• ,
  • - +

Artikel

Kabut Asap dan Siaga Pelayanan Kesehatan
• Senin, 23/09/2019 • Zayanti Mandasari
 

Kabut Asap dan Siaga Pelayanan Kesehatan

Kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan/atau lahan bukan menjadi hal baru di Indonesia, khususnya di daerah sumatera dan kalimantan. 'Bencana' kabut asap ini bahkan hampir setiap tahun berualang, bahkan seolah pemerintahpun tak dapat mengantisipasi dan mengatasi 'bencana' kabut asap tersebut. Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berdasarkan hasil pembantauan citra Satelit Himawari-8 dan analisis Geohotspot BMKG, pada 12 September 2019 terpantau ada ribuan titik panas di Kalimantan dan Sumatera, dengan rincian frekuensi > 1, di wilayah Sumatera terpantau 1.231 titik dan di Kalimantan terpantau 1.865 titik. Bahkan BMKG juga mendeteksi sebaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera mencapai Malaysia dan Singapura. Beberapa upaya  telah dilakukan, baik pemerintah Pusat maupun daerah, misalnya menerbitkan Undang-Undang terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disusul dengan Peraturan Daerah Baik Provinsi/Kab/Kota terkait larangan untuk membakar lahan. Namun belum terlihat jelas efek dan penegakan aturan tersebut. Bahkan yang membuat masyarakat semakin 'sesak', bukan penanganan cepat yang dilakukan, justru sikap saling tuding antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah. Dan lagi-lagi masyarakat yang menjadi 'korban' dan mau tidak mau harus menghirup udara bercampur asap tersebut. Padahal di Pekanbaru misalnya, level kualitas udara yang terbaca oleh alat menunjukkan level berbahaya. 

Secara idel, proses penegakan aturan tersebut juga harus diiringi dengan langkah antisipasi/penanganan dampak dilanggarnya larangan mambakar lahan tersebut. Hal ini tidak lain bertujuan untuk meminimalkan dampak khususnya kesehatan yang dapat menimpa masyarakat disekitar daerah yang terkena 'bencana' kabut asap. Jika dilihat di beberapa media, baik cetak maupun elektronik, satwa yang berada dalam akwasan hutan yang memang habitatnya pun turut menjadi korban 'bencana' kabut asap tersebut, misalnya  beredarnya foto yang bahkan menjadi headline di berbagai media, yakni kematian orangutan yang menjadi korban kabut asap saat tenag menyusui anaknya, ular yang 'terpanggang' dan hangus di tenagh kebakaran lahan, serta banyaknya monyet yang mulai keluar dari akwasan hutan dan mendekati pemukiman warga di Kalimantan Selatan. Selain berdampak pada satwa penghuni hutan, kabut asap juga berdampak pada aktifitas penerbangan, di Banjarmasin misalnya beberapa penerbangan semapat tertunda karena tebalnya kabut asap mengganggu jarak pandang penerbangan. Tentu saja masyarakat sekitar sebagai orang yang paling terdampak terhadap kabut asap ini, hal ini ditunjukkan pada data yang di sampaikan Dinas Kesehatan Kalsel, bahwa sudah 20.000 warga yang diketahui terkena Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) akibat kabut asap. Bahkan di Sumatera Selatan, seorang bayi berumur 4 bulan di diduga meninggal karena ISPA setelah terpapar kabut asap yang melanda lingkungan rumahnya. Hal ini tentu saja sangat berdampak bagi kesehatan masyarakat, jika tidak dialkukan antisipasi dan penanganan yang tepat, mka bukan tidak mungkin akan bertambah jumlah korban 'bencana' kabut asap tersebut.

Masyarakat membutuhkan 'pertolongan' nyata dari pemerintah, dalam hal ini adalah pelayanan kesehatan yang cepat tanggap, misalnya dari pihak Puskesmas dan Rumah Sakit. Seperti, pertama, memberikan masyarakat alat untuk mencegah terhirupnya asap yang kemudian dapat masuk ke saluran pernafasan, yang akhirnya dapat menimbulkan penyakit ISPA. Salah satu bentuknya adalah pemberian masker kepada masyarakat agar dapat digunakan saat beraktifitas di luar rumah. Hal ini nampaknya belum gencar dilakukan oleh pemerintah, bahkan cenderung diambil alih oleh masyarakat yang membagikan masker di pinggir jalan secara sukarela. Lalu yang menjadi pertanyaan, dimana fungsi pencegahan dan penanganan pelayanan kesehatan pemerintah?Kedua,  membuat pos kesehatan di tingkat puskesmas dan puskesmas pembantu termasuk melibatkan bidan di desa (untuk warga yang berada di pedesaan). Puskesmas yang merupakan rujukan pertama bagi korban kabut asap terlebih lagi sebagai anggota BPJS yang mengharuskan merujuk kepada faskes tingkai I yakni puskesmas, hasrus memberikan pelayanan yang lengkap sebagai rujukan pertama, misalnya tersedianya obat-obatan, alat bantu pernafasan, maupun tindakan cepat untuk korban ISPA.

Ketiga,Rumah Sakit sebagai tempat rujukan dari puskesmas juga harus menyediakan pelayanan yang baik dan lengkap. Baik dalam bentuk obat dan alat-alat medis yang dibuthkan, karena korban tidak bisa menunggu untuk mendapatkan pertolongan kesehatan.Keempat, mendata dan memastikan perlindungan maksimal kepada balita atau anak-anak terhadap kabut asap, hal ini sangat dibutuhkan karena setidaknya dari data di atas, yang paling banyak menjadi korban dalam bencana kabut asap ini adalah anak-anak. Mengapa anak-anak perlu menjadi prioritas? Karena anak-anak belum bisa menyelamatkan dirinya sendiri seperti yang dilakukan orang dewasa. Oleh karena itu, baik tim medis ataupun orang tua/dewasa yang berada disekitar balita agar aktif dalam memberikan perlindungan dari kabut asap.Kelima, hingga saat ini belum terjadi beberapa kali hujan, oleh karena itu, bom air dari pesawat khusus untuk terus dilakukan dan hujan buatan tetap diusahakan. Setidaknya dapat mengurangi tebalnya kabut asap yang menyelimuti dan dapat mengganggu pernafasan. Kelima cara/alternaif tersebut jika dikaitkan dengan pelayanan publik, semua merupakan dari pelayanan publik yang menjadi kewajiban dalam melindungi warga negaranya. Selain itu juga, dalam konsideran UU No. 25 Tahun 2009 juga disebutkan hadirnya undang-undang ini untuk menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk, oleh karena itu sebgai bentuk perlindungan yang nyata dari pemerintah diperlukan pelaksanaan pelayanan publik yang baik, prima dan konkrit di tengah kabut asap yang tak kunjung reda. Di saat 'bencana' kabut asap ini, masyarakat tidak memerlukan sikap arogan yang merasa paling benar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang sangat dibutuhkan saat ini adalah perhatian nyata dan berdampak pada penanggulangan 'bencana' kabut asap yang dialami masyarakat saat ini.

 

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...