Hukum Pelayanan Publik
Pengaturan hubungan pemerintah dengan masyarakat dapat suatu proses pelayanan diatur melalui hukum pelayanan publik yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Maka relevan pengertian hukum seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Dalam KBBI juga menyebutkan Hukum berarti keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan) atau vonis.
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia dipengaruhi dari empat macam sistem hukum yakni Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Anglo Saxon, dan Hukum Eropa Kontinental. Misalnya, Undang-Undang Agraria banyak diadopsi dari hukum adat, sementara Undang-Undang Perkawinan dipengaruhi oleh Hukum Islam, demikian pula hukum pelayanan publik banyak dipengaruhi oleh hukum Eropa Kontinental. Menurut Harold B. Barman (dalam Wignjosoebroto 1995), sistem hukum dapat dibedakan ciri-cirinya dari kaidah-kaidah sosial yang lain pada umumnya, kemudian sistem hukum itu diterapkan secara konsisten oleh suatu struktur otoritas yang profesional guna mengontrol proses-proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Sebagai sebuah peraturan berbentuk undang-undang, hukum pelayanan publik mengatur hak dan kewajiban penyelenggara pelayanan publik dan terdapat sanksi bagi pelanggarnya. Karena itu Hukum Pelayanan Publik memiliki sifat memaksa, mengikat dan mengatur hubungan masyarakat sebagai penerima manfaat pelayanan publik dengan pelaksana dan penyelenggara pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Lawrence M. Friedman (dalam Soepiadhy, 2012) melihat hukum sebagai sistem hukum dikaitkan dengan penegakan hukum yang terdiri atas tiga unsur (three elements of legal system) yaitu yaitu komponen struktur, komponen substansi dan komponen kultur atau budaya hukum. Ketiga komponen tersebut membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan atau biasa disebut dengan sistem.
Tujuan dibentuknya Hukum Pelayanan Publik sama dengan pembentukan hukum pada umumnya yaitu untuk menciptakan kebaikan, menjamin keadilan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Kebaikan yang diinginkan dalam hukum pelayanan publik adalah Good Governance dan Clean Government.
Good governance menurut LAN-BPKP (2000), mengandung dua pemahaman yakni : Pertama, nilai yang menjunjung tinggi kehendak (keinginan) rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari penyelenggaraan pemerintahan mencapai tujuan nasional untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan adil. Sedangkan Clean Government diartikan sebagai pemerintahan yang bersih, baik bersih dari anasir korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) maupun permasalahan-permasalahan lain terkait penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Hukum pelayanan publik sebagaimana hukum pada umumnya juga dapat dijadikan sebagai sebuah alat menciptakan tatanan masyarakat dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Roscoe Pound (1870-1964), pemikir mazhab hukum Anthro-Sociological Jurisprudence pertama kali menyatakan bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Dengan demikian Hukum Pelayanan Publik adalah produk hukum yang ditetapkan pemerintah dan parlemen yang memiliki kewenangan membentuk hukum agar penyelenggara pelayanan publik harus tunduk terhadap aturan hukum pelayanan publik.
Sebelum adanya UU Pelayanan Publik
Sebelum terbitnya Undang-Undang Pelayanan Publik tahun 2009, citra pelayanan pemerintah kepada masyarakat masih diliputi patologi birokrasi seperti pelayanan birokrasi yang lambat, kaku, bertele-tele, tidak kompeten hingga maraknya pungli pada lingkungan birokrasi. Pada tahun 2004, Bank Dunia dalam laporannya memberi stigma buruk pada layanan publik di Indonesia yang sulit diakses orang miskin, demikian pula orang kaya harus mengeluarkan sejumlah anggaran untuk menyelesaikan urusannya dengan birokrasi sehingga menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan beban pada kinerja ekonomi makro.
Guna memperbaiki citra pelayanan publik pemerintahan Megawati ketika itu, pada tahun 2004 Menteri Negara PAN mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor : KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Peningkatan Pelayanan Publik. Presiden Megawati juga berupaya memperbaiki citra pelayanan pada masyarakat dengan menetapkan Hari Pelanggan Nasional pada tanggal 14 November.
Pada tahun 2005, Menteri PAN mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelayanan Publik kepada DPR RI. RUU Pelayanan Publik kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Pelayanan Publik pada hari Selasa, 23 Juni 2009 pada masa-masa akhir jabatan anggota DPR periode 2004-2009. Masa pembahasan RUU Pelayanan Publik dimulai sejak tahun 2005 dan dikawal oleh jaringan organisasi masyarakat sipil bernama Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) yang berkantor di LSM Yappika Jakarta.
Ada dua kriteria yang digunakan koalisi MP3 dalam melakukan pemantauan pembahasan RUU Pelayanan Publik selama empat tahun dari 2005-2009 yakni kriteria proses pembahasan dan kriteria substansi pembahasan RUU Pelayanan Publik. Dari segi kriteria proses pembahasan, sejak draft RUU Pelayanan Publik dibuka untuk umum terlihat upaya parlemen untuk mengakomodasi prinsip partisipasi publik, keterbukaan dan transparansi. Beberapa kali Koalisi MP3 melakukan pertemuan dengan anggota DPR (Pansus, Panja, Timsin) untuk memberi masukan terhadap RUU Pelayanan Publik, selain pertemuan dengan Kementerian PAN yang menjadi mitra kerja DPR dalam pembahasan RUU Pelayanan Publik. Sedangkan dari segi kriteria substansi, naskah RUU Pelayanan Publik banyak mengakomodasi gagasan penting dari masyarakat seperti paradigma pelayanan publik, partisipasi masyarakat, perlindungan terhadap kelompok rentan, mekanisme komplain dan sanksi.
Setelah disahkan naskah RUU Pelayanan Publik pada tanggal 23 Juni 2009 oleh DPR RI, maka pada tanggal 18 Juli 2009 Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan RUU Pelayanan Publik menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Agar masyarakat dapat mengaksesnya, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112 dan Penjelasan atas UU No. 25/2009 dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038 pada tanggal 18 Juli 2009 di Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, Andi Mattalatta.
Sesudah Disahkan UU Pelayanan Publik
Sesudah Undang-Undang Pelayanan publik disahkan, masyarakat menaruh harapan besar akan terjadi perubahan secara masif pada penyelenggaraan pelayanan publik pada setiap level pemerintahan. Ombudsman Republik Indonesia diserahi amanah oleh Undang-Undang No. 25/2009 untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik di seluruh wilayah Indonesia. Maka pada tahun 2010 melalui Keputusan Ketua Ombudsman RI Antonius Sujata Nomor: 49//ORI-SK/X/2010, Ombudsman RI membentuk kantor perwakilan baru pada empat wilayah provinsi (Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Papua) dari 34 provinsi untuk meningkatkan pengawasan pada lembaga-lembaga vertikal di daerah maupun pada pemerintahan daerah itu sendiri dan mendekatkan pada masyarakat.
Meski pembentukan kantor Perwakilan baru pada tahun 2010 seperti di Sulawesi Utara, tingkat kepatuhan pada UU Pelayanan Publik belumlah pada tingkat kepatuhan tinggi sesuai dengan standar nasional yang tercantum pada Undang-Undang Pelayanan Publik. Sebuah studi di Kota Manado dilakukan Michael Cristian Matoneng, yang dimuat dalam Jurnal "Lex Administratum" UNSRAT Vol. 3 No. 2 2015 mengungkapkan bahwa satuan kerja perangkat daerah Pemerintah Kota Manado belum sepenuhnya memenuhi komponen standar pelayanan dan kepatuhan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Penerapan saksi Undang-Undang bagi penyelenggara yang melakukan pelanggaran belum maksimal dikenakan sesuai sanksi undang-undang. Temuan pada penelitian tersebut adalah sebanyak 9 satuan kerja perangkat daerah masih rendah tingkat kepatuhan terhadap Undang-Undang dan 5 satuan kerja perangkat daerah yang mendapat kategori sedang. Hanya satu SKPD yang memenuhi standar pelayanan.
Pada tahun 2012, Ombudsman RI kembali membentuk kantor Perwakilan pada lima wilayah provinsi yakni Sulawesi Selatan, Maluku, Kalimantan Timur, Bangka Belitung dan Bali melalui Keputusan Ketua Ombudsman RI Nomor: 02/ORI-SK/I/2012, tanggal 6 Januari 2012 untuk mengawasi pelayanan publik di daerah dan memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan dari Ombudsman RI. Sebuah studi dilakukan mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Amal Syahrul Rahman atas implementasi UU Pelayanan Publik di Kabupaten Bulukumba, Sulsel menemukan bahwa belum seutuhnya terlaksana dengan indikator belum memiliki standar pelayanan yang baik, dan perlunya perbaikan dalam menjalankan prinsip-prinsip pemerintahan yang optimal dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Kemudian pada tahun 2012, kembali membentuk kantor perwakilan pada 10 wilayah provinsi agar masyarakat dekat dengan Ombudsman RI untuk melaporkan pengaduannya terkait pelayanan publik. Kesepuluh kantor perwakilan tersebut adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, termasuk Papua melalui Surat Keputusan Ketua Ombudsman RI Danang Girindrawardana Nomor: 022/ORI-SK/I/2012, tanggal 31 Januari 2012.
Pada tahun 2013, dimulailah membuat sebuah survei yang menjadi acuan penilaian pelayanan publik di Indonesia bernama Survei Kepatuhan terhadap UU Pelayanan Publik untuk mengukur kualitas pelayanan publik pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada tahun 2014, parameter standar survei kemudian dievaluasi berdasarkan hasil survei kepatuhan tahun 2013. Pada tahun 2015 Survei Kepatuhan telah masuk ke dalam dokumen Program Nasional RPJMN 2015-2019 sehingga secara rutin dari periode tersebut dilakukan secara bertahap pada wilayah pemerintahan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuan anggaran Ombudsman. Program Survei Kepatuhan berlanjut pada RPJMN 2020-2024, tetapi karena kondisi pandemi Covid-19, maka survei kepatuhan UU Pelayanan Publik tahun 2020 ditiadakan. ()
*) Disampaikan pada Kuliah Tamu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar pada 27 Oktober 2020