Intelijen Pelayanan Publik: Transformasi Pencegahan Maladministrasi Dalam Optimalisasi Perbaikan Sistem Pelayanan Publik
Berbicara intelijen biasanya sangat identik dengan keamanan dan penyamaran yang berhubungan dengan ancaman, namun saat ini, ancaman terhadap keamanan sudah meluas dari sekadar ancaman eksternal ke ancaman internal. Bentuk ancaman yang dihadapi saat ini melebar dari ranah militer ke ranah budaya, ekonomi, politik, dan lainnya.
Dengan kondisi demikian, ruang lingkup ancaman pun ikut berubah sehingga perlu merumuskan ulang terkait apa itu intelijen. Sebagaimana Ungerer (2008) menjelaskan bahwa dibutuhkan pemikiran ulang mengenai fungsi dan struktur komunitas intelijen karena ancaman terhadap kepentingan suatu negara dapat terjadi dengan cepat dan tanpa peringatan terlebih dahulu. Intelijen yang semula hanya berfungsi mendukung aspek pertahanan-keamanan negara saja dan berbasis kenegaraan, secara konsep dapat dikembangkan untuk mendukung kehidupan nasional di seluruh aspek kehidupan kebangsaan. Transisi pemahaman ini memerlukan pedoman yang berlaku dalam jangka panjang secara menyeluruh, yaitu berupa etika atau nilai khusus.
Memang saat ini secara awam, konsep intelijen masih diidentikan dengan pertahanan-keamanan namun menurut Hendropriono (2013) cakupan intelijen menjadi sangat luas tidak terbatas pada intelijen pertahanan, intelijen militer, intelijen tempur, intelijen kepolisian, tetapi juga terdapat intelijen moneter dan keuangan, intelijen ekonomi dan perdagangan, termasuk intelijen pemasaran, intelijen kejaksaan, intelijen imigrasi dan kependudukan, intelijen narkoba, intelijen fiskal dan perpajakan, intelijen media massa, intelijen bea dan cukai, intelijen politik, ideologi, doktrin dan pendidikan, intelijen kesehatan, intelijen diplomatik, intelijen teknologi dan informatika dan intelijen dunia maya. Karena itu, secara konseptual, tidak mustahil bagi institusi negara untuk membentuk sebuah pengetahuan, kegiatan, ataupun organisasi yang menghubungkan konsep 'intelijen' dan pelayanan publik.
Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas penyelenggaran pelayanan publik dalam pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangannya sangat erat kaitannya terhadap permasalahan pelayanan publik. Hingga saat ini, permasalahan pelayanan publik yang ditangani oleh Ombudsman RI dapat dikategorikan secara umum menjadi dua jenis yaitu permasalahan terkait tindakan pejabat dan permasalahan terkait sistem pelayanan publik.
Pertama, permasalahan terkait tindakan pejabat penyelenggara merupakan permasalahan yang cenderung menjadi sorotan pertama dari setiap masalah pelayanan publik. Permasalahan ini dapat ditanggulangi dengan mekanisme penyelesaian laporan masyarakat dimana pada Undang-Undang 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI substansi dan pasal terkait penyelesaian laporan masyarakat telah diatur dengan cukup rinci. Dengan komposisi pengaturan tersebut, dapat diasumsikan bahwa Ombudsman RI pada mulanya berfokus pada permasalahan terkait tindakan pejabat penyelenggara yang berasal dari laporan masyarakat.
Kedua, permasalahan terkait sistem pelayanan publik merupakan permasalahan yang masih dapat lebih dielaborasi lebih lanjut, namun penyelesaian permasalah terkait sistem pelayanan publik dibatasi berdasarkan Pasal 8 ayat 2 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI yaitu permasalahan terkait organisasi, prosedur, dan peraturan perundang-undangan. Permasalahan sistem pelayanan publik dapat ditanggulangi melalui salah satu upaya pencegahan maladministrasi yaitu kajian, tetapi dalam kesempatan ini, nomenklatur kajian sengaja diganti menjadi investigasi sistemik karena terjadi perubahan esensi yang pada mulanya memiliki esensi akademik berubah menjadi esensi 'intelijen' (nomenklatur investigasi sistemik diambil dari buku berjudul "Buku Manual Investigasi Sistemik Ombudsman RI").
Pada mulanya kajian (investigasi sistemik), setidaknya tahun 2019, diatur dalam Nota Dinas Keasistenan Kajian yang ditandatangani oleh Anggota Ombudsman RI sebagai pengampu unit Keasistenan terkait. Nota Dinas dengan nomor: 52/PC.03.01/VII/2019 tanggal 22 Juli 2019 perihal sistematika penulisan hasil kajian pelayanan publik. Nota Dinas ini ditujukan kepada seluruh Kepala Perwakilan Ombudsman RI dan Asisten Ombudsman RI dan berisi mengenai struktur penulisan kajian yang terdiri dari penulisanSystemic Review danRapid Assesment serta mempunyai sifat/bentuk seperti penelitian akademik.
Kemudian, pada tanggal 31 Desember 2019 terjadi transformasi bentuk kajian (investigasi sistemik) dengan diundangkannya Peraturan Ombudsman Nomor 41 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pencegahan Maladministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik dimana merubah esensi kajian yang bersifat kegiatan akademik menjadi kegiatan yang memiliki rasa 'intelijen' dengan menggunakan tahapan deteksi, analisis, dan perlakuan pelaksanaan saran yang pada masing-masing tahapan memiliki petunjuk teknis tersendiri dan kertas kerja tersendiri sesuai tugas jabatan Asisten Ombudsman RI. Transformasi ini merupakan upaya memperkuat pencegahan maladministrasi, dimana setiap kegiatan dan hasil menjadi jelas serta terukur, terutama dalam perbaikan sistem pelayanan publik.
Nomenklatur intelijen pelayanan publik pertama kali muncul pada Surat Keputusan Ketua Ombudsman RI Nomor 85 Tahun 2020 Tentang Kamus Kompetensi Dan Standar Kompetensi Jabatan Pada Asisten Ombudsman RI. Intelijen pelayanan publik termasuk dalam kompetensi teknis. Kompetensi teknis adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku Asisten Ombudsman RI yang dapat diamati, diukur dan dikembangkan yang secara spesifik berkaitan dengan bidang teknis pelaksanaan fungsi dan tugas jabatannya. Sedangkan, intelijen pelayanan publik adalah pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan kegiatan pencegahan maladministrasi agar maladministrasi tidak terjadi atau berulang. Kompetensi intelijen pelayanan publik ini dibagi menjadi 5 tingkat, yaitu: (1) pemerolehan data atau informasi; (2) melakukan analisis dan penyusunan saran; (3) supervisi kegiatan dan produk pencegahan maladministrasi; (4) pengendalian kegiatan pencegahan; dan (5) penyusunan kebijakan nasional pencegahan maladministrasi. Dengan disusunnya kompetensi intelijen ini diharapkan Asisten Ombudsman RI dapat memiliki kemampunan analisa yang mumpuni sebagaimana diutarakan oleh Tyler (2014) bahwa pejabat intelijen harus memiliki kemampuan analisa yang fleksibel dan kemampuan toleransi terhadap ketidakpastian.
PO 41/2019 mendefinisikan pencegahan maladministrasi sebagai proses, cara, atau tindakan yang dilakukan oleh Ombudsman secara aktif melalui deteksi, analisis, dan perlakuan pelaksanaan saran agar maladministrasi tidak terjadi atau berulang. Berdasarkan definisi tersebut, perlu diberikan perhatian lebih pada pernyataan "dilakukan oleh Ombudsman secara aktif'. Pernyataan tersebut berakibat pada keharusan Ombudsman RI untuk berinisiatif dalam melakukan upaya pencegahan maladministrasi tanpa menunggu suatu peristiwa maladministrasi terjadi. Keaktifan ini diperlukan agar sesuai dengan tujuan secara prinsip yaitu mencegah maladministrasi terjadi atau berulang. Kemudian, proses yang perlu dilakukan adalah dengan melalui 3 tahap yaitu deteksi, analisis, dan perlakuan pelaksanaan saran.
Tahap deteksi dilakukan untuk mengetahui potensi maladministrasi dan mengidentifikasi isu permasalahan untuk perbaikan. Melalui tahap ini, petunjuk-petunjuk dikumpulkan dan diolah melalui beberapa kegiatan antara lain: (a) inventarisasi; (b) identifikasi; (c) pemutakhiran; dan (d) penyusunan hasil deteksi. Kegiatan inventarisasi dilaksanakan dengan menyusun: pemetaan data laporan; pemetaan isu pelayanan publik; kompilasi hasil survei terdahulu; pemetaan hasil penelitian akademik; pemetaan regulasi; dan pemetaan informasi/data pemangku kepentingan. Setelah itu, dilakukan kegiatan identifikasi untuk menelusuri dan menentukan permasalahan, pihak yang diduga terlibat, dan potensi maladministrasi. Kemudian, kegiatan pemutakhiran digunakan untuk mengetahui situasi atau perkembangan terkini dari suatu permasalahan serta menemukan upaya yang telah atau sedang dilakukan oleh penyelenggara dan pemangku kepentingan terkait. Kegiatan terakhir tahap deteksi adalah penyusunan laporan hasil deteksi dimana di dalam laporan tersebut terdapat rangkuman dari ketiga kegiatan yang telah dilakukan dan penjelasan secara eksplisit mengenai potensi maladministrasi.
Tahap analisis dilakukan untuk memastikan dan mengidentifikasi penyebab potensi maladministrasi serta memperbaiki sistem dengan memberikan saran. Dalam tahap ini, setidaknya terdapat 4 kegiatan yang dilaksanakan, antara lain: (a) pengumpulan data; (b) penelaahan; (c) perumusan saran (d) penyusunan hasil analisis; dan (e) penyampaian saran. Kegiatan pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai data atau informasi yang bersifat kuantitatif/kualitatif, data primer/sekunder, temuan lapangan dan bahan dokumen berdasarkan kebutuhan unit yang melakukan kegiatan analisis terhadap pihak-pihak terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan penelaahan dilaksanakan guna menemukan kesenjangan pada suatu sistem yang berlaku menggunakan teori, peraturan perundang-undangan, norma atau referensi lainnya yang dapat dianggap sebagai alat telaah dalam menemukan penyebab potensi maladministrasi, dan mengkonfirmasi potensi maladministrasi yang ada. Setelah itu, kegiatan perumusan saran dilakukan berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan dalam kegiatan pengumpulan data dan telaah, dengan fokus pada perbaikan terhadap faktor penyebab terjadinya potensi maladministrasi maupun yang berpotensi terjadi maladministrasi di masa depan. Kegiatan perumusan saran juga dilakukan dengan memperhatikan kondisi yang dapat mempengaruhi apakah saran dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan, yaitu berupa kondisi kelembagaan penerima saran, tahun anggaran, dan level aturan maupun kebijakan. Muatan pokok saran perbaikan antara lain: perbaikan standar pelayanan publik; penguatan pengelolaan pengaduan pelayanan publik; perbaikan regulasi dan kebijakan; evaluasi kompetensi penyelenggara; atau saran lain yang dianggap perlu. Kegiatan selanjutnya adalah penyusunan hasil analisis dalam bentuk laporan yang terdiri dari data, telaah data, dan saran perbaikan. Kegiatan terakhir adalah penyampaian saran yang dapat dilakukan melalui forum terbuka atau tertutup. Pada forum terbuka, Ombudsman RI dapat menghadirkan media massa, sedangkan pada forum tertutup hanya dihadiri oleh pemberi dan penerima saran saja, hal tersebut bertujuan agar penerima saran merasa nyaman dan tidak merasa dipermalukan dalam forum publik.
Tahap perlakuan pelaksanaan saran digunakan untuk memastikan bahwa saran dilaksanakan oleh instansi penyelenggara, sehingga terjadi perubahan kebijakan dengan melalui pendampingan oleh Ombudman RI. Kegiatan ini terdiri dari 4 tahap, yaitu: (a) monitoring; (b) pendampingan; (c) publikasi; dan (d) penyusunan laporan. Kegiatan monitoring merupakan bentuk pemantauan saran yang telah disampaikan untuk dicermati pelaksanaannya. Lalu, kegiatan pendampingan merupakan usaha lebih dari Ombudsman RI jika setelah dicermati, diketahui bahwa instansi penyelenggara membutuhkan bantuan atau bahkan meminta bantuan untuk melaksanakan saran. Atas dasar tersebut Ombudsman RI akan melakukan suatu kegiatan tertentu untuk membantu instansi penyelenggara dalam melaksanakan saran. Kegiatan terakhir adalah publikasi, kegiatan ini dapat berbentuk konferensi pers, rilis media massa, unggahan media sosial milik Ombudsman RI, iklan layanan masyarakat, dan/atau bentuk lain sesuai kebutuhan. Kegiatan terakhir adalah menyusun laporan hasil perlakuan pelaksanaan saran yang terkandung status saran yaitu: saran dilaksanakan, saran dilaksanakan sebagian, atau saran tidak dilaksanakan. Sebagai rangkuman dari penjelasan sebelumnya dapat dilihat pada tabel berikut,
Tahap | Kegiatan | Hasil |
1. Deteksi (menemukan potensi maladministrasi) | a. Inventasisasi; b. Identifikasi; c. Pemutakhiran; dan d. Penyusunan hasil deteksi | Laporan Hasil Deteksi (Potensi Malasministrasi) |
2. Analisis (menemukan penyebab potensi maladministrasi) | a. Pengumpulan data; b. Penelaahan; c. Perumusan saran; d. Penyusunan hasil analisis; dan e. Penyampaian saran | Laporan Hasil Analisis (Saran Perbaikan) |
3. Perlakuan Pelaksanaan Saran (memastikan saran dilaksanakan) | a. Monitoring; b. Pendampingan; c. Publikasi; dan d. Penyusunan laporan | Laporan Hasil Perlakuan Pelaksanaan Saran (Status Saran) |
Sebagai catatan tambahan, intelijen pelayanan publik pada tulisan ini tidak berkorelasi terhadap konsep intelijen negara yang diatur dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara karena konsep intelijen negara melimitasi ruang lingkupnya pada: a) Intelijen dalam negeri dan luar negeri; b) Intelijen pertahanan dan/atau militer; c) Intelijen kepolisian; d) Intelijen penegakan hukum; dan e) Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, sedangkan konsep intelijen pelayanan publik lebih berfokus terhadap substansi perbaikan/penyempurnaan sistem penyelenggaraan pelayanan publik.
Kesimpulannya, Ombudsman RI dengan kewenangan memperbaiki dan/atau menyempurnakan sistem penyelenggaraan pelayanan publik telah melakukan penguatan kelembagaan dengan mengembangkan salah satu upaya pencegahan maladministrasi yaitu investigasi sistemik (kajian). Penguatan dilakukan dengan mengubah esensi akademik menjadi esensi 'intelijen' sehingga perlakuan yang dilakukan untuk memperbaiki sistem menjadi lebih luwes/fleksibel sebagaimana jati diri Ombudsman RI yang mengedepankan sifat informalitas dalam menyelesaikan permasalahan pelayanan publik.
Referensi:
Hendropriono, A.M. (2013). Filsafat Intelijen. Jakarta: Kompas
Ungerer, Carl. (2008). The Intelligence Reform Agenda: What Next?. Canberra: Australian Strategic Policy Institute