• ,
  • - +

Artikel

Gagalnya Reformasi Pelayanan Publik, Salah Siapa?
• Rabu, 11/12/2019 • Atika Mutiara Oktakevina, S.I.P., M.H.
 
Kepala Tim Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung, Atika Mutiara Oktakevina saat memberikan materi pada pemerintah kabupaten pesawaran

"Beban reformasi pelayanan publik bukan hanya tanggung jawab Ombudsman. Masyarakat ikut bersalah jika pelayanan publik buruk." Demikian ditegaskan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) dalam sambutannya pada acara Penyerahan Hasil Penilaian Kepatuhan Pemerintah Daerah terhadap Penyelenggaraan Standar Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Ombudsman R.I. Perwakilan Provinsi Lampung bekerja sama dengan FISIP Unila pada Kamis (5/12) lalu di Gedung D FISIP Unila.

Satu yang menghentak hati saya, benarkah masyarakat bersalah? Meski bisa jadi benar jika dipandang dari sisi Undang-Undang Pelayanan Publik bahwa masyarakat memiliki hak dalam mengawasi pelayanan publik, tapi apakah begitu besarnya dampak atas hak yang tidak dijalankan yaitu berupa cap "bersalah" untuk masyarakat? 

Namun selanjutnya, Dekan FISIP Unila tersebut menambahkan bahwa masyarakat bersalah karena semakin banyak masyarakat tidak kritis, hanya menerima atas apapun yang disampaikan oleh instansi penyelenggara layanan. Misalnya, ketika masyarakat dibebankan sejumlah tarif tertentu dalam mengakses suatu pelayanan, hanya sedikit masyarakat yang berani bertanya, "Untuk apa biaya ini?" "benarkah jumlahnya sekian?" Padahal realita di lapangan tidak sedikit masyarakat yang berat atas sejumlah syarat, mekanisme ataupun tarif yang ditetapkan oleh instansi penyelenggara layanan. Pada akhirnya, hal inilah yang memunculkan sikap-sikap masyarakat yang cenderung potong kompas. Karena tak ingin rumit!

Sayapun merenung, lantas salah siapa?

Salah siapa ketika masyarakat ingin potong kompas? Bukankah naluri manusia memang cenderung ingin memilih yang lebih mudah?

Sayapun mencoba menelusuri. Meski menyalahkan masyarakat menurut saya tidak tepat, tapi pun kurang bijak jika serta merta menyalahkan instansi penyelenggara layanan atau oknum instansi penyelenggara layanan yang memberikan tempat untuk potong kompas. Sebab, bukankah tak ada kejahatan tanpa adanya kesempatan? Maka naluri manusia yang cenderung memilih yang lebih mudah inilah yang selanjutnya menjadi sebuah kesempatan bagi oknum instansi penyelenggara layanan.

Jujur, saat itu ingatan saya langsung tertuju pada sejumlah proses dalam penyusunan standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Permenpan RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan. Dalam peraturan tersebut, standar pelayanan merupakan suatu rangkaian yang dimulai dari proses penyusunan, pelibatan masyarakat, dan penetapan standar pelayanan hingga sampai pada proses penerapan standar pelayanan dimana pada tahap inilah standar pelayanan diinformasikan kepada pengguna layanan dan diimplementasikan. Selanjutnya, pemantauan dan evaluasi menjadi proses akhir pasca penerapan standar pelayanan.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa sejumlah standar pelayanan yang terpampang di instansi penyelenggara berupa persyaratan layanan, mekanisme layanan, tarif layanan, jangka waktu layanan, prosedur pengaduan internal dan standar pelayanan lainnya bukanlah sebuah standar pelayanan yang serta merta terpampang tanpa proses.

Peraturan mengamanahkan sejumlah tahapan yang harus dilalui sebelumnya. Mulai dari proses penyusunan oleh instansi penyelenggara. Selanjutnya pelibatan masyarakat selaku unsur pengguna layanan. Hal ini penting, sebagai prosescheck and balancesketika terdapat standar pelayanan yang mungkin belum sesuai dengan peraturan dasarnya atau ketika terdapat standar pelayanan yang belum sesuai dengan kondisi masyarakat, sehingga keberaadaannya bisa disesuaikan. Contoh, jangka waktu pelayanan untuk pembuatan surat A pada instansi B di suatu daerah yang memiliki lokasi yang cukup berjauhan antar desa, jika dapat dibuat dalam 1 (satu) hari, untuk apa harus memberikan jangka waktu 2 (dua) atau 3 (tiga) hari hingga mengharuskan masyarakat pulang pergi ke instansi tersebut? Sementara mungkin perjalanan dari domisili masyarakat ke instansi tersebut bisa memakan waktu berjam-jam. Ini hanya salah satu contoh.

Selanjutnya setelah proses pelibatan masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan, diharapkan akan menemui kesepakatan dan pada akhirnya standar pelayanan tersebut ditetapkan oleh penyelenggara layanan berupa Berita Acara yang ditandatangani oleh kedua unsur yaitu penyelenggara layanan dan masyarakat. Bagaimana jika tetap terjadi perbedaan pandangan dari masyarakat atas suatu standar layanan sementara standar layanan tersebut sudah diatur detail dari suatu peraturan, misalnya peraturan Menteri. Disinilah saya memandang pentingnya proses pemantauan dan evaluasi dalam penyusunan standar pelayanan.

Proses pelibatan masyarakat tetap penting dilakukan. Hal ini untuk mengetahui apakah standar pelayanan yang ada sudah mengakomodir kebutuhan masyarakat. Karena standar pelayanan sejatinya disusun untuk memudahkan, bukan untuk membuat semakin rumit. Maka ketika terdapat ketidaksesuaian antara keinginan masyarklat dengan hal-hal yang sudah diatur dalam peraturan yang lebih tinggi dari peraturan daerah, disinilah peran pemerintah daerah untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

Proses pemantauan dan evaluasi dalam penyusunan standar pelayanan dapat menerapkan metode Survei Kepuasan Masyarakat (SKM), ataupun kuisioner. Melalui pemantauan dan evaluasi inilah, para instansi penyelenggara pelayanan publik dapat menelaah, apakah standar pelayanan yang diterapkan telah mengakomodir kebutuhan masyarakat dan tidak sekedar sesuai ketentuan yang menjadi peraturan dasarnya? Ketika standar pelayanan yang mengacu pada suatu ketentuan ternyata belum mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat, maka instansi penyelenggara melalui Pemerintah Dareah berpeluang untuk menyampaikan persoalaan tersebut kepada Pemerintah Pusat. Karena ketentuan atau peraturan adalah sesuatu yang dibuat pada suatu masa, yang bisa jadi pada saat peraturan tersebut dibuat, belum terfikirkan hal-hal tertentu yang kelak menjadi kendala dalam implementasinya. Disitulah kegunaan pemantauan dan evaluasi, sebagaimana teori siklus kebijakan publik menurut Shafritz dan Russel, bahwa ketika suatu kebijakan publik telah sampai pada tahap implementasi, ia kemudian dievaluasi. Selanjutnya ia akan masuk pada tahapanfeed back dimana pada tahap ini akan menjadi penentu apakah suatu kebijakan layak diteruskan atau harus direvisi?

Demikian halnya dengan suatu standar pelayanan yang telah diterapkan. Melalui pemantauan dan evaluasi inilah, para instansi penyelenggara pelayanan publik dapat mengukur apakah kebutuhan masyarakat telah terakomodir dengan standar pelayanan yang ada.

Dengan demikian, para instansi penyelenggara pelayanan publik dapat keluar dari zona formalitas dalam penyelenggaraan standar pelayanan publik. Ya, menyelenggarakan standar pelayanan publik berupa persyaratan layanan, mekanisme layanan, jangka waktu layanan, prosedur pengaduan pelayanan, serta sejumlah standar pelayanan lainnya bukanlah suatu formalitas belaka dalam rangka memenuhi target penilaian dari Ombudsman R.I., bukan pula dalam rangka memenuhi target dari Kepala Daerah untuk meraih zona hijau bagi daerahnya. Sangat menyedihkan jika hanya menjadikan hal-hal tersebut sebagai target.

Lebih dari itu, penyelenggaraan standar pelayanan adalah wujud ketulusan dari hati sebagai bagian dari aparatur negara yang memiliki jiwa melayani. Melayani masyarakat bukan lagi suatu tugas yang menjadi beban bagi para instansi penyelenggara pelayanan. Akan tetapi sebuah ketulusan yang datang dari hati.

Jika sudah demikian kondisinya, mungkin barulah pantas kita menyalahkan masyarakat manakala masih terjadi peristiwa potong kompas sebagaimana disampaikan oleh Dekan FISIP Unila tadi.

Ah, tapi mari kita tidak menyalahkan siapapun. Toh saya fikir, jika kondisi instansi penyelenggara layanan sudah demikian tulus, akan sangat minim kemungkinan masyarakat masih mencoba "jalur lain". Kenapa? Karena masyarakat sudah merasa nyaman. Dan saya yakin, masyarakat selaku pengguna pelayanan publik sebenarnya sudah jenuh dengan keberadaan "jalur lain" yang seolah dapat dijadikan solusi dalam mengakses pelayanan publik. Karena, sesungguhnya masyarakat juga merupakan pihak yang sangat menginginkan reformasi pelayanan publik di negara ini. Mereka menginginkan kondisi yang lebih baik untuk negara ini.  

Maka yang terpenting adalah bagaimana agar setiap pihak mampu berbuat sesuatu demi mencapai perbaikan di negara ini.






Loading...

Loading...
Loading...
Loading...