• ,
  • - +

Artikel

Evaluasi Pelayanan Publik Selama Pandemi
ARTIKEL • Jum'at, 08/05/2020 • Ola Mangu Kanisius
 
Ola Mangu Kanisius, Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT (foto istimewa)

Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 menyatakan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran dari pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional. Bahkan sejak tanggal 17 Maret 2020 Kemenpan RB telah mengeluarkan kebijakan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH), pemberlakuan kebijakan ini terus diperpanjang sesuai dengan kondisi pandemi Covid-19 yang belum kunjung berakhir.

Seiring pandemi yang telah memondial tersebut, kekhawatiran muncul di tengah masyarakat terkait terhentinya pelayanan publik sebagaimana terbaca dalam Survei Litbang Kompas pada 22- 24 April 2020, dan yang menjadi kekhawatiran terbesar publik di tengah pandemi Covid-19 ialah kesulitan mencari bahan pokok (38%). Kekhawatiran lain di antaranya: menurunnya profesionalitas ASN (9,2%), tidak mendapat pelayanan kesehatan yang berkualitas (23%), tidak dapat mengurus surat-menyurat dan perizinan yang berdampak pada bisnis (8%), serta tidak mendapatkan pekerjaan (7,3%).

Aparatur Pemerintah dituntut tetap menjaga kelangsungan pelayanan dengan mengubah cara pelayanan yang membatasi jarak fisik antara pemerintah dan warga masyarakat sebagai pengguna layanan (physical distancing). Perubahan cara pelayanan kepada warga masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat disangkal. Hal demikian sejalan dengan prinsip kontinuitas dan adaptif dalam pelayanan publik yang dikemukakan oleh B. Libois (Dalam Haryatmoko, 2015).

Kontinuitas berarti pelayanan publik kepada warga masyarakat tidak boleh terhenti selama pendemi, pelayanan dasar tetap diselenggarakan setidaknya melalui pemberian pelayanan minimum. Sedangkan adaptif dipahami sebagai penyesuaian cara pelayanan  selama pendemi yang memberi kemudahan akses pelayanan publik bagi warga masyarakat.

Sejak pemberlakukan kebijakan ASN bekerja dari rumah atau work from home (WFH), tak sedikit warga masyarakat pengguna layanan mengeluhkan terhambatnya pelayanan publik. Keluhan itu antara lain pelayananan administrasi kependudukan, listrik, perpajakan, perizinan dan lain sebagainya.

 

Keluhan selama Pandemi

Data Kemenpan RB yang dirilis Harian Kompas edisi Senin (13/04/2020) mencatat bahwa, seiring pemberlakuan WFH bagi aparatur sipil negara terdapat keluhan mengenai terganggunya pelayanan publik. Keluhan paling banyak terkait pelayanan administrasi kependudukan (153 laporan), dari total 348 laporan, disusul pelayanan kelistrikan (116 laporan), perpajakan (40 laporan), perizinan (20 laporan), keimigrasian (11 laporan), serta minyak dan gas (8 laporan).

Animo masyarakat menyampaikan keluhan pelayanan publik selama pandemi Covid-19 mengalami tren peningkatan. Hal tersebut tercermati pada jumlah laporan masyarakat ke Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT yang mengalami peningkatan dengan rincian, untuk bulan Januari (38 laporan), Februari (83 laporan), Maret (74 laporan), dan April (93 laporan).

Sepanjang bulan Maret-April 2020 Ombudsman RI Perwakilan NTT menerima 167 laporan masyarakat. Adapun substansi pelayanan yang dikeluhkan antara lain, pelayanan pertanahan (11%), pelayanan kepolisian dan pelayanan perbankan masing-masing (10%), pelayanan ketenagakerjaan (7%), pelayanan perhubungan dan pelayanan desa masing-masing (6%), lalu pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi kependudukan dan pelayanan jaminan sosial masing-masing (5%).

Dari data di atas memberi gambaran tingginya akses warga masyarakat terhadap pelayanan publik di tengah pandemi Covid-19 tidak berbanding linear dengan kepastian pelayanan yang diperoleh, hal ini tercermati pada komplain pelayanan publik yang mengalami kenaikan. Komplain dengan mekanisme voice (selain mekanisme exit) merupakan satu-satunya alternatif yang digunakan untuk mengeluhkan pelayanan yang bersifat publik, sekaligus kontrol terhadap aparatur pemerintah untuk memberikan pelayanan yang akuntabel.

 

Evaluasi Pelayanan

Kebijakan ASN bekerja dari rumah (WFH) belum ditopang oleh budaya kerja dan kreativitas aparatur pemerintah untuk memberikan pelayanan dari rumah. Kebijakan tersebut tidak dapat berjalan efektif apabila didukung kultur birokrasi yang lamban, karna hanya birokrasi tangkas (agile bureaucracy) yang mampu beradaptasi menjaga kelangsungan pelayanan publik kepada warga masyarakat selama pandemi.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) perlu menjadikan keluhan masyarakat sebagai bahan evaluasi kebijakan ASN dalam melaksanakan WFH secara berkala untuk memastikan pelayanan optimal kepada warga masyarakat, dengan cara melakukan penilaian capaian kinerja selama pemberlakuan kebijakan itu, serta konsisten menerapkan reward and punishment.

Menilai capaian kinerja menurut Simanjuntak (2011), yaitu membandingkan kesesuaian antara pencapaian hasil dengan tolok ukur yang telah ditetapkan. Dalam artian apabila hasil kerja aparatur/unit organisasi selama pemberlakukan kebijakan ASN work from home tidak sesuai dengan tolok ukur yang seharusnya dicapai, maka dapat dikatakan aparatur berkinerja rendah selama memberikan pelayanan dari rumah (work from home).

Khusus bagi Pemda diharapkan menciptakan ekosistem pelayanan yang tanggap selama pandemi, dengan memberikan pelayanan secara mudah dan cepat, regulasi yang tumpang-tindih perlu disederhanakan (deregulasi), dan prosedur pelayanan yang rumit perlu dipangkas (debirokratisasi) serta kemudahan pelayanan melalui pemanfaatan  teknologi informasi dan komunikasi (digitalisasi). (ori-ntt, omk)





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...