Gagap Pahami Maladminstrasi, Korupsi Intai Pejabat Publik
Manusia adalah makhluk yang berakal budi, personalitasnya sebagai makhluk sosial sering kali dikaitkan dengan sifat dan tingkah laku yang membedakan dengan seorang lainnya. Meskipun terdapat perbedaan dalam merespon segala sesuatu, ternyata manusia memiliki persamaan sifat dasar.
Melirik teori kepribadian psikoanalisis yang dikemukakan Sigmund Freud, yang dikemukakan Ferdinand Zaviera dan Prismasophie (2007) dalam bukunya, ternyata manusia pada dasarnya adalah makhluk agresif, dan keagresifan tersebut didorong adanya rasa cemas atas kepunahan umat manusia itu sendiri. Freud meyakini bahwa dalam sifat dasar manusia tersebut juga terdapat lapisan ego yang memberikan fungsi kendali untuk mempertahankan kehendaknya itu sendiri.
Menarik, apabila teori psikoanalisis tersebut disandingkan dengan teori kebijakan publik yang memberikan keleluasaan kepada pejabat publik untuk mengambil peran atas penyelenggaraan suatu pelayanan. Dalam konteks ini, publik juga dapat bermain rasa sembari memberi penilaian atas perilaku dan pilihan kebijakan pejabat publik. Publik juga dapat berkaca pada dampak yang dihasilkan, semua tersaji demikian.
Oleh karenanya,Thomas R. Dye (Understanding Public Policy) mengartikan tindakan pejabat publik sebagai pilihan, melakukan atau tidak melakukan, membuat keputusan atau tidak membuat keputusan. Bahkan dalam kaitan lebih luas, tidak jarang publik mengartikan kebijakan pejabat publik sebagai bentuk keberpihakan atau tidak berpihaknya atas suatu persoalan yang terjadi.
Tindakan pejabat publik sangat berkaitan dengan perilaku pejabat itu sendiri. Oleh karenanya, didalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan, sedikitnya terdapat 15 perilaku yang harus ditaati oleh pejabat publik, diantaranya adalah larangan kepada pejabat publik untuk menyalahgunakan kewenangan serta tidak memberikan pelayanan yang berlarut-larut dan senantiasa menjunjung nilai-nilai integritas.
Dalam konteks yang lebih luas, batasan perilaku pejabat publik juga dijabarkan didalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas penyelenggara pelayanan publik menerjemahkan penyimpangan perilaku pejabat publik sebagai bagian dari maladministrasi dalam pelayanan publicÂ
Sebagaimana maknanya yang tertuang dalam Undang-undang, maladminstrasi merupakan perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/ immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut secara sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan telah melakukan korupsi apabila telah memenuhi unsur menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Oleh karenanya, tidak ada batasan yang benar-benar tajam antara maladmistrasi dengan korupsi itu sendiri. Jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhirnya menyatakan suatu perbuatan sebagai korupsi. Maka, Ombudsman Republik Indonesia mendahuluinya dengan menyentuh perilaku pejabat publik dan menguji perilaku tersebut. Bahkan ketika KPK menyatakan suatu perbuatan sebagai korupsi sebetulnya pejabat publik tersebut telah lebih dulu melakukan maladministrasi.
Sebagai gambaran sederhana ketika pejabat publik terjerat korupsi sebetulnya ada banyak perilaku yang telah dilanggar oleh pejabat publik tersebut. Ada peraturan perundang-undangan yang telah diabaikannya, ada prosedur yang telah disimpangi, bahkan ada nilai-nilai integritas yang telah dikhianati. Sehingga, sangat disayangkan apabila pejabat publik masih memaknai maladministrasi sebagai kesalahan pada suatu hal yang berkaitan dengan adminstrasi semata. Bukankah dalam suatu penyimpangan terdapat perilaku yang melekat pada diri individu. Semakin gagap pengetahuan pejabat publik memaknai maladminstrasi, maka semakin dekat pula dirinya pada jerat korupsi. (ori-jateng, bwd)