• ,
  • - +

Artikel

Jalan Terjal Kaum Abolisionis di Indonesia
• Kamis, 02/08/2018 • Dominikus Dalu
 
Dominikus Dalu, Asisten Madya Ombudsman RI. Photo by Editor

Kontroversi mengenai hukuman mati dan cara melakukan eksekusi mati terus terjadi dari waktu kewaktu. Kasus terbaru terkait eksekuti mati melalui jarum suntik atas Joseph Wood pada tanggal 23/7/2018 lalu di Arizona, Amerika Serikat (AS). Wood divonis mati pada tahun 1991 atas kasus pembunuhan kekasih dan ayah kekasihnya dalam suatu kejadian tahun 1989. Proses eksekusinya ternyata tidak berjalan lancar, dibutuhkan waktu sampai dengan dua jam sebelum terhukum meninggal dunia. Pengacaranya mengecam keras hukuman tersebut karena sang eksekutor melakukan suntik mati dengan campuran obat kombinasi antara midazolam dengan hydromorphon. Hal ini dianggap suatu eksperimental yang gagal karena tidak langsung mematikan. "Arizona tampaknya telah bergabung dengan beberapa negara bagian lainnya yang bertanggungjawab atas eksekusi sembrono dan mengerikan yang harusnya dicegah", demikian pernyataan pengacara Wood. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa AS yang sering mengaku sebagai kampiun hak azasi manusia sampai saat ini di beberapa negara bagian masih menerapkan hukuman mati. Organisasi masyarakat AS yang anti hukuman mati juga mengecam hal ini dengan mengatakan "malam ini, kita mendapati seorang warga AS lainnya yang disuntik mati dengan cara yang keji dan mengejutkan. Tapi bagian terburuk terkait eksekusi sembrono Joseph Wood ialah, sebenarnya ini bisa diprediksi dan bisa dihindari," demikian eksekutif direktur koalisi nasional untuk menghapus hukuman mati, Diann Rust-Tierney. Wood melalui pengacaranya sudah berulang-ulang mengajukan petisi untuk melawan eksekusi mati karena mengetahui metode suntuk mati yang akan diberikan kepadanya, namun permintaannya pada otoritas hukum setempat sia-sia. Bahkan pada saat sudah disuntuk mati, karena kondisinya yang belum juga meninggal setelah tersedak dan mendengus lebih dari satu setengah jam. Sayangnya permintaan pengacaranya di tolak Hakim bernama Anthony Kennedy hanya setengah jam setelah Wood dinyatakan sudah benar-benar meninggal. Kasus serupa pada awal tahun ini juga terjadi di Ohio, dibutuhkan waktu sampai dengan dua jam sebelum tereksekusi meninggal dunia. Di Oklahoma, seorang terpidana meninggal dunia terkena serangan jantung beberapa menit setelah petugas penjara menghentikan eksekusi lantaran proses penyuntikan tidak berjalan lancar. Sangat mengerikan menyaksikan kurang lebih dua jam waktu menunggu ajal setelah berlangsung ekskusi mati berupa suntikan, demikian kesaksian beberapa pihak yang dari dekat menyaksikan proses eksekusi. Reporter AP yang ikut hadir ditempat mengatakan Wood berusaha bernapas dengan interval tiap 5-12 detik selama hampir dua jam. "Satu jam 50 menit. Hampir seperti mendengkur, hampir seperti menguap, tanpa suara. Jeane Brown, saudara Debbie korban pembunuhan, dalam jumpa pers mengatakan dia tidak percaya Wood menderita. "Ini sudah terlalu lama, 25 tahun yang mengerikan, yang saya lihat hari ini, melihatnya dieksekusi, tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang terjadi pada 7 Agustus 1989," kata Jeane. "Saya tidak percaya dia tersentak, saya tidak percaya dia menderita, suaranya terdengar seperti sedang mengorok". Pernyataan keluarga korban tersebut dapat dimaklumi, karena mereka sangat kehilangan dua orang yang dicintai dalam waktu yang sama karena perlakuan Wood. Hukuman mati dengan cara eksekusi dalam bentuk apapun diberbagai negara, yang masih menerapkan hukuman mati seperti tembak mati, hukuman di kursi listrik, suntik mati, dipenggal kepala atau hukuman gantung selalu dikecam oleh pihak yang menolak hukuman mati (paham abolisionis).

Hukuman Mati Dalam RUU KUHP

Ditengah pro dan kontra hukuman mati, hukum positif di negara ini masih mengenakan hukuman mati. Demikian pula dalam RUU KUHP yang sedang dalam proses finalisasi untuk diundangkan masih mengatur ancaman pidana berat sampai dengan hukuman mati. Konon pimpinan DPR saat ini, menghendaki agar segera diundangkan setidaknya bulan Agustus 2018 bertepatan dengan bulan kemerdekaan RI. Namun masih menunggu tanggapan pemerintah karena terdapat keberatan penggiat anti korupsi termasuk KPK terkait pengaturan mengenai korupsi dalam RUU KUHP agar tidak bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Pakar hukum pidana dari Universitas Erasmus, Rotterdam, Louk Hulsman, ilmuwan yang sangat keras menentang hukuman mati bahkan menyerukan penghapusan hukuman pidana secara keseluruhan. Dalam pandangan Hulsman, sistem peradilan pidana selalu mengandung cacat yang memberikan dampak penderitaan, kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan sesuai yang diinginkan, tidak dapat terkendali dan pendekatan yang dipergunakan memiliki cacat mendasar. Singkatnya menurut Hulsman sistem peradilan pidana tidak sempurna dan berpotensi menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Penganut paham obolisionis menawarkan metode alternatif berupa perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Praktek ini sudah dilakukan di negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan Swedia, keberhasilannya dapat diukur karena dapat dipantau gerak gerik pelaku kejahatan dengan berbagai penerapan sistem pendampingan yang canggih. Para terpidana dihukum dengan pidana denda yang dikenal dengan istilah day fine atau denda harian. Denda harian merupakan pembayaran sejumlah denda sebesar pendapatannya dalam satu hari. Dalam kontek Indonesia masa depan, setidaknya para pembuat kebijakan negeri ini sudah harus memikirkan bagaimana penerapan hukuman mati apakah masih diperlukan atau tidak. Menghapus hukum pidana secara keseluruhan sepertinya bukan pilihan sebagai negara hukum, namun menghapus hukuman pidana mati seharusnya sudah dapat diterapkan. Walaupun beberapa pakar yang terlibat dalam RUU KUHP telah menyampaikan pendapatnya bahwa rancangan KUHP saat ini tetap menerapkan hukuman mati dengan cara yang amat selektif. Hukuman mati hanya diterapkan pada kasus kejahatan berat seperti pemerkosaan, para gembong narkoba, gembong teroris atau kejahatan luar biasa lainnya. Sebagaimana teori retributif dalam menjatuhkan pidana mati bersifat ultimum remedium. Suatu pilihan paling akhir jika tidak ada cara lain untuk memperbaiki pelaku kejahatan dan sanksi lain sudah tidak mempan untuk diterapkan. Prinsip ultimum remedium sejalan pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang masih dibolehkannya hukuman mati karena sesuai juga dengan mandat UUD ( putusan MK Nomor 2 dan Nomor 3/PUU-V/2007). Putusan MK inipulalah yang antara lain menjadi alasan perancang RUU KUHP masih menerapkan hukuman mati, walau dengan memuat sejumlah persyaratan yang cukup ketat. Diantaranya pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan baik sehingga dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Demikian juga dengan alasan kemanusiaan, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai yang sedang hamil melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu dalam norma sejumlah UU dirumuskan secara khusus, alternatif dan selektif. Diantaranya terdapat dalam KUHP, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Pengadilan HAM maupun dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi terdapat ketentuan yang diatur secara fakultatif dengan mencantumkan kata "dapat". Artinya hakim dapat saja menjatuhkan hukuman mati pada koruptor atau sebaliknya. Walaupun dengan berbagai alasan yang pada intinya terkesan mempersulit terjadinya hukuman mati, akan tetapi kenyataannya melalui hukum positif, hukuman mati masih diterapkan di negeri ini. Hal ini berarti perjuangan kaum abolisionisme masih panjang dan belum berhasil, pada hal belum ada suatu penelitian atau studi apapun yang menyatakan bahwa hukuman mati membawa efek jera bagi para pelaku kejahatan.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...