Falsafah Indonesia dan Layanan Publik

Tulisan reflektif: Negara dalam hidup keseharian.
Artikel ini ditulis lebih panjang dari biasanya. Mohon dimaklumi, selain sebagai refleksi akhir tahun 2025, tulisan ini sekaligus penanda usia setengah abad penulis yang selalu menyaksikan dinamika hubungan warga dan negara. Pertanyaan yang mengemuka sederhana namun mendasar: apakah cara kita berbangsa dan bernegara hari ini lebih baik, sama, atau justru menjauh dari cita-cita berbangsa. Bayangkan Indonesia lima puluh tahun lalu, dan Indonesia yang kita harapkan lima puluh tahun ke depan.
Untuk menjawabnya, rujukan paling jujur barangkali adalah pengalaman warga sendiri ketika berhadapan dengan negara. Dalam antrean layanan, d loli ruang tunggu fasilitas publik, dan di balik loket administrasi, negara hadir tidak sebagai wacana, melainkan sebagai pengalaman hidup. Di sanalah falsafah bernegara diuji dalam bentuk yang paling konkret.
Falsafah Pancasila bukan sekadar kumpulan nilai, melainkan dasar negara (Staatsphilosophie) yang menjadi landasan hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai identitas nasional, ia menjadi tampah besar tempat keberagaman Indonesia tumbuh dan bertemu. Dari waktu ke waktu, ujian kebangsaan muncul bukan hanya karena perbedaan, tetapi juga karena peristiwa bencana, krisis, dan ketimpangan yang membuka jarak antara warga dan negara.
Pancasila menyediakan kerangka stabilitas politik untuk mencapai konsensus dan mencegah konflik. Konsistensi penerapannya menjadi syarat keberlanjutan negara. Dalam konteks globalisasi dan tekanan ekonomi dunia, Pancasila juga berfungsi sebagai benteng nilai, menjaga identitas nasional tanpa menutup mata terhadap realitas pragmatis.
Lima sila Pancasila tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait. Sila pertama memberi landasan etika dan spiritual, sementara sila kelima menuntut keadilan dan kesejahteraan yang nyata. Pertanyaannya bukan harus dimulai dari sila yang mana, melainkan sejauh mana pemaknaannya memberi kemanfaatan terbesar bagi rakyat.
Falsafah Indonesia tidak berhenti pada Pancasila. Gotong royong menegaskan semangat kebersamaan sebagai fondasi sosial. Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan bahwa persatuan tidak meniadakan perbedaan, melainkan merawatnya. Nilai-nilai ini menemukan konteksnya dalam kebijakan dan layanan publik sehari-hari.
Berbagai kearifan lokal memperkaya falsafah tersebut. Falsafah Sangga Buwana (Jawa) menekankan keseimbangan manusia, alam, dan Tuhan. Falsafah Tri Hita Karana (Bali) dan Tri Tangtu (Sunda) mengajarkan harmoni dan keterhubungan. Semua falsafah ini mengingatkan bahwa pembangunan dan pelayanan tidak boleh kehilangan dimensi kemanusiaan dan keberlanjutan.
Dalam pengawasan layanan publik, saya menyaksikan bagaimana falsafah tersebut diuji di lapangan. Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang di tiga zona waktu. Di wilayah barat, tantangan layanan sering terkait kepadatan dan kompleksitas administrasi. Di wilayah tengah, keterbatasan sumber daya menjadi persoalan utama. Di wilayah timur, jarak geografis dan cuaca menentukan akses layanan dasar.
Suatu pagi di sebuah puskesmas kecamatan, seorang ibu muda datang membawa anaknya yang demam. Antrean panjang dan sistem pendaftaran yang terhenti sejenak menambah kecemasan sang ibu. Data pengaduan layanan kesehatan menunjukkan bahwa keluhan paling sering bukan soal kompetensi medis, melainkan waktu tunggu, kepastian prosedur, dan komunikasi petugas.
Di sektor pendidikan, laporan pengawasan memperlihatkan pola yang serupa. Sekolah negeri di wilayah pinggiran dan kepulauan masih menghadapi rasio guru-murid yang tinggi dan keterbatasan sarana. Keadilan sosial dirasakan murid bukan dari kurikulum nasional, melainkan dari kesempatan belajar yang setara.
Di kantor pelayanan perijinan atau administrasi kependudukan, pengaduan paling banyak berkaitan dengan ketidakjelasan informasi, perubahan syarat, dan lamanya proses. Bagi warga lanjut usia dan kelompok rentan, kompleksitas prosedur menjadi beban yang tidak proporsional. Negara hadir di hadapan mereka sebagai pengalaman administratif yang menentukan rasa dihargai atau diabaikan.
Persatuan Indonesia, dalam perspektif ontologis, bukan sekadar kumpulan pulau dan identitas. Ia adalah entitas tunggal yang dibangun melalui sejarah, perjuangan, dan kesepakatan bersama. Setiap kebijakan dan layanan yang menciptakan ketimpangan berpotensi menggerus fondasi ontologis tersebut.
Secara epistemologis, persatuan kita pahami melalui narasi sejarah, pendidikan, media, dan pengalaman sehari-hari. Pengawasan layanan publik memperlihatkan bahwa pengalaman konkret sering kali lebih membentuk persepsi persatuan dibanding wacana formal. Ketika layanan terasa adil, persatuan menguat tanpa perlu diserukan.
Layanan publik merupakan wajah keseharian negara di hadapan warga. Antrean di puskesmas, ruang kelas sekolah negeri, dan meja pelayanan administrasi dan perijinan menjadi ruang perjumpaan antara negara dan rakyat. Di ruang-ruang sederhana inilah keadilan sosial diuji, dirasakan, dan diingat masyarakat.
Dalam kerangka teori welfare state, layanan publik dipahami sebagai instrumen utama distribusi kesejahteraan dan perlindungan sosial. Negara tidak cukup hadir sebagai regulator, tetapi sebagai penjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara. Ketimpangan layanan antarwilayah menunjukkan belum utuhnya fungsi kesejahteraan ini.
Pendekatan Public Service Value menekankan bahwa nilai layanan publik tidak hanya diukur dari efisiensi, tetapi dari manfaat sosial yang dihasilkan. Kualitas layanan pendidikan, kesehatan, dan administrasi publik berkontribusi langsung pada martabat warga. Ketika layanan timpang, kesejahteraan pun terfragmentasi.
Sementara itu, paradigma New Public Service menempatkan warga sebagai warga negara, bukan sekadar pelanggan. Partisipasi, dialog, dan musyawarah menjadi inti pelayanan publik yang demokratis. Prinsip ini sejalan dengan sila keempat Pancasila yang menempatkan kebijaksanaan sebagai hasil permusyawaratan.
Namun, dalam praktik kebijakan layanan publik, pendekatan partisipatif sering kali tereduksi menjadi formalitas. Standar pelayanan disusun secara teknokratis dan sentralistik, tanpa cukup mendengar suara daerah dan masyarakat. Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian antara desain kebijakan dan kebutuhan lokal.
Koherensi kebijakan layanan publik pusat dan daerah menjadi tantangan utama. Perbedaan kapasitas fiskal, sumber daya manusia, dan tata kelola menciptakan variasi kualitas layanan. Ketika konsistensi tidak terjaga, persatuan sosial dan kesejahteraan kolektif ikut terancam.
Korelasi antara layanan publik dan kesejahteraan bersifat langsung dan kasatmata. Layanan kesehatan yang lambat, pendidikan yang tidak merata, dan administrasi yang berbelit membentuk pengalaman ketidakadilan struktural. Pengalaman ini perlahan mengikis rasa memiliki terhadap negara.
Korespondensi antara norma Pancasila dan praktik layanan publik diuji melalui kesetaraan perlakuan hukum. Syarat, biaya, prosedur, dan waktu penyelesaian harus berlaku sama bagi semua warga. Ketidakkonsistenan melahirkan eksklusi sosial yang bertentangan dengan semangat Persatuan Indonesia.
Dimensi kemanusiaan menjadi jantung pelayanan publik. Sikap aparatur yang empatik, menghargai, dan mendengarkan sering kali lebih bermakna daripada kecepatan prosedur semata. Di titik ini, sila kedua menemukan wujudnya dalam tindakan sehari-hari.
Layanan publik juga memiliki dimensi spiritual yang halus namun mendalam. Kebermanfaatan bagi sesama, sebagaimana nilai sila pertama, tercermin ketika negara melayani dengan niat menjaga martabat manusia. Dan bukankah derajat tertinggi dihadapan Tuhan adalah manusia yang paling bermanfaat? Pelayanan yang adil adalah doa yang bekerja dalam sunyi.
Kesejahteraan dan persatuan adalah dua sisi mata uang yang saling terkait. Ketimpangan layanan dan akses berpotensi memicu rasa terpinggirkan. Sebaliknya, layanan yang adil dan manusiawi memperkuat rasa memiliki terhadap negara.
Divergensi pelaksanaan norma-dalam bentuk maladministrasi, ketidakpastian prosedur, dan lemahnya akuntabilitas-menjadi sumber utama ketidakpuasan publik. Upaya pencegahannya memerlukan transparansi, partisipasi, dan konsistensi kebijakan lintas wilayah.
Sebagai insan Ombudsman, refleksi ini disampaikan bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mengingatkan. Pengawasan adalah bentuk tanggung jawab konstitusional agar negara tetap berjalan di rel nilai falsafah. Empati menjadi kunci agar koreksi tidak kehilangan kemanusiaannya.
Persatuan Indonesia tidak dibangun melalui retorika, melainkan melalui pengalaman layanan publik yang adil dan bermartabat. Ketika warga merasa dilayani sebagai manusia seutuhnya, kesejahteraan berakar dan persatuan menemukan pijakannya.
Pertanyaan penutup untuk kita renungkan bersama: apakah kita membangun persatuan demi kesejahteraan, atau menciptakan kesejahteraan agar persatuan terjaga. Pengalaman pengawasan menunjukkan bahwa keduanya hanya dapat dicapai melalui kebijakan konvergen menerapkan falsafah Indonesia dalam penyelenggaraan layanan publik.
Refleksi akhir tahun 2025.
Kusharyanto, S.H., M.A.
Asisten Ombudsman RI








