Dilema Pelayanan Tera

Salah satu urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah pelaksanaan metrologi legal berupa
tera, tera ulang, dan pengawasan kemetrologian.
Dalam sejumlah literatur pengertian Metrologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang cara-cara pengukuran, kalibrasi dan akurasi, baik di bidang industri, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ilmu inilah maka seluruh alat ukur yang berkaitan dengan minimal di tiga bidang diatas wajib dilakukan tera atau pengukuran.
Sedangkan Tera adalah hal menandai dengan tanda tera sah atau tanda tera batal yang berlaku, atau memberikan keterangan tertulis yang dilakukan oleh pegawai yang bersertifikasi atau memiliki kompetensi
Sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, telah mengatur segala hal yang berkaitan dengan satuan ukur, standar ukuran, dan metode pengukuran serta alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP). Tujuannya agar masyarakat tidak dirugikan karena soal ketidakakuratan takaran dan timbangan
Namun pertanyaan selanjutnya adalah dengan banyaknya alat ukur yang beredar saat ini di berbagai bidang. Apakah alat-alat tersebut sudah diukur atau dikalibrasi sesuai ketentuan undang-undang? Bagaimana dengan sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah di daerah? Apakah SDM atau petugas tera sudah tersedia sesuai rasio kebutuhan? Â
Bisa kita bayangkan, apabila alat ukur alat timbang yang sering digunakan para pedagang di pasar, yang digunakan SPBU untuk menjual BBM ke masyarakat, mengukur KWH listrik milik PLN, mengukur meter PDAM, Argo Taksi atau yang lebih lagi alat-alat kesehatan yang menunjang untuk cek kesehatan masyarakat yang juga wajib dilakukan tera berkala. Akan tetapi tidak dilakukan tera atau tera ulang? Maka dipastikan sebagai konsumen atau masyarakat  akan mendapatkan kerugian yang luar biasa.
Hasil temuan Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan saat melakukan sistemik reviu atau pemeriksaan lapangan dengan metode kajian sistematik baru baru tadi menemukan diantaranya:
Pertama  Baru tiga kabupaten/kota yang memberikan pelayanan kemetrologian, yaitu Banjarmasin, Banjarbaru dan kabupaten Banjar. Dua kabupaten sedang mempersiapkan pelayanan yaitu Kabupaten Tabalong dan Kotabaru. Kabupaten lainnya masih belum mempersiapkan, padahal  Januari 2019 semua kabupaten harus sudah memberikan pelayanan.
Kedua . Komitmen kepala daerah dan DPRD masih rendah , khususnya komitmen untuk membentuk SOTK dan persiapan sumber daya manusia pelayanan tera di daerah.
Ketiga. Kewalahannya Badan Standarisasi Metrologi Legal (BSML) Regional III Kalimantan (BSML) karena selama ini kabupaten/kota yang belum memberikan pelayanan  sebab terbatas kemampuannya dalam melayani, merekomendasikan pelayanan kepada BSM. Padahal BSML sendiri lingkup pelayanannya regional Kalimantan, dengan 5 provinsi dan 56 kabupaten/kota, dengan jumlah tenaga ahli hanya 16 orang.
Dankeempat banyaknya masyarakat atau pedagang yang masih belum memahami pentingnya pelayanan Tera guna melidungi para konsumen dari perilaku kecurangan dan tindakan tidak jujur dalam perdagangan.
Undang Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan pemerintah, pelaku usaha maupun konsumen untuk melakukan usaha-usaha perlindungan konsumen yang berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Tapi potret pelayanan tera masih jauh dari harapan, masih banyak dilema dalam pelaksanaannya. Untuk itu, diperlukan komitmen pemerintah kepala daerh untuk mempersiapkan layanan kemetrologian di masing-masing kabupten/kota, dan secepatnya membentuk SOTK yang mengakomodir kebutuhan kemetrologian. Serta mempersiapkan sumber daya manusia yang dapat dilatih menjadi ahli kemetrologian.
Â
 Â