• ,
  • - +

Artikel

Jangan Melawan Partai
• Kamis, 14/04/2016 • Prof Amzulian Rifai PhD
 

Jangan melawan partai politik, bahkan bagi kadernya sekalipun. Sebagian di antara kita pastilah tidak menyukai kalimat ini dengan berbagai alasan. Di antara alasan itu karena di era reformasi sekarang ini seharusnya partai lebih terbuka, lebih mau menerima kritik dan lebih membebaskan para kadernya untuk tampil reformis.

Memang sejak reformasi, tabiat reformis itu menjelma dalam berbagai rupa sungguhpun ada saja orang lain yang sewot dengan berbagai tampilan tersebut. Adalagi yang sulit memahami, bagaimana mungkin partai politik sebagai pengusung perubahan justru terkesan tidak siap berubah. Tidak siap dengan laju kencang kadernya sendiri.

 

Bukankah seharusnya partai politik itu menunjukkan kepada publik bahwa semua kadernya menjadi lokomotif perubahan? Justru reformasi dan keterbukaan itu harus dicontohkan terlebih dahulu oleh partai politik. Itu sebabnya, sebagian publik terkesima ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memecat tokoh kesohor, wakil ketua DPR RI Fahri Hamzah.

Tidak tanggung-tanggung, mengutip Ketua Bidang Humas DPP PKS Dedi Supriadi kepada pers menyatakan bahwa Fahri Hamzah diberhentikan dari seluruh jenjang keanggotaan PKS. ”Dengan demikian bahwa benar saudara Fahri Hamzah telah diberhentikan sebagai anggota atau kader PKS,” tegas beliau.

Tanpa menyebut adanya kemungkinan bagi Fahri untuk membela diri. Artinya, secara internal partai, Fahri sudah tamat. Bagi publik, pemecatan Fahri Hamzahmemunculkanberbagai pertanyaan. Apakah sedemikian tidak demokratisnya suatu partai yang memecat kadernya hingga ke akar-akarnya, ”semata- mata” karena dia berbicara vokal? Apakah hanya terjadi di kita saja partai menindak kadernya hanya karena tidak patuh dengan kebijakan partainya? Bagaimana jika dibandingkan dengan negara lain?

Party Discipline

Partai politik tentu harus menyesuaikan dengan berbagai perubahan. Di era reformasi, mereka juga harus mereformasi diridalamberbagairupa. Namun, tentu saja setiap partai politik memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang harus dipatuhi. Soal ”kelakuan” para kadernya juga harus sejalan dengan code of conduct yang ada pada partai itu.

Tidak bisa semau-maunya saja atas nama reformasi. Partai politik ”yang baik dan kuat” haruslah memiliki kendali terhadap semua kadernya. Artinya, tidak boleh kader bergerak ke mana-mana, melakukan apa saja dan berkata apa saja tanpa memperhatikan kepentingan partainya. Jika bablas maka yang terjadi adalah perbedaan arah antara kader dengan partai. Kondisi ini hampir pasti merugikan partai.

Dengan kata lain, kader wajib sejalan dan sensitif dengan kebijakan partai, harus pula satu bahasa dengan kebijakan partai. Tengoklah partai-partai solid saat ini, juga karena mampu memaksa para kadernya mengikutiinstruksisesuaimekanisme internalnya. Saya hanya mengamati, mungkin Partai PDIP dapat dijadikan salah satu contoh soal soliditas antara kader dengan pimpinannya.

Setahu saya, sekali partai sudah memutuskan, tidak ada kader yang bersuara lain. Riak sengketa di partai berlambang banteng ini tergolong rendah. Boleh saja ada yang menilai partai yang tegas sama dengan partai otoriter. Tapi harus dibedakan antara kedua kata ini. Otoriter biasanya berkaitan erat dengan kepentingan pribadi/ golongan, tapi ketegasan justru guna menjaga keutuhan dan kekompakan dalam organisasi.

Masalah juga jika kader partai ”terbang bebas” atas nama reformasi dan demokrasi tanpa mengindahkan kebijakan partainya. Partai politik di Negara yang liberal sekalipun, ternyata tetap saja ”otoriter” terhadap para kadernya. Di Australia, misalnya, dikenal istilah party discipline . Makna sederhananya keharusan seorang kader mengikuti instruksi partainya dengan sanksi yang sangat tegas apabila membangkang dari garisan partai.

Disiplin partai (party discipline) ini penting agar program kerja, aliansi, koalisi yang dibangun oleh suatu partai tidak buyar justru oleh kadernya sendiri. Apalagi dalam sistem parlementer, koalisi itu menentukan keberlangsungan pemerintah atau juga oposisi. Itu sebabnya party discipline sangat kuat (extremely strong) diterapkan di Negara-negara Westminster systems seperti Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan India terutama soal arah partai di parlemen.

Minus Ideologi Partai

Partai politik itu unik. Itu sebabnya tidak semua orang berbakat untuk masuk partai politik karena tidak mampu mengikuti irama keunikannya. Bagaimana tidak unik, sekaligus mirip magic, partai dapat melambungkan nama dan jabatan seseorang dalam waktu sekejap mata saja. Sebaliknya, partai politik pula yang dapat mencampakkan seseorang hingga ke dasar keterpurukan yang paling hina.

Pasca reformasi (1998) partai politik di Indonesia tampil lebih berwibawa dan memiliki daya tarik luar biasa. Penyebabnya karena berubahnya mindset terhadap kehadiran partai. Untuk waktu yang lama partai di Indonesia hanyalah rubber stamp untuk kebijakan-kebijakan pemerintah. Pascareformasi, partaibertransformasi menjadi kekuatan besar yang justru mengimbangi eksekutif.

Malah terkadang justru tampil menyetir kebijakan pemerintah. Keadaan yang mustahil terjadidimasalalu. Orang yang semula mungkin ”bukan siapa-siapa” tibatiba menjelma menjadi sosok yang berkuasa. Kenyataan ini terjadi baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah berkat jasa partai politik. Akibatnya mudah ditebak, orang ramairamai ingin berkuasa melalui partai politik.

Memang cukup banyak orang pandai dan potensial yang bergabung dan memberikan amunisi baru bagi partai. Tetapi ada juga di antara mereka yang tidak terlalu jelas latar belakang pendidikan ataupun kepribadiannya. Malah, ada yang aktif di partai dalam rangka mencari gantungan atau perlindungan atas persoalan hukumnya di masa lalu atau potensi permasalahan hukum yang tengah dihadapinya.

Beragamnya latar belakang dan ada saja yang ”tiba-tiba” masuk partai berakibat pada lemah atau gagalnya penghayatan ideologi partai. Mudahnya ”berpindah-pindah partai” sebagai indikasi lemahnya penghayatan ideologi itu. Partai tidak lebih dari sekedar alat untuk mendapatkan kekuasaan. Jika satu partai tidak mampu memenuhi keinginannya, dengan mudah pindah ke partai lain, tak soal di partai manapun ia bertengger asalkan ada manfaatnya. Pragmatis sekali memang.

Aturan Partai

Era reformasi dan adanya tabiat untuk mendapatkan jabatan semata, berbaur dengan mereka yangbukananakbiologis partai, berpotensi mengancam eksistensi partai. Reformasi berpengaruh pada manajemen partai dengan berbagai tuntutan pembaruan. Ketidakmampuan mengantisipasi situasi ini berpotensi menjadikan partai bercerai berai. Dalam situasi ini, ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh partai.

Pertama, meninjau ulang berbagai aturan internal. Langkah ini penting agar partai mampu menyesuaikan diri dan mengakomodasi berbagai perubahan pascareformasi. Cara kerja partai selama ini mungkin tidak lagi sesuai dengan roh reformasi termasuk sistem pengaderan atau pemilihan pimpinan partai, misalnya. Partai harus memiliki kemampuan adaptasi dengan alam reformasi, termasuk menjadikan suksesi itu sebagai hal rutin saja.

Kondisi kondusif itu lebih mudah diraih apabila masuk kategori partai kader. Kebanyakan orang sepertinya sepakat bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tergolong partai kader. Pergantian pimpinan partai PKS di semua tingkatan mulus-mulus saja. Saking lancarnya, terkadang para ketua sudah berganti bahkan sebelum ada yang sempat menghafal namanya. Hal ini menunjukkan soliditas dan banyaknya kader PKS yang siap tampil memimpin.

Kedua, partai politik harus memiliki ”aturan main internal” secara jelas. Harus ada aturan yang baku atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ancaman dan dengan sanksi tegas terhadap siapa saja yang melanggar aturan internal tersebut. Ini penting agar partai tidak dengan mudah terbelah dan tergerus kewibawaannya.

Tidak juga kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menegakkan disiplin partai. Reformasi tidak boleh melemahkan kontrol partai terhadap para kadernya. Harus ada komando yang jelas dan penegakan aturan yang kuat dari semua kebijakan partai. Bahkan di negara-negara yang telah lebih lama berdemokrasi, masih memiliki sistem kontrol partai yang sangat kuat. Ternyata kontrol ini penting agar kader tidak berjalan sendiri, apalagi sampai dinilai sebagai aib bagi partainya sendiri.

Saya pribadi menilai Fahri Hamzah merupakan sosok cerdas, berani, reformis. Ironis juga jika seandainya benar hanya karena dinilai ”kurang santun” sosok brilliant ini diberhentikan sebagai kader PKS ke akarakarnya. Walaupun tipe seorang Fahri yang ”petarung” tidak akan diam saja dengan pemberhentian sepihak tersebut.

Apapun prosesnya ke depan, sepertinya nasib Fahri berbeda tipis saja dengan beberapa kader partai lain yang juga pernah dipecat, beperkara dengan partainya sendiri dan gagal pula di pengadilan. Selama ini memanggil kembali (recall) kader partai di DPRsepenuhnya hakpartai, tidak ada mekanisme di luar itu.

Bertambah runyam saja, seandainya memang ada benih perselisihan internal yang rentan melahirkan kebijakan subjektif. Pendek kata susah menang melawan partai sendiri. Mungkin itulah sebabnya ada yang menasihati, jangan melawan partai.

PROF AMZULIAN RIFAI PhD
Ketua Ombudsman RI


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...