Identitas dirahasiakan, cara Negara melindungi Pelapor Maladministrasi dan istilah Pembongkar Kejahatan lainnya
Istilah Maladministrasi sekarang cukup dikenal. Bisa dibilang mulai mendekati terkenalnya istilah korupsi. Memang belum seterkenal istilah korupsi. Namun, ini bukan masalah siapa paling terkenal. Namun, essensi dari buruknya perbuatan tersebut. Istilah Maladministrasi mudahnya dapat disebut perbuatan tidak baik yang dilakukan oleh Petugas maupun Pejabat Penyelenggara Pelayanan Publik kepada Masyarakat Pengguna Layanan. Karenanya, untuk melakukan pengawasan mengenai Maladministrasi, Negara telah membentuk suatu Lembaga yang disebut dengan Ombudsman Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. Dalam hal perlindungan pelaporan suatu tindakan Maladministrasi, Negara memberikan pengecualian persyaratan laporan dengan "identitas dapat dirahasiakan". Begitu pula dengan tindakan kejahatan lain, Negara juga memfasilitasi dengan bentuk-bentuk "perlindungan" yang berbeda.
Identitas Pelapor dirahasiakan
Masyarakat yang dirugikan oleh Pelaksana maupun Pejabat Penyelenggara Pelayanan Publik karena adanya dugaan tindakan Maladminstrasi dapat melaporkan hal tersebut kepada Ombudsman RI. Baik secara langsung maupun melalui kuasa. Laporan tersebut tentunya harus memenuhi sejumlah syarat, baik formil maupun materiil. Untuk syarat formil, antara lain: (1) menyampaikan identitas diri, (2) menyampaikan uraian, tindakan atau keputusan yang dilaporkan secara rinci, serta (3) sudah menyampaikan laporan secara langsung kepada pihak Terlapor atau atasannya, tetapi laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.
Namun, Negara melalui pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI memberikan "perlindungan" berupa dalam keadaan tertentu nama dan identitas Pelapor dapat dirahasiakan. "perlindungan" ini bahkan mengesampingkan persyaratan formil berupa kewajiban harus sudah menyampaikan laporan secara langsung kepada pihak Terlapor atau atasannya. Padahal, belum menyampaikan laporan kepada Terlapor maupun atasannya membuat laporan ditolak oleh Ombudsman.
Perlindungan ini tentu tidak bisa untuk semua kasus yang dilaporkan. Untuk laporan yang bisa dirahasiakan sudah ditentukan oleh Ombudsman RI melalui Petunjuk Teknis Tata Laksana Penerimaan dan Verifikasi Laporan Tahun 2018 maupun Lampiran I Surat Edaran Ketua Ombudsman Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pedoman Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia dalam Penyelesaian Laporan Masyarakat. Dalam Juknis dan Surat Edaran tersebut disebutkan: Yaitu apabila Pelapor menyampaikan Laporan kepada Ombudsman, namun yang bersangkutan belum melakukan upaya kepada Terlapor atau atasannya karena alasan "mengancam keselamatan jiwa" atau akan "berimplikasi pada masa depan Pelapor", maka terhadap laporan tersebut verifikasi syarat formil dapat dilakukan dengan mengesampingkan upaya Pelapor kepada instansi yang dilaporkan ataupun atasannya. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan bahwa Ombudsman wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat apabila pengadu menghendaki penyelesaian pengaduan tidak dilakukan oleh Penyelenggara.
Dalam Surat Edaran tersebut dapat dilihat pada contoh yang disebutkan. Yaitu mengenai pungutan liar di Sekolah Negeri dan pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan yang diterima oleh warga binaan, dsb.
Jika dianalisis terhadap ke-dua contoh yang dikemukakan diatas dapat memunculkan sedikitnya tiga (3) hal. (1) Tidak disebutkan contoh lainnya, membuat pemahaman para Asisten Ombudsman seolah-olah hanya ke-dua contoh kasus tersebutlah yang dapat dirahasiakan atau kasus yang memiliki padanan serupa dengan contoh tersebut. (2) Para Asisten Ombudsman diberikan keleluasaan tidak terpaku pada ke-dua contoh tersebut mengingat kata dsb. (3) Para Asisten Ombudsman memiliki "penafsiran-penafsiran sendiri" mengingat kata dsb yang bisa menyebabkan dalam kasus yang memiliki "keserupaan" berbeda pemahaman antar Asisten, antara bisa dirahasiakan atau tidak bisa dirahasiakan.
Kemudian, jika dianalisis lebih lanjut dari ke dua contoh diatas, Ombudsman mendapat laporan dari "orang dalam" yang mengetahui adanya suatu tindakan Maladministrasi. Istilah orang dalam memiliki bahasa hukum tersendiri. Misalnya sajawhistle blower danjustice collaborator.
Beberapa istilah 'pembongkar kejahatan"
Whistle blower
Untuk menambah referensi, kita bisa lihat istilah "whistle blower" yang dikenal dalam dunia hukum pidana. Ada yang menerjemahkan sebagai peniup peluit. Sedangkan Prof Mardjono Reksodiputro melalui tulisannya yang berjudul beberapa catatan tentangjustice collaborator dan bentuk perlindungannya yang ditulis pada 2013 memberi istilah "informan" untuk mengetahui kasus-kasus kriminal yang sifatnya sangat tertutup, seperti dalam kasus-kasus organized crime.Karena ituwhistle blower ini umumnya adalah "orang-dalam" (namun tidak menutup orang luar yang memberikan informasi), Dia umumnya "terlibat" dalam kejahatan yang didakwakan, mungkin keterlibatannya hanya ringan. Lebih lanjut, beliau menyampaikan yang disebutwhistle blower adalah yang secara suka rela mau membuka tabir kejahatan didalam organisasi dimana mereka bekerja. Kesukarelaan mereka ini dikarenakan ada panggilan secara moral. Whistle blower ini memiliki kecenderungan makna yang mirip dengan saksi mahkota ataustate witness (Inggris menyebutnyacrown witness dan Belanda menyebutnyakroon getuige). Dan beliau menyatakanstate witness ini belum tentu pelaku. Pengertian yang disampaikan oleh Prof Mardjono ini beliau nyatakan dalam  pemahamannya pada Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat.
Analisa lebih lanjut dapat dikatakan kecenderungan "orang dalam" lah yang memiliki informasi yang sangat memadai, untuk "orang luar" tentu informasi yang diberikan terbatas dan mungkin hanya sebagai pintu masuk. Tetapi, apabila sudah dalam tahap peradilan tidaklah terlalu penting penegak hukum mendapat informasi darimana.
Sedangkan pemahaman di Indonesia,whistle blower secara singkat merupakan para Pelapor yang mengetahui adanya suatu kejahatan namun bukan termasuk pelakunya. Hal ini bisa dicermati melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) didalam tindak pidana tertentu.
Justice collaborator
Pengertian justice collaborator secara singkat adalah salah satu Pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar adanya suatu kejahatan. Prof Mardjono dalam tulisannya seperti yang sudah disebutkan diatas menyebut "pelaku yang kooperatif". Dan jelas bukan orang yang terpanggil moralnya karena ia berharap "kerjasama" ini mendapatkan keuntungan baginya. Sedangkan bagi aparat penegak hukum kesaksiannya akan membongkar kejahatan menjadi terang benderang.
Melalui Pasal 10 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,Justicecollaborator "dilindung", seperti dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Penanganan secara khususnya seperti: a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. Kemudian, Penghargaan atas kesaksian berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Lebih lanjut, untuk kedua istilah tersebut baik itu parawhistle blower dan parajustice collaborator "dilindungi" melalui Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yakni:
1.     Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
2.     Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selain itu juga, Mahkamah Agung memberikan "perlakuan khusus" melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) didalam tindak pidana tertentu. Yang pada intinya dikatakan Mahkamah Agung meminta kepada para hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.
 Sintesa
Melihat penjelasan singkat
diatas, dapat dikatakan Negara melakukan perlindungan kepada orang yang
membantu membongkar adanya suatu tindakan maladministrasi maupun kejahatan. Lembaga
Negara Ombudsman RI dengan dapat merahasiakan identitas Pelapor sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 24 ayat 2 UU 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Sedangkan dalam ranah
hukum pidana disebut denganwhistle
blower danjustice collaborator
yang memiliki perbedaan makna. Dalam SEMA Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan
bagi Pelapor tindak pidana (whistle
blower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) didalam tindak pidana tertentu,whistle blower merupakan pihak yang
mengetahui dan melaporkan dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang
dilaporkan. Sedangkanjustice
collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana, kemudian mengakui
kejahatannya dan bukan pelaku utama serta memberikan keterangan sebagai saksi
didalam proses peradilan
Tetapi, satu hal yang patut diapresiasi, Negara memiliki keinginan untuk melindungi para Pelapor yang dapat membantu pembongkaran maladministrasi maupun kejahatan. Sehingga, Pelapor tidak merasa takut akan konsekuensi dari laporannya. Baik bagi dirinya maupun keluarganya.
Â
*Alfero Septiawan
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung