Jangan Abaikan Pelayanan Publik Perbatasan
Tahun 2021 ini Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalsel kembali melakukan pengawasan yang lebih intens atau terfokus di titik-titik perbatasan antar Provinsi. Temuan awal Ombudsman Kalsel, perhatian pemerintah terhadap pelayanan publik di sejumlah wilayah perbatasan baik Kalsel-Kaltim dan Kalsel-Kalteng masih sangat minim.
Sejumlah keluhan dari warga yang tinggal di perbatasan serta masyarakat yang sering mengakses wilayah perbatasan menyampaikan kepada Tim Ombudsman bahwa sebagian mereka belum puas dengan kinerja pelayanan publik pemerintah.
Hasil wawancara tim keasistenan pemeriksaan Ombudsman dengan sejumlah masyarakat tokoh masyarakat, pemuda atau penduduk di perbatasan termasuk para penyelenggara layanan seperti puskesmas, perangkat desa, sekolah, hingga kecamatan menemukan, bahwa masih banyak instansi penyelenggara pelayanan publik bergulat dengan segala keterbatasan baik dari sisi sarpras, SDM, dan anggaran, apalagi dalam hal penanganan/pencegahan Covid-19.
Fokus pengawasan yang dilakukan Ombudsman Kalsel dikonsentrasikan pada layanan dasar baik kondisi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, penanganan covid-19 serta layanan administratif bagi warga perbatasan.
Di titik pertama Ombudsman Kalsel mendatangi perbatasan Kalimantan Selatan dengan Kalimantan Tengah, tepatnya di Desa Karangan Putih, Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong. Sedangkan di titik kedua Ombudsman mendatangi perbatasan Kabupaten Barito Kuala Kalsel tepatnya di Kecamatan Anjir Pasar yang berbatasan dengan Kabupaten Kapuas Provinsi Kalteng
Di sisi lainnya Ombudsman juga menilik kondisi perbatasan Kabupaten Tabalong (Kalsel) dengan Kabupaten Paser (Kaltim). Dari hasil dari monitoring Ombudsman menemukan, pelayanan publik di perbatasan masih dikelola seadanya, dukungan dari pemda masih terasa belum optimal, misalnya kondisi layanan kesehatan seperti puskesmas masih terkesan dikelola seadanya dengan jam layanan terbatas, minim SDM, serta fasilitas yang belum terlalu lengkap ditambah dari sisi tenaga dokter dan nakes yang kurang.
Potret yang sama juga terjadi pada pemenuhan fasilitas pendidikan, sekolah di perbatasan masih saja dihiasi dengan kurangnya tenaga guru beserta fasilitas pendukung dari sisi teknologi.
Sedangkan dari aspek layanan administratif masyarakat masih merasakan kesulitan akses dan kemudahan layanan, sebab jarak dan ketiadaan UPT layanan administrasi di perbatasan memaksa sebagian warga lebih memilih menjadi penduduk provinsi "seberang" daripada menjadi warga Kalsel.
Kami pun membayangkan bagaimana apabila potret yang sama terjadi di perbatasan antar negara pastinya sesuatu yang sangat disayangkan. Semoga saja tidak.
Tak hanya temuan yang menjadi prioritas. Ombudsman Kalsel juga menyerap apa saja hambatan atau keluhan yang dihadapi oleh instansi atau petugas penyelenggara pelayanan publik.
Kesemuanya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam potret pelayanan publik perbatasan, Tujuannya untuk mengingatkan kepada pemerintah di daerah khususnya penyelenggara pelayanan publik. Bahwa "negara harus hadir" dan melayani segenap rakyatnya serta menjalankan kewajiban utamanya melayani publik, tak hanya untuk wilayah perkotaan. Tetapi, pedesaan sampai pada pelosok perbatasan tanpa terkecuali (Non Diskriminatif)
Kolaborasi antar Provinsi
Selama masih dalam satu wilayah NKRI, sejatinya pelayanan publik perbatasan antar wilayah harusnya bisa lebih maksimal.
Apalagi sudah ada dukungan regulasi dari sisi aturan seperti : Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama Antar Daerah, Kepmendagri No 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan Antar Daerah bahkan juga sudah ada SE-Mendagri No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerja Sama Antar Propinsi (Sister Province) dan Antar Kota (Sister City) Dalam dan Luar Negeri, termasuk SE-Mendagri No 114/4538/PUOD tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerja Sama Antar Daerah;
Dari sisi peraturan perundangan yang lebih kuat juga telah diwujudkan melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Antar Daerah. Dan Permendagri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah. Namun, faktanya sinergisitas, koneksi atau ringkasnya kolaborasi antar provinsi ini masih sangat minim.
Padahal kerja sama atau kolaborasi antar daerah akan semakin meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki kualitas pelayanan publik, memperkuat keamanan dan kenyamanan masyarakat yang tinggal di perbatasan. Bahkan secara spesifik, akan memperbaiki penanganan potensi konfilk, pengaturan tata ruang, penanggulangan bencana, sampai pada penanggulangan kemiskinan termasuk upaya kontrol apabila ada pencurian sumber daya alam yang akhirnya merugikan negara.
Intinya pemerintah daerah hendaknya menggunakan prinsip prinsip new public service dalam membangun pelayanan publik perbatasan yang salah satunya Seek the Public Interest (mencari kepentingan publik) yakni dengan memberikan kontribusi kepada masyarakat secara kolektif dengan mengakomodir semua kepentingan dan membangun kerja sama serta tanggung jawab bersama
Ombudsman juga telah menyampaikan hasil-hasil temuan dan berharap dapat segera direspons dan dilakukan perbaikan segera serta menyarankan untuk mengefektifkan kembali pengawas internal, menyiapkan SDM dan sarpras yang memadai serta melibatkan masyarakat pointnya adalah kolaborasi baik internal dan antar provinsi . Demi perbaikan pelayanan publik yang lebih baik. (MFH)