dari atasan pelaksana pelayanan publik, kurangnya integritas dan profesionalitas pelaksana pelayanan publik bahkan adanya perilaku korup yang dimiliki oleh pelaksana pelayanan publik tersebut.
Dikarenakan pungli sudah sangat menjamur dalam pelayanan publik, Presiden Republik Indonesia pun menerbitkan Perpres Nomor 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Adapun yang menjadi pertimbangan Perpres tersebut lahir adalah dikarenakan praktik pungutan liar telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera. Praktik-praktik pungli sejatinya harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya, namun dalam pemberantasannya tidak dapat hanya mengandalkan pemerintah saja. Masyarakat harus turut serta berperan aktif dalam memberantas pungli. Karena sadar atau tidak praktik pungli sampai saat ini masih terus ada dikarenakan kebiasaan masyarakat yang cenderung apatis dan memaklumi praktik pungli tersebut.
Pungli Dalam Pandangan Masyarakat
Kata pungli sudah dipahami dan cukup luas diketahui masyarakat sebagai suatu bentuk pelanggaran, namun masih saja banyak masyarakat yang abai bahkan membiarkan perbuatan pungli tersebut. Erat kaitannya dengan tipikal masyarakat setempat, pungli cenderung tumbuh dan berkembang disaat tidak adanya kepedulian atau keberanian masyarakat untuk melaporkan pungli tersebut ke pihak yang berwajib. Dalam kehidupan sosial masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung misalnya, masyarakat cenderung abai dan bahkan seringkali memaklumi perbuatan pungli tersebut dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan.
Seringkali didapati bahwa masyarakat memaklumi pungli dengan alasan "kasihan" dan "tidak mau ribet". Bahkan yang lebih parah masyarakat (pengguna layanan) malah dengan sadar dan sengaja memberikan uang sebagai bentuk imbalan kepada pelaksana layanan agar pelayanannya dapat dipercepat dan dipermudah. Tentunya hal tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Kebiasaan masyarakat yang "baik" dan "pemaaf" inilah yang menjadikan pungli tumbuh subur dalam pelayanan publik. Kebiasaan masyarakat tersebut tak jarang dimanfaatkan oleh oknum nakal sehingga praktik pungli dianggap wajar oleh masyarakat dalam pelayanan publik.
Terdapat beberapa faktor-faktor yang menjadikan masyarakat terbiasa memaklumi pungli. Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat bahwa pungli adalah maladministrasi. Kedua, budaya masyarakat yang mudah memaafkan dan mengikhlaskan yang cukup besar. Ketiga, tidak adanya keberanian masyarakat dalam melaporkan apabila adanya perbuatan pungli. Keempat, masih terdapat masyarakat yang membutuhkan pungli. Dalam artian cukup membayar pungli, masyarakat tersebut mendapatkan kemudahan dalam layanan.
Melihat kecenderungan perilaku masyarakat yang memaklumi pungli tersebut, menjadikan pemberantasan pungli tidak efektif. Disatu sisi pemerintah dengan instrumen Satgas Saber Pungli giat melakukan upaya-upaya pemberantasan pungli, disisi lain justru masyarakat (pengguna layanan) sendirilah yang menjadai salah satu penyebab mengakarnya perilaku pungli dalam pelayanan publik. Hal ini tentunya sangat kontradiktif. Perilaku memaklumi pungli ini sudah saatnya dihilangkan agar pungli dapat diberantas sampai ke akar-akarnya.
Contoh Pungli Yang Dimaklumi
Terdapat beberapa contoh pungli yang sampai saat ini terbiasa dimaklumi oleh masyarakat. Pertama, pungli-pungli yang terdapat di lingkungan sekolah negeri. Cukup banyak Ombudsman RI Perwakilan Bangka Belitung menerima laporan terkait praktik-praktik pungli dilingkungan sekolah. Namun saat ditelusuri lebih lanjut, ternyata pungli tersebut diakui dan diketahui oleh masyarakat (Orang Tua/Wali Murid). Masyarakat beranggapan pungli dilingkungan sekolah suatu hal yang wajar. Dengan alasan demi kualitas pendidikan yang baik dan kenyamanan lingkungan belajar, para orang tua/wali murid pun memaklumi pungli tersebut.
Selanjutnya dalam pelayanan-pelayanan pengurusan surat tanah (SPPFBT/SP3AT) di Desa misalnya. Tak sedikit praktik pungli terjadi dalam pelayanan tersebut. Pelayanan yang seharusnya gratis, menjadi berbayar dengan berbagai macam alasan. Alasannya sebagian besar dikarenakan tidak adanya biaya operasional dalam pelayanan pengukuran lahan sehingga menjadi celah bagi pelaksana layanan untuk memungut biaya. Berdasarkan kajian cepat yang dilakukan oleh Ombudsman RI Perwakilan Bangka Belitung diwilayah Kabupaten Bangka Tengah (Tahun 2017) dan Kabupaten Bangka (Tahun 2018), ternyata salah satu penyebab terjadinya pungli adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Masyarakat kebanyakan merasa iba/kasihan kepada pelaksana layanan yang melakukan pengurusan surat tanah tadi. Pada saat pelayanan yang diberikan sudah dinyatakan gratis pun masih ada masyarakat yang dengan sengaja memberi uang kepada pelaksana layanan sebagai ucapan terimakasih. Lagi-lagi kebiasaan masyarakat yang terlalu baik menjadi salah satu penyebab mengakarnya pungli.
Kemudian salah satu bentuk kebiasaan masyarakat yang memaklumi pungli adalah kebiasaan masyarakat yang rela membayar iuran parkir kendaraan roda 2 di tepi jalan umum dengan tarif sebesar Rp.2.000,-. Sebagai contoh, berdasarkan Perda Kota Pangkalpinang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Umum, tarif Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum untuk kendaraan roda 2 adalah sebesar Rp.1.000/kendaraan. Namun saat ini karena petugas juru parkir terbiasa memungut dengan besaran tarif Rp.2.000,- masyarakat pun melazimkan biaya tarif parkir tadi sebasar Rp.2.000,-. Bahkan tak jarang apabila masyarakat membayar uang Rp.2.000,- petugas juru parkir tadi tidak memberikan uang kembaliannya. Perbuatan seperti ini sangat sering terjadi, namun dikarenakan masyarakat yang menjadikan perbuatan tersebut "biasa dan wajar", masyarakat pun jadi memakluminya.
Upaya Memberantas Pungli
Saat ini sebetulnya sudah banyak kanal pengaduan yang bisa diakses oleh masyarakat untuk melaporkan perbuatan pungli, mulai dari kanal pengaduan instansi penyelenggara, pengawas internal, pengawas eksternal (Ombudsman dan DPR/DPRD) bahkan dapat juga melaporkan ke Satgas Saber Pungli. Pungli dapat diberantas dengan catatan adanya komitmen bersama antara penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat sebagai pengguna layanan publik.
Komitmen tadi dapat ditunjukkan dengan secara sadar tidak lagi membiarkan praktik-praktik pungli terjadi dalam pelayanan publik dalam bentuk apapun. Bagi penyelenggara pelayanan publik, salah satu bentuk komitmen sederhana yang dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan pemenuhan terhadap setiap komponen standar layanan. Minimal apabila standar layana tersebut sudah terpampang dengan jelas, masyarakat dapat mengetahui dengan jelas dalam pelayanan yang diterimanya apakah dikenakan biaya atau tidak. Bagi masyarakat, komitmen sederhana yang dapat dilakukan adalah mulai menghentikan segala bentuk permakluman praktik pungli yang adadalam bentuk layanan apapun. Tidak lagi membiarkan dan memafkan perilaku pungli. Selanjutnya apabila melihat dan mengalami pungli, silahkan laporkan ke instansi yang berwenang. Semoga kedepannya tidak ada lagi praktik-praktik pungli dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hentikan (kebiasaan) memaklumi pungli. (KCF)