• ,
  • - +

Artikel

Horor P2TL
• Selasa, 07/04/2020 • Noorhalis Majid
 
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kalsel

Ketika ramai pemberitaan bisnis strum oleh Menteri BUMN, saya teringat beberapa kasus menarik. Kasus-kasus ini sempat membuat pelanggang PLN merasa takut dan trauma dengan tindakan PLN yang merazia penggunaan listrik. 

PLN mengatakan bahwa daya listrik banyak dicuri sehingga menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Razia yang dilakukan PLN melalui program Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), merupakan shock therapy agar para pencuri takut terkenan denda yang tinggi.

Namun, para pelanggan yang terkena denda merasa bahwa parameter pengenaan denda tidak transparan. Tidak jelas bagaimana cara menghitungnya, sehingga sangat memberatkan. Tidak memberi alternatif dan menakutkan, bahkan cenderung terkesan horor.

Beberapa kasus yang menarik sebagai pelajaran, antara lain: 

(1)

Pemilik Hotel Kelas Melati di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mendatangi Ombudsman RI Perwakilan Kalsel. Dia keberatan atas denda yang dikenakan PLN. Razia gabungan P2TL, menemukan kawat meteran listrik pada hotelnya diputus, sehingga arus listrik yang dia terima, tidak terbaca oleh meter listrik. Dia didenda 250 juta.

Jumlah itu sangat mengagetkan. Terlalu besar  bagi hotel kelas melati yang pendapatannya tidak seberapa. Membayar operasional karyawan saja hampir pas-pasan, karena harus bersaing dengan hotel lain yang lebih bagus.

Dia sudah mendatangi PLN, membicarakannya dan menegosiasi. Mengingat hubungan baik dengan PLN yang sering menggunakan hotelnya untuk berbagai kegiatan. Namun manajemen PLN tidak dapat membantu. Temuan tim gabungan yang merazia hotelnya sudah diinput dan tidak dapat diubah. Sistem input adalah melalui online dengan pusat.

Dia mendatangi Ombudsman dan meminta difasilitasi. Dimediasi, agar mendapat solusi yang lebih adil. Dia berkata bahwa pihaknya tidak mengetahui kawat tersebut putus atau lepas. Semua pemasangan listrik dia serahkan pada instalatir yang sudah diketahui PLN.

Pertemuan dilakukan oleh Ombudsman. Pihak PLN diundang bersama pemilik hotel. PLN menjelaskan secara teknis hasil temuannya dan dampaknya pada meter listrik yang tidak bergerak. Pihak hotel mengatakan tidak megetahui hal tersebut karena semua urusan listrik diserahkan pada istalatir. Siapa yang melepas atau memutus, tidak dapat dipastikan kesalahan pihak hotel.

Pemilik hotel menyatakan tidak sanggup membayar denda sebesar itu dan memilih untuk berhenti berlangganan listik dengan PLN. Resikonya hotel miliknya tutup.

PLN memahami kesulitan pihak hotel, tetapi tidak dapat mengubah hasil temuan tim. Kebijakan yang bisa diambil PLN, mempersilahkan pihak hotel untuk menyicil denda tersebut semampunya, sampai lunas.  Pihak hotel tetap keberatan, akhirnya hotel melati tersebut benar-benar tutup. Karyawan di rumahkan.

(2)

Anak pemilik rumah yang kosong itu mendatangi Ombudsman RI Perwakilan Kalsel. Dia menceritakan tagihan abonemen yang tidak dia ketahui. Lima tahun lalu dia sudah menyatakan agar listrik di rumahnya diputus sementara karena rumah tersebut kosong.

Listrik di rumah tersebut memang tidak menyala. Pemiliknya pergi ke Jawa untuk mengobati ibunya yang sakit. Lima tahun lamanya. Setelah ibunya mulai pulih, dia kembali ke Banjarmasin. Meminta pada PLN untuk disambung kembali aliran listrik dirumahnya.

Dia terkejut, ternyata aliran listrik di rumahnya tidak pernah diputus. Sehingga abonemennya jalan setiap bulan dan harus dibayar. Tagihan tersebut tercatat sebagai piutang PLN.

Dia keberatan, karena bukti pemutusan dia miliki. Listrik tidak pernah dipakai. Namun PLN tidak dapat menghapus tagihan abonemen selama 5 tahun tersebut. Tetap meminta dibayar. Kalau tidak, sambungan listrik akan dipadamkan, karena kewajiban tidak ditunaikan.

Melalui Ombudsman konsilisasi dilakukan. Duduk bersama membahas permasalahan tersebut. Pelapor dengan bukti yang dimiliki, tidak mau membayar. PLN beralasan, kenapa tidak diputus agar pelanggan tidak perlu memasang sambungan baru yang berbiaya.

Singkat cerita, karena denda yang tidak terlalu besar, PLN mengalah. Piutang PLN yang seharusnya dibayar pelanggan dan tidak dapat dihapuskan, akhirnya dibayar oleh manajer rayon. Pembayaran tersebut dilakukan pelanggan, menggunakan uang manajer rayon.

(3)

Aula Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan memang tempat yang biasa digunakan untuk acara perkawinan. Hampir setiap minggu ada pesta perkawinan. Agar memenuhi kebutuhan daya, aula tersebut meminta tambah daya kepada PLN.

Setiap minggu petugas PLN menyambungkan tambah daya tersebut. Sudah berlangsung cukup lama. Minggu itu, petugas PLN tidak datang. Padahal sudah diberitahu bahwa aula dipakai untuk pesta perkawinan. Akhirnya karena sudah sangat mengetahui bagaimana cara menyambung tambahan daya, petugas gedung melakukanya sendiri.

Entah kenapa hari itu razia dilakukan. Tim razia menemukan sambungan ilegal. Memberi surat penetapan denda. Jumlahnya sangat besar, yakni 400 juta.

Hari Senin, Kepala BKD menelpon pihak PLN dan menyatakan keberatan atas denda tersebut. Dia hanya mau membayar sebesar tambahan daya sebagaimana biasanya.

PLN tidak dapat mengubah temuan tim razia. Kebijakan yang bisa dilakukan adalah dengan mempersilahkan BKD untuk menyicil. Kepala BKD pun keberatan dan tidak mau membayar, karena tidak ada uang untuk membayar sebesar itu. Akhirnya meminta Ombudsman menjembatani.

Pertemuan dilakukan. PLN tetap tidak dapat mengubah hasil tim razia. Pihak BKD kemudian meminta surat penagihan resmi, tertuju  kepada Kepala Daerah, ditembuskan ke DPRD Kabupaten Banjar. Maksudnya agar dapat dibayar menggunakan dana APBD.

Setelah itu, kasusnya tidak pernah tuntas. BKD dan Pemda tidak mau membayar, karena DPRD tidak setuju. PLN juga tidak pernah memberi sanksi kepada BKD, mungkin karena bagian dari instansi pemerintah daerah. Kasus tersebut hilang bersama waktu. Hingga Kepala BKD dimutasi ke tempat lain.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...