Hak Menguji Standar Pelayanan Publik
Eksistensi masyarakat dalam pelayanan publik tidak hanya berperan sebagai penerima atau pengguna layanan saja. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, masyarakat juga berperan sebagai pengawas pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf b bahwa "masyarakat berhak mengawasi pelaksanaan standar pelayanan". Namun bagaimana pelaksanaan peran pengawasan oleh masyarakat? Apakah cukup hanya sebatas dengan pengaduan saat akses layanan sedang atau telah berlangsung? Bagaimana dengan tindakan pencegahan? Tidakkah masyarakat berhak berpartisipasi untuk mencegah potensi perbuatan maladministrasi? Sebab kita tentu tidak asing dengan kata pepatah "mencegah lebih baik daripada mengobati.
Standar pelayanan diartikan sebagai tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Maka sebagai sebuah kewajiban setiap instansi penyelenggara sudah seharusnya memenuhi standar pelayanan.
Untuk mewujudkan peran masyarakat dalam pencegahan potensi maladministrasi, maka sudah sepatutnya masyarakat diberikan akses untuk mengadukan potensi maladministrasi yang mungkin terjadi atau dilakukan oleh instansi penyelenggara layanan publik. Potensi maladministrasi ini dapat diukur dari terpenuhi atau tidaknya komponen standar pelayanan minimal yang disyaratkan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Pelayanan Publik.
Deteksi potensi maladministrasi ini sebenarnya telah dilakukan pula oleh ombudsman melalui mekanismesystemic review . Akan tetapi untuk tiba pada garis pelayanan prima tentu tidak cukup dengan hanya satu langkah saja, dengan mengoptimalkan peran masyarakat secara simultan yang juga merupakan pengawas pelayanan publik tentu akan semakin dapat mendorong tercapainya pelayanan publik yang berkualitas.
Sebagai perbandingan, dalam hal pengaduan pelayanan publik misalnya, kendati Ombudsman memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi inisiatif sebagai bentuk pengejawantahan dari tugas investigasi atas prakarsa sendiri (Pasal 7 huruf d Undang-Undang 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia), tetap saja jumlah pengaduan melalui peran aktif masyarakat yang mengadukan ke Ombudsman lebih banyak jumlahnya dibandingkan investigasi inisiatif Ombudsman itu sendiri. Menurut data Sistem Informasi Manajemen penyelesaian Laporan Ombudsman jumlah pengaduan dari masyarakat melalui mekanisme datang langsung tercatat sebanyak 3229, melalui email sejumlah 366, melalui sosial media sejumlah 112, melalui surat sebanyak 1060, melalui saluran telepon sebanyak 567, dan melalui kanal website sebanyak 42, sedangkan melalui mekanisme investigasi inisiatif hanya berjumlah 109. Dilihat dari data tersebut, pengaduan dugaan tindakan maladministrasi yang berasal dari partisipasi masyarakat jauh lebih besar jumlahnya, dengan demikian melibatkan masyarakat dalam pencegahan melalui mekanisme pengaduan potensi maladministrasi diharapkan dapat meminimalisir tindakan maladministrasi dan mewujudkan pelayanan publik prima.
Peran masyarakat untuk mencegah potensi maladministrasi sebenarnya telah diakomodasi melalui pelibatan mereka dalam penyusunan standar pelayanan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pelayanan Publik , namun untuk mengawal hal tersebut, maka melalui hak menguji ini dapat diketahui pula apakah instansi penyelenggara layanan publik telah melibatkan masyarakat dalam penyusunan dan menetapkan standar pelayanan atau tidak.
Namun, bukan tanpa tantangan, tentu untuk mencapai pelaksanaan hak menguji pelayanan publik ini, masyarakat terlebih dahulu harus mengetahui apa sajakah komponen standar pelayanan publik minimal sesuai Undang-Undang Pelayanan Publik, sehingga dengan demikian masyarakat dapat mengukur apakah lembaga penyedia layanan publik yang dituju telah memenuhi atau sesuai dengan indikator standar atau tidak, untuk selanjutnya disampaikan kepada Ombudsman agar dapat dilakukan perbaikan dalam pengawasan terhadap instansi penyelenggara pelayanan publik dimaksud sehingga dapat meminimalisir potensi maladministrasi. Meskipun dengan tantangan tersebut, partisipasi masyarakat tetap adalah difusser yang tepat untuk menghalau polusi maladministrasi yang mencemari udara pelayanan publik di negara demokrasi Pancasila ini. Maka melalui hak menguji ini diharapkan dapat tercapai pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.
Dengan mengandalkan partisipasi masyarakat melalui hak menguji standar pelayanan dengan melakukan cross check terhadap komponen standar pelayanan di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik, maka diperlukan perubahan terhadap peraturan teknis yang mengatur tentang penyampaian laporan atau pengaduan di Ombudsman. Di antaranya adalah Peraturan Ombudsman Nomor 26 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan. Sampai saat ini Ombudsman hanya menyediakan akses bagi masyarakat untuk mengadukan dugaan maladministrasi. Dengan kata lain pengaduan tersebut dilakukan saat masyarakat telah menjadi korban maladministrasi saja sebagaimana lebih detail ditegaskan melalui Petunjuk Teknis Tata Laksana Penerimaan dan Verifikasi Laporan Nomor 3 Tahun 2019.
Mengacu pada Undang-Undang Pelayanan Publik, Pasal 10 huruf g dan h sejatinya masyarakat memiliki hak untuk mengadukan pelaksana dan penyelenggara yang tidak memperbaiki pelayanan. Dengan demikian masyarakat memiliki hak atas jaminan ketersediaan akses untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan kepada Ombudsman sebagai lembaga pengawas apabila terdapat instansi penyelenggara pelayanan publik yang tidak memenuhi standar pelayanan agar dilakukan perbaikan, tanpa perlu menunggu masyarakat menjadi korban terlebih dahulu baru dapat kemudian menyampaikan keluhan atau pengaduannya.
Namun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Ombudsman sebagaimana ditegaskan pada Surat Edaran Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Pedoman Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Dalam Penyelesaian Laporan Masyarakat, menetapkan kriteria Pelapor merupakan korban langsung atau kuasa korban yang mengalami maladministrasi pelayanan publik. Selain itu SE tersebut mengatur bahwa yang dimaksud sebagai kategori waktu peristiwa pengaduan yang dapat diadukan dan dapat ditindaklanjuti Ombudsman adalah pelayanan publik dalam lingkup peristiwa, tindakan atau keputusan yang sedang berlangsung atau belum lewat 2 (dua) tahun dari sejak peristiwa, tindakan atau keputusan itu terjadi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Ombudsman sebagai lembaga negara tentu tidak cukup dengan hanya mengacu pada Undang-Undang 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia saja sebagai payung hukum Ombudsman itu sendiri. Ombudsman tentu tidak dibenarkan mengesampingkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik misalnya, sebab dalam negara hukum setiap perangkat aturan ini dipandang sebagai satu sistem, yang mana satu peraturan bertalian dengan peraturan lainnya. Maka Undang-Undang Pelayanan Publik ini dapat menjadi dasar untuk Ombudsman agar memiliki kewenangan menerima dan menindaklanjuti pengaduan potensi maladministrasi.
Dengan kondisi saat ini, di mana Ombudsman menerima pengaduan masyarakat yang hanya sebatas berkaitan dengan dugaan maladministrasi, lalu apa perbedaan antara dugaan maladministrasi dengan potensi maladministrasi?
Dugaan Maladministasi
Untuk dapat lebih mudah memahaminya dijelaskan dengan permisalan berikut ini. Apabila si A mengurus KTP di Kantor Dinas Kependudukan namun dalam pengurusan tersebut si A dimintai sejumlah uang dengan alasan biaya pelayanan, sementara si A mengetahui bahwa biaya pelayanan tersebut gratis, maka selanjutnya si A dapat menyampaikan keluhan tersebut kepada Ombudsman. Kondisi ini disebut sebagai pengaduan dugaan maladministrasi, yakni si A menjadi korban maladministrasi saat pelayanan sedang atau telah berlangsung, dengan batas kadaluarsa pengaduan adalah paling lama 2 (dua) tahun sejak peristiwa atau tindakan itu terjadi.
Lantas bagaimana dengan pengaduan yang belum atau baru akan berlangsung dengan permisalan sebagai berikut. Apabila anda sedang berkunjung ke suatu kantor penyelenggara layanan publik (bukan dalam tujuan mengakses layanan) namun dalam kunjungan itu anda menyadari bahwa tidak terdapat informasi terpampang yang menerangkan biaya layanan, jangka waktu pelayanan, sedangkan telah anda ketahui bahwa komponen tersebut merupakan standar pelayan publik yang seharusnya tersedia, dan bukan tidak mungkin di kemudian hari anda akan meminta pelayanan di instansi tersebut. Maka di sinilah diperlukan akses untuk menyampaikan kondisi yang demikian melalui mekanisme yang disebut pengaduan potensi maladministrasi. Pikirkan apabila kondisi ini diabaikan maka bagaimana nasib orang-orang yang di kemudian hari akan mengakses layanan di kantor tersebut? Bukankah mereka akan berpeluang menjadi korban maladministrasi. Jadi dengan langkah ini kita dapat menyelematkan banyak pihak dari potensi maladministrasi yang mungkin terjadi.
Jadi batasan antara dugaan maladministrasi dan potensi maladministrasi adalah dugaan maladministrasi ialah pengaduan yang berkaitan saat pelayanan sedang atau telah berlangsung, sedangkan potensi maladministrasi adalah sebelum mengakses pelayanan publik.
Pengaduan
Potensi Maladministrasi
Jika
perubahan ketentuan yang mengatur terkait penerimaan laporan
pengaduan di Ombudsman telah dilakukan, pengaduan potensi
maladministrasi telah diakomodir secara legal formil, maka ini pun
akan sejalan dengan Peraturan Ombudsman Nomor 41 Tahun 2019 yang
mengatur tentang pencegahan maladministrasi, khususnya pada tahap
deteksi. Pengaduan yang telah disampaikan oleh masyarakat terkait
potensi maladministrasi di suatu instansi penyelenggara pelayanan
publik dapat dijadikan komponen utama sebagai bahan analisis untuk
selanjutnya dapat dilakukan treatment terhadap
instansi penyelenggara yang berpotensi melakukan perbuatan
maladministrasi. Dengan demikian dapat meminimalisir kesalahan
berulang dan pelayanan diharapkan dapat sesuai dengan standar
pelayanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pelayanan Publik.
Ombudsman
sendiri sebagai lembaga yang diberi amanat menjadi pengawas pelayanan
publik, setiap tahunnya melakukan penilaian kepatuhan pada instansi
penyelenggara pelayanan publik terhadap standar pelayanan yang diatur
dalam Undang-Undang Pelayanan Publik yang bertujuan agar setiap
intansi tersebut dapat memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.
Namun kegiatan yang dilaksanakan hanya sekali setahun tersebut tentu
tidaklah cukup. Kendati Ombudsman telah memiliki kantor Perwakilan di
setiap provinsi, namun dengan hanya berkedudukan di ibu kota
masing-masing provinsi tersebut tentu daya jangkau Ombudsman hingga
ke kabupaten-kabupaten menjadi terbatas. Belum lagi keterbatasan
anggaran, hal ini tidak dapat dinafikkan menjadi kendala untuk
Ombudsman dalam memaksimalkan pemantauan kepatuhan di setiap instansi
penyelenggara pelayanan publik sebagai bentuk upaya pencegahan
maladministrasi. Dengan pertimbangan ini maka semakin menguatkan
bahwa peran partisipasi masyarakat yangnotabene memiliki
akses yang lebih mudah untuk menjangkau instansi pelayanan publik di
daerah mereka masing-masing akan lebih besar pengaruhnya untuk
membawa perubahan pelayanan publik yang lebih baik dan menyokong
Ombudsman dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.
Mengapa penting menyediakan akses pengaduan potensi maladministrasi? Sebab apabila tidak ada instrumen untuk mengawal terjaminnya standar pelayanan melalui pengaduan sejenis ini, maka apabila terjadi maladministrasi itu hanya akan terus berakhir dengan pengulangan karena pelaporan hanya berkutat pada tindakan maladministrasi ketika sedang atau telah berlangsung saja. Sedangkan dalang dari maladministrasi adalah pelayanan yang tidak sesuai standar. Untuk itu diperlukan jaminan bahwa setiap instansi penyelenggara pelayanan publik telah memenuhi standar untuk mengantisipasi maladministrasi. Jadi tanpa ada langkah solutif yang benar-benar menyentuh akar masalah secara menyeluruh, masih akan banyak masyarakat yang berpeluang menjadi korban maladministrasi saat mengakses jenis layanan yang sama pada intansi yang sama. Pada poin lainnya, tanpa partisipasi masyarakat, harapan pelayanan publik yang berkualitas hanya angan-angan belaka, ibarat jauh panggang dari api.