Jangan Abaikan Limbah Medis
Di masa pandemi ini, Ombudsman RI banyak melakukan penelitian. Salah satunya penelitian mengenai pengelolaan limbah medis. Sebagian besar kantor perwakilan pun, termasuk di dalamnya adalah Perwakilan Kalimantan Selatan diminta turun langsung ke lapangan guna melakukan penelitian.
Pada deteksi awal, Ombudsman RI menemukan bahwa pengelolaan limbah medis pra dan saat pandemi masih banyak masalah. Diantaranya terjadi ketidakseimbangan antara produksi (timbulan) limbah dengan jumlah pihak ketiga, yakni perusahaan pengolah limbah, kecenderungan fasyankes (fasilitas layanan kesehatan) yang lebih berfokus pada layanan umum sehingga melalaikan tata kelola limbah medis termasuk perhatian dari lingkungan hidup, terjadi penumpukan limbah medis, adanya keluhan dari warga atau penduduk di pemukiman dekat rumah sakit atau fasyankes, dan rendahnya keterlibatan pemerintah daerah dalam penanganan limbah medis di daerah termasuk indikasi disharmoni aturan mengenai tata kelola limbah (PP Nomor 101 Tahun 2014 dengan PERMENLHK Nomor 56 Tahun 2015 atau revisinya PERMENKES Nomor 18 Tahun 2020).
Bila mengacu data dari Dit PKPLB3 (ter-update hingga 18 Agustus 2020) limbah Covid-19 berdasarkan pelaporan pemda di enam region se-Indonesia, didapati bahwa jumlah limbah Covid-19 yang dilaporkan sebanyak 1.735,83 ton (periode 1 Maret-18 Agustus 2020) dan belum termasuk limbah medis non-Covid. Untuk wilayah Kalimantan sendiri yang berada di region IV (Kaltim, Kalsel, Kalbar dan Kaltara), jumlah limbah medis Covid-19 yang dilaporkan sebanyak 286,04 ton.
Kondisi ini tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya dari tata kelola limbah medis yang bermasalah ini, akan mucul dampak besar dari kerugian publik. Terlebih lagi bagi sistem kesehatan publik dimasa kini dan mendatang. Limbah medis yang sangat rentan dengan racun dan infeksius akan menambah pencemaran pada air, udara dan darat.
Selain itu, pengabaian terhadap pengelolaan limbah, khususnya limbah medis berarti sama dengan mengesampingkan hak dasar publik mengenai kesehatan diri dan lingkungan. Selain menimbulkan bahaya, limbah medis juga sangat memengaruhi kualitas manusia dan generasi bangsa di masa depan.
Penelitian yang dilakukan Ombudsman RI ini menggunakan sejumlah metode pendekatan, baik literatur, audit aturan, penelitian terbuka dan tertutup, investigasi langsung yang menyasar pada Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, rumah sakit milik pemerintah dan swasta, masyarakat sekitar fasyankes, rumah karantina Covid-19, Puskesmas dan fasyankes lainnya, baik provinsi maupun kab/kota.
Setelah dilakukan penelitian, sejumlah temuan Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan menguatkan bahwa tata kelola limbah medis masih bermasalah dari hulu sampai hilir. Diantaranya adalah temuan sebagai berikut:
Pertama, anggaran, sarpras, dan SDM pengelola limbah medis (manajemen sanitarian) jumlahnya terbatas, baik di rumah sakit maupun di puskesmas sehingga diperlukan pemenuhan secara bertahap yang berfokus pada kompetensi, sertifikasi petugas dan integritas, serta pada ketelitian dan disiplin tinggi.
Kedua, proses perizinan insinerator (alat pengolah limbah) yang terkesan panjang, berbelit, dan berbiaya tinggi, dianggap menghambat proses percepatan pengelolaan limbah medis secara mandiri di daerah, sebab berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat baik Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Lingkungan Hidup. Termasuk harga yang cukup mahal dan kurangnya dukungan oleh pemerintah daerah dalam penyediaannya.
Ketiga, penyediaan tempat penampungan sementara limbah medis di masing masing-masing fasyankes dan SDM pengelola yang belum memenuhi rasio seimbang, sehingga perlu segera dilengkapi agar mencegah terjadinya pengabaian pengelolaan sebagaimana prosedur yang ditentukan termasuk IPAL (Instalasi Pembuangan Air Limbah ) yang terinterasi dan indikator aman bagi lingkungan.
Keempat, belum ada pengawasan khusus mengenai kerja sama (baik MOU dan cek proses) dengan pihak ketiga yang dipercaya untuk melakukan pengangkutan dan pembuangan limbah medis baik secara berkala maupun terus menerus. Apalagi di daerah luar Jawa, jumlah transporter dan pengelola berizin sangat sulit didapat, ditambah fasilitas on-site yang terbatas dan sistem data pelaporan limbah yang belum terintegrasi.
Kelima, tanggung jawab dan keterlibatan pemerintah daerah dan pusat masih belum optimal khususnya dalam hal perizinan, pendampingan, penyediaan lokasi penimbunan atau penguburan limbah yang lebih akomodatif, serta dukungan sosialisasi dan publikasi dalam hal Gerakan Sadar Pengelolaan Limbah medis baik bagi publik kesehatan internal dan publik eksternal
Sebagian temuan Ombudsman tersebut seyogyanya segera direspon dan ditindaklanjuti oleh pemerintah baik pusat dan daerah. Adanya pengabaian dan ketiadaan dukungan atas site atau master plan pembangunan pengelolaan limbah medis termasuk penyediaan Insinerator yang memerlukan anggaran dan lokasi yang memadai adalah kewajiban yang jangan diabaikan.
Harmonisasi aturan (regulasi belum implementatif), penyederhanaan izin, komitmen kementerian terkait, pimpinan daerah, DPR(D), rumah sakit, dan fasyankes perlu segera diperbaiki dan memprioritaskan solusi yang terukur dan efektif menjadi kebutuhan mendesak, sebab selama ini terkesan lamban dan lengah.
Ombudsman RI berharap semoga kesadaran akan pentingnya pengelolaan limbah akan segera terwujud pada berbagai lapisan kepentingan yang ada.