• ,
  • - +

Artikel

Hasil Munas Alim Ulama PBNU dalam Persepektif Pelayanan Publik
ARTIKEL • Rabu, 20/03/2019 • AHMAD SU'ADI, M.HUM
 

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari - 1 Maret lalu, memunculkan beberapa hasil penting yang berkenaan dengan kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Satu diantara yang menonjol dan sempat menjadi kontroversi adalah hasil Bahtsul Masail (BM) mengenai perubahan penyebutan terhadap mereka yang bukan Islam untuk tidak disebut "kafir", melainkan dengan sebutan "non-muslim" (nu.on.line, 27 Februari) dalam kehidupan politik, sosial, dan budaya.

Dalam persepekif pelayanan publik, keputusan itu bukan hanya pelunakan toleransi dan kesopanan dalam tata pergaulan masyarakat, tapi juga memiliki efek yang luas terutama terhadap kesetaraan bagi semua warga negara. Sebab, hal itu merupakan upaya yang sangat penting bagi penegak kesetaraan dalam kewarganegaraan bangsa Indonesia.

Karena pendapat itu dikeluarkan oleh organisasi terbesar, maka memiliki bobot pengaruh yang luas. Bukan hanya sebagai sandaran pandangan teologi bagi pemeluknya, tapi juga dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan terutama berkaitan dengan pelayanan publik yang setara. Jika diluaskan cakupannya, ini juga bisa mendorong terbangunnya keadilan dan pengurangan kesenjangan dan sekaligus mengakselerasi bagi tercapainyasustainable development goals (SDGs), misalnya.

MENTALITAS TERPECAH

Dalam data yang ada di Ombudsman RI, ditemukan cukup banyak laporan tentang penyelenggara pelayanan pulik yang memiliki mental terpecah (split mentality). Dalam ukuran normal pelayanan publik seorang birokrat, pemimpin daerah dan penyelenggara pelayanan publik umumnya bisa memiliki prestasi yang sangat tinggi dalam transparansi, kreativitas, dan pelaksanaan prisnsip pemerintah yang baik. Bahkan mendapat berbagai penghargaan internasional. Tetapi ketika behadapan dengan minoritas tertentu, tiba-tiba menarik garis dan diskriminasi.

Ada beberapaa sebaab. Sebagian karena tidak bisa membedakan antara kepercayaan pribadi (private) dan peran publik. Seseorag boleh merasa paling benar dalam berkepercayaan dan beragama, tetapi tidak boleh berimplikasi pada pelayanan publik bagi mereka yang berbeda sekalipun. Sebagian lain disebaabkan karena takut terhadap reaksi sekelompok orang tertentu yang mengklaim sebagai mayoritas. Sehingga untuk menghindari reaksi yang akan bisa mengganggu kepemimpinan dan posisinya, maka minoritas harus dikorbankan.

Situasi ini sangat memprihatinkan mengingat kita sudah merdeka dua pertiga abad lamanya. Konstitusi kita memang memberikan jaminan kesetaraan dalam hampir semua hal, tetapi dalam pelaksanaan masih banyak undang-undang dan peraturan lainnya, serta kebijakan para penyelenggara pelayanan publik yang masih dipengaruhi oleh keyakinan pribadi seperti itu.

Seringkali ditemukan pula, misalnya, ketika popolisi yang sedang bertugas di lapangan untuk melindungi kelompok minoritas dari serangan kelompok lain. Polisi harus mengunggu fatwa Majelis Ulam Indonesia (MUI) untuk memastikan apakah kelompok itu aliran sesat atau bukan. Padahal, tugas polisi adalah melaksanakan undang-undang, sedangkan fatwa MUI tidak ada di dalm tata urutan perundang-undangan. Dengan demikian, bukan hanya polisi yang bertugas dilapangaan itu, melainkan kepolisian secaa inkonstitusional. Apakah hal seperti ini akan terus dibiarkan?

TIDAK SENDIRIAN

Keputusan BM Munas PBNU tentang panggilan non-muslim sesungguhnya tidak sendirian. Ada produk lain, yakni pengukuhan kembali argumentasi terhadap Islam Nusantara sebagai pernyataan misi perdamaian. Bukan hanya Indonesia, melainkan di dunia dengan dasar kesetaraan warga negara dan umat manusia.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siroj, sebagaimana dilansir olehnu.or.id, 3 Maret lalu juga menyatakan sikapnya bahwa tidak ada fatwa di Indonesia kecuali oleh Mahkamah Agung (MA). Artinya, pendapat keagamaan bisa saja diungkapkan tetapi tidak bisa serta merta menjadi pedoman pelaksanaan dalam penunaian atas nama negara dan pemerintahan, Fatwa MUI tidak bisa dijadikan sebagai sandaran bagi penegak hukum dan pelayanan publik secara diskriminatif jika tidak diakomodasi di dalam hukum dan perundang-undangan.

PETUNJUK

Meskipun secara oranisatoris NU telah menyelesaikan tataran ideologis dan teologis tentang Islam dan nasionalisme Indonesia dengan dasar kesetaraan dan Pancasila kesetaraan warga negara, tidak bisa ditutupi adanya ganjalan-ganjalan dalam praktik tersebut. Kata "kafir" bahkan sering dipakai sebagai slogan untuk memprovokasi masyarakat oleh sekelompok orang untuk mengintimidasi dan mendiskriminasi kelompok lain, bahkan sesama agama sekalipun yang menyebabkan penegaak hukum takut untuk melindungi minoritas tertentu dan juga diskriminasi dalam pelayanan publik.

Bagi PBNU, haasil pendapat keagamaan demikian ditempatkan sebagai bagian dari kontribusi membangun etika sosial masyarakat secara positif. Memang tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan hasil BM Munas PBNU tersebut. Namun jika hendak menegakkan konstitusi mengenai kesetaraan, rasanya penting bagi pemerintah untuk menidaklanjuti keputusan-keputusan PBNU tersebut. Dengan sejumlah petunjuk teknis bagi penyelenggara pelayanan publik. Petunjuk oleh pemerintah terhadap aparaturnya berupa pengabaian fatwa MUI dalam penegakan hukum dan pelayanan publik tentang tuduhan sesat bagi minoritas tertentu, penting untuk memberikan keberanian bagi aparat dan jaminan bagi warga negara minoritas. Demikian halnya, larangan untuk penggunaan kata kafir dalam ranah sosial politik bagi yang bukan muslim akan mendorong terbangunnya sikap kesetaraan dan keramahan. Ini pun sebenarnyaa belum mencakup mereka yang didiskriminasi karena kemiskinan dan perbedaan sosial lainnya.

Bukankah ini bisa dianggap kontribusi positif dalam membangun kehidupan yaang adil dan harmonis?


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...