• ,
  • - +

Artikel

Digitalisasi Pendidikan dan Titik Kritis Pengadaan: Transformasi Digital Tanpa Maladministrasi
ARTIKEL • Senin, 07/07/2025 • M Ilham Setiawan Bahri
 

Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tengah mencanangkan sebuah agenda besar dalam dunia pendidikan: percepatan digitalisasi sekolah. Melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025, ditetapkan target ambisius bahwa seluruh sekolah negeri di Indonesia akan menerima perangkat digital layar pintar (Smart Board) paling lambat pertengahan tahun 2026. Program ini merupakan bagian dari Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang ingin menunjukkan kehadiran negara secara nyata di ruang-ruang kelas.

Namun, keberhasilan program nasional tidak hanya ditentukan oleh besar anggaran atau cepatnya distribusi barang, tetapi oleh kekuatan tata kelola dan integritas pelaksanaannya. Dalam program pengadaan laptop Chromebook oleh Kemendikbudristek pada tahun 2021 dengan nilai hampir Rp10 triliun, terdapat dugaan korupsi dalam proses pengadaannya yang saat ini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung. Dari perspektif Ombudsman berdasarkan pengalaman penangan laporan masyarakat dalam substansi pengadaan barang dan jasa pemerintah, dugaan adanya maladministrasi dalam pengadaan tersebut dapat dilihat dari proses perencanaan, pemilihan penyedia, hingga distribusi barang yang tidak memberi manfaat.

Masalah tersebut memperlihatkan bahwa pengadaan barang publik, bahkan ketika bertujuan mulia seperti pendidikan, dapat menjadi ladang penyimpangan apabila tidak diawasi dengan benar. Padahal, transformasi digital seharusnya menjadi jalan untuk memperbaiki kualitas layanan publik, bukan membuka ruang bagi praktek koruptif untuk menguntungkan kelompok tertentu. Berbagai data nasional memperkuat keprihatinan ini. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2019 hingga 2023, tercatat ada 1.189 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa, dengan 2.898 tersangka. Sekitar 1.101 di antaranya menyebabkan kerugian negara secara langsung. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mencatat bahwa dari seluruh kasus korupsi yang mereka tangani sejak 2004, sebanyak 22,4% berasal dari sektor pengadaan barang/jasa, yang menjadikannya salah satu sumber korupsi terbesar setelah gratifikasi.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa sistem pengadaan, meski telah didigitalisasi melalui e-katalog dan e-purchasing, masih menyimpan banyak celah. Pengadaan bisa direkayasa, spesifikasi teknis bisa dikondisikan untuk vendor tertentu, harga bisa dimanipulasi, dan pengawasan publik bisa diabaikan. Bahkan dalam skema e-katalog sekalipun, instansi pengguna bisa dengan mudah memilih penyedia tanpa proses evaluasi terbuka. Tanpa kontrol yang kuat, efisiensi yang dijanjikan sistem digital bisa berubah menjadi pemborosan terstruktur.

Dalam pengalaman Ombudsman RI dalam menangani laporan terkait pengadaan barang dan jasa, terdapat tiga titik kritis dalam pengadaan barang/jasa yang berulang kali menjadi ruang penyimpangan. Pertama adalah perencanaan yang tidak berbasis kebutuhan nyata, kedua adalah penyusunan spesifikasi teknis yang terlalu sempit sehingga hanya bisa dipenuhi oleh produk dari penyedia tertentu, dan ketiga adalah transparansi dalam proses penunjukan penyedia. Jika ketiga titik ini tidak diwaspadai sejak awal, maka program Smart Board berpotensi akan bernasib sama seperti pengadaan laptop sebelumnya.

Selain itu, salah satu pelajaran penting dari kurang optimalnya program nasional adalah lemahnya partisipasi pemerintah daerah. Program sebagus apa pun di pusat akan sulit berdampak bila tidak ditopang oleh kesiapan dan partisipasi aktif daerah. Beberapa contoh bisa kita lihat pada program nasional seperti penyediaan pupuk bersubsidi, penyaluran LPG 3 kg, dan bantuan pangan pemerintah.

Agar program Smart Board berhasil, ada beberapa prasyarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan kebutuhan yang valid, baik dari sisi kesiapan sekolah, ketersediaan infrastruktur dasar seperti listrik dan internet, maupun kesiapan sumber daya manusia, terutama guru. Kedua, dinas pendidikan daerah harus dilibatkan sejak tahap perencanaan, bukan sekadar menjadi pelaksana distribusi barang. Ketiga, guru dan operator sekolah harus dibekali pelatihan agar bisa memanfaatkan perangkat dengan optimal. Dan keempat, anggaran daerah perlu dialokasikan untuk mendukung pemeliharaan dan pendampingan teknis.

Peran Ombudsman RI dan Sinergi Penguatan Program Pemerintah

Ombudsman RI, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, tidak hanya bertugas menunggu laporan, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mengantisipasi dan mencegah maladministrasi sejak awal. Sebagai lembaga pengawas Ombudsman RI harus mengambil peran lebih strategis. Dalam konteks program prioritas seperti Smart Board, Ombudsman perlu hadir sejak perencanaan: melakukan kajian tata kelola, memberi masukan kebijakan, mendorong kesiapan pemerintah daerah, membangun sistem pengawasan partisipatif, serta menjadi penghubung antara aspirasi masyarakat dan kebijakan pusat.

Digitalisasi pendidikan adalah momentum besar. Tapi keberhasilan program ini tidak hanya soal teknologi, melainkan soal kejujuran dalam proses dan keberpihakan pada hak masyarakat. Jika negara benar-benar ingin hadir melalui program Smart Board, maka yang dibangun bukan sekadar papan pintar, tetapi sistem yang berintegritas, adil dan akuntabel. Dan di situlah, Ombudsman RI harus berdiri paling depan.






Loading...

Loading...
Loading...
Loading...