• ,
  • - +

Artikel

Digital Governance yang Partisipatif: Peran Publik, Kepemimpinan Digital, dan Pengawasan Pelayanan Publik
ARTIKEL • Jum'at, 23/05/2025 • Patnuaji Agus Indrarto
 
Patnuaji Agus Indrarto

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam dua dekade terakhir telah mengalami percepatan luar biasa, ditandai dengan peningkatan kecepatan jaringan komunikasi serta kapasitas dan efisiensi penyimpanan data digital yang semakin tinggi dalam penerapan big data. Transformasi ini telah membuka peluang besar bagi sektor pemerintahan untuk melakukan digitalisasi layanan secara masif. Banyak pemerintah daerah di Indonesia kini mulai mengembangkan super apps atau aplikasi terpadu yang mengintegrasikan berbagai layanan publik ke dalam satu platform digital. Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat mengakses layanan seperti pembayaran pajak daerah, administrasi kependudukan, perizinan usaha, hingga pelaporan keluhan secara daring, kapan pun dan di mana pun. Inisiatif ini mencerminkan dorongan kuat untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas pelayanan publik melalui pemanfaatan teknologi. Namun demikian, digital governance tidak dapat dipahami semata-mata sebagai upaya efisiensi birokrasi melalui teknologi informasi. Lebih dari itu, digital governance menuntut transformasi dalam governans pemerintahan yang berorientasi pada partisipasi warga, keterbukaan informasi, serta kemampuan negara untuk membangun hubungan yang kolaboratif dan deliberatif dengan masyarakat.

Konsep digital governance merujuk pada transformasi governansi pemerintahan yang mengintegrasikan teknologi digital ke dalam seluruh aspek penyelenggaraan negara, baik dalam dimensi administratif, kelembagaan, maupun hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Prof. Miriam Lips mendefinisikan digital governance sebagai penerapan teknologi dan data digital dalam keseluruhan proses pemerintahan serta relasinya dengan aktor eksternal, termasuk warga negara, sektor swasta, masyarakat sipil, dan organisasi internasional, yang membawa implikasi luas pada aspek demokratisasi, efisiensi, serta inovasi kelembagaan. Dengan kata lain, digital governance bukan sekadar digitalisasi prosedur birokrasi, tetapi suatu pendekatan menyeluruh dalam membangun pemerintahan yang lebih terbuka, adaptif, dan kolaboratif melalui pemanfaatan teknologi digital.

Salah satu karakter utama dalam paradigma digital governance adalah pergeseran orientasi dari birokrasi yang berfokus pada prosedur ke arah governans yang berfokus pada warga negara. Hal ini menuntut adanya reposisi masyarakat, bukan lagi sebagai objek pasif dari kebijakan, melainkan sebagai subjek aktif yang terlibat dalam proses evaluasi dan perumusan kebijakan. Pemerintah yang menerapkan digital governance dengan benar akan mengintegrasikan kebutuhan dan aspirasi publik sejak tahap awal perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip citizen-centric governance, yang mengedepankan responsivitas, inklusivitas, dan pemberdayaan masyarakat dalam siklus pelayanan publik. Evaluasi kinerja pelayanan pun tidak lagi hanya berdasarkan standar internal birokrasi, tetapi juga mempertimbangkan persepsi, kepuasan, dan partisipasi warga sebagai indikator keberhasilan utama.

Dalam kerangka digital governance, partisipasi publik mengalami perluasan bentuk dan makna. Tidak lagi terbatas pada forum tatap muka atau konsultasi terbatas, partisipasi kini dapat dilakukan secara daring melalui berbagai saluran digital. OECD mengklasifikasikan bentuk partisipasi publik digital ke dalam tiga tingkatan: pertama, informing, yakni penyediaan informasi secara transparan kepada publik agar mereka dapat memahami hak, kewajiban, serta kinerja penyelenggara layanan; kedua, consulting, yaitu mekanisme penjaringan opini, saran, atau kritik dari masyarakat melalui survei, jajak pendapat, atau forum interaktif; dan ketiga, engaging, yaitu pelibatan masyarakat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, seperti dalam perumusan kebijakan, perencanaan program, atau pemantauan layanan publik.

Bentuk-bentuk partisipasi tersebut memiliki implikasi penting terhadap pola penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah dituntut untuk menyediakan infrastruktur digital yang tidak hanya andal secara teknis, tetapi juga inklusif dan ramah pengguna. Selain itu, kapasitas birokrasi perlu ditingkatkan agar mampu merespons masukan publik secara cepat, akurat, dan berkeadilan. Semakin tingginya keterlibatan masyarakat juga menuntut adanya pergeseran dalam budaya kerja birokrasi, dari yang bersifat tertutup dan hierarkis menjadi lebih terbuka dan kolaboratif. Partisipasi publik yang bermakna juga mendorong terciptanya inovasi kebijakan yang relevan dengan kebutuhan nyata warga.

Dalam konteks pengawasan, partisipasi publik turut memperkuat akuntabilitas pelayanan publik, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, instansi penyelenggara layanan perlu memiliki sistem monitoring dan evaluasi berbasis data yang dapat mendeteksi keluhan, ketidaksesuaian prosedur, maupun penurunan kualitas layanan secara real-time. Sementara itu, pengawasan eksternal dilakukan oleh lembaga-lembaga independen seperti Ombudsman Republik Indonesia yang memiliki mandat untuk menerima laporan masyarakat, melakukan investigasi atas dugaan maladministrasi, serta memberikan rekomendasi perbaikan kepada instansi terkait. Kehadiran Ombudsman menjadi elemen penting dalam menjaga integritas sistem pelayanan publik digital, sekaligus memastikan bahwa partisipasi warga benar-benar diterjemahkan dalam tindakan korektif yang nyata oleh pemerintah.

Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik memiliki peran penting dalam memastikan agar transformasi digital dalam penyelenggaraan layanan publik tidak menimbulkan bentuk-bentuk maladministrasi baru, seperti pengabaian aduan daring, keterlambatan tanggapan digital, atau bahkan diskriminasi akses berbasis digital divide. Dalam konteks digital governance, Ombudsman tidak hanya menjalankan fungsi pengawasan secara pasif melalui penanganan laporan masyarakat, tetapi juga memainkan peran teknis dan strategis yang lebih proaktif.

Secara teknis, Ombudsman dapat melakukan pemantauan langsung terhadap kinerja kanal digital pengaduan, termasuk mengawasi keterpaduan sistem SP4N-LAPOR! yang telah dikembangkan sebagai sarana utama pengelolaan pengaduan masyarakat di lingkungan instansi pemerintah. Melalui integrasi sistem dan dashboard pengawasan, Ombudsman dapat menilai sejauh mana instansi responsif dalam menindaklanjuti laporan warga, serta mengidentifikasi pola-pola sistemik dari aduan yang masuk. Hasil pemantauan ini menjadi dasar untuk melakukan intervensi korektif secara cepat, baik melalui upaya klarifikasi, pemeriksaan lapangan, maupun penerbitan tindakan korektif non-litigatif.

Sementara itu, secara strategis, Ombudsman memiliki peran untuk mendorong kebijakan tata kelola pengaduan publik yang lebih adaptif terhadap perubahan digital. Hal ini mencakup pemberian masukan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terkait penguatan regulasi, standar layanan minimum dalam pengelolaan aduan daring, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang pelayanan digital. Ombudsman juga berperan penting dalam mendorong partisipasi masyarakat agar lebih aktif memanfaatkan saluran pengaduan yang tersedia, sekaligus menjamin bahwa aduan tersebut diproses secara adil, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan.

Melalui kolaborasi yang erat antara Ombudsman, instansi teknis, dan masyarakat, SP4N-LAPOR! dapat berkembang tidak hanya sebagai alat komunikasi satu arah, tetapi menjadi bagian dari ekosistem digital governance yang deliberatif-di mana pengaduan warga diperlakukan sebagai sumber data strategis untuk perbaikan kebijakan dan peningkatan kualitas pelayanan publik secara berkelanjutan.

Dalam ekosistem digital governance, kepemimpinan digital menjadi faktor penentu keberhasilan transformasi institusional, baik bagi penyelenggara layanan publik maupun lembaga pengawas eksternal. Pemimpin yang memiliki kapasitas digital tidak hanya dituntut untuk memahami aspek teknis teknologi informasi, tetapi juga harus mampu menerjemahkan potensi digital menjadi inovasi tata kelola yang berpihak pada warga negara. Pada level instansi penyelenggara layanan, kepemimpinan digital berperan dalam membentuk visi strategis penggunaan teknologi, memfasilitasi kolaborasi lintas sektor, serta menumbuhkan budaya organisasi yang responsif terhadap masukan publik.

Implikasi dari hadirnya kepemimpinan digital di instansi penyelenggara adalah munculnya dorongan untuk membangun sistem pelayanan yang berbasis bukti dan data, seperti pemanfaatan dashboard kinerja pelayanan, analitik keluhan publik, hingga pengambilan keputusan otomatis berbasis AI dan big data. Kepemimpinan digital juga memiliki peran penting dalam menjamin bahwa sistem digital yang dibangun tidak menciptakan ketimpangan akses atau eksklusi sosial, dengan mengedepankan prinsip inklusivitas dan keberpihakan pada kelompok rentan.

Bagi lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman, kepemimpinan digital menjadi krusial dalam dua aspek. Pertama, dalam mengarahkan strategi pengawasan yang berbasis teknologi-misalnya melalui pemanfaatan real-time monitoring, analisis data pengaduan yang bersifat prediktif, dan pemetaan maladministrasi berbasis spasial. Kedua, dalam membangun kredibilitas lembaga sebagai pengawas modern yang adaptif terhadap dinamika digitalisasi birokrasi. Kepemimpinan digital di Ombudsman juga memungkinkan lembaga ini untuk mengadvokasi kebijakan publik secara lebih efektif, dengan menyampaikan rekomendasi yang berbasis bukti digital dan mudah diterima oleh para pengambil kebijakan yang juga tengah bergerak dalam kerangka digital governance.

Dengan demikian, kepemimpinan digital bukan hanya menjadi kebutuhan di tingkat operasional, tetapi juga menjadi landasan strategis dalam membangun sinergi antara pelayanan publik yang partisipatif dan pengawasan publik yang responsif.

Namun demikian, mewujudkan digital governance yang partisipatif dan deliberatif bukanlah tugas yang mudah. Pemerintah dihadapkan pada tantangan multidimensional, mulai dari kesenjangan infrastruktur digital, resistensi budaya birokrasi, hingga rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat. Di tengah transformasi ini, keberhasilan implementasi sistem pelayanan publik digital sangat bergantung pada komitmen politik, kapasitas kelembagaan, dan keberanian untuk membuka ruang partisipasi publik yang sungguh-sungguh. Tantangan terbesar bukan lagi sekadar membangun sistem digital, tetapi menjadikannya sebagai sarana demokratisasi yang memperkuat relasi negara dan warga secara setara, inklusif, dan berkelanjutan.


Patnuaji Agus Indrarto

Kepala Keasistenan Utama Pengaduan Masyarakat





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...