• ,
  • - +

Artikel

Desa Adat Garda Pencegahan COVID-19, Ombudsman Bali: Publik Harus Mendukung
• Rabu, 24/02/2021 • Dhuha Fatkhul Mubarok
 
Dhuha Fatkhul Mubarok (Asisten ORI Bali)

Salah satu ciri khas Bali dibanding dengan provinsi lain di Indonesia adalah keberadaan Desa Adat atau Desa Pakraman. Bahkan eksistensi desa Adat yang dahulu hanya ada pada ranah sosial-kultural, sekarang sudah mendapat pengakuan secara yuridis dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 14 Tahun 2019 tentang Desa Adat Bali.

Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi,  tata  krama  pergaulan  hidup  masyarakat secara  turun temurun  dalam  ikatan  tempat  suci (kahyangan  tiga atau kahyangan desa), dengan tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan  mengurus rumah tangganya sendiri.   

Secara umum, Desa Adat memiliki tiga unsur utama yaitu Parahyangan (berkaitan dengan hubungan  harmonis  antara Krama  Desa  Adat dengan Hyang  Widhi Wasa (Tuhan YME), Pamongan (berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan yang harmonis antar krama desa), dan Palemahan (berkaitan dengan hubungan antara karma adat dengan lingkungan).

Desa Adat dengan segala perangkatnya memiliki posisi yang sangat kuat di dalam kehidupan masyarakat Bali. Desa Adat sangat dihormati oleh masyarakat Bali. Peraturan yang dikeluarkan oleh desa Adat dalam bentuk awig-awig atau perarem menjadi instrumen hukum adat yang sangat mengikat karma adat.

Menurut pakar Hukum Adat Bali, Prof Wayan P. Windia, Awig-awig adalah perangkat aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat dalam suatu desa pakraman atau banjar adat. Awig-awig dibuat warga desa pakraman atau banjar adat, atas dasar musyawarah mufakat. Sedangkan Pararem adalah aturan/keputusan Paruman Desa Adat sebagai pelaksanaan Awig-Awig atau mengatur hal-hal baru dan/atau menyelesaikan perkara adat/wicara di Desa Adat.

Dengan fungsi dan kedudukannya yang begitu melembaga tersebut, Desa Adat dilirik menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan penyebaran virus COVID-19 di Bali. Akarnya yang kuat hingga ke pelosok desa dianggap mampu menjadi garda pencegahan penyebaran virus COVID-19.

Kini, seiring dengan ditetapkannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Skala Mikro hingga ke tingkat RW/RW, keberadaan Desa Adat beserta perangkatnya mendapatkan momentumnya untuk bersama-sama bergerak. Sebenarnya, sejak pertengahan tahun lalu, di Bali telah terbit Peraturan Bersama Gubernur Bali dengan Majelis Desa Adat Bali Nomor 472/660/PHA/DPMA dan 003/SKB.MDA-Prov Bali/II/2021 tentang Pembentukan Satuan Tugas Gotong Royong Penanganan COVID-19 Berbasis Desa Adat.

Yang menarik dalam Keputusan Bersama Satgas tersebut tidak hanya dalam upaya lahiriah/sekala namun juga secara batin/niskala. Secara niskala yang dimaksud adalah melalui nunas ica atau memohon pertolongan kepada Ida Batara Sasuhunan di Pura Kahyangan Tiga / Kahyangan Desa Adat sesuai dengan Dresta Desa Adat setempat untuk memohon kerahayuan, keharmonisan dan keamanan Alam, Krama,  dan Budaya Bali selama masa Pandemi COVID-19.

Sedangkan secara Sekala berfokus pada upaya pencegahan penyebaran COVID-19 dengan mendorong masyarakat untuk patuh pada penerapan protok kesehatan 5M dan membantu pemerintah dalam penerapan 3T (Tracing, Testing dan Treatment). Penegasan lainnya adalah membangun Gotong Royong sesama Krama Desa Adat/warga desa/kelurahan untuk mendata karma adat/desa yang membutuhkan kebutuhan dasar pokok, menghimpun bantuan dari masyarakat yang mampu untuk bergotong royong dan mendistribusikan kepada krama desa/warga desa/kelurahan yang terdampak COVID-19 untuk meringankan beban hidupnya dan menghimpun dana punia dari masyarakat secara sukarela untuk membantu warga yang terdampak.

Sebenarnya pada tahun lalu upaya serupa sudah dilakukan dan dampaknya cukup efektif. Di Desa Gelgel, Kabupaten Klungkung misalnya, Bendesa Adat setempat sudah membuat Perarem disertai pengenaan sanksi. Menurutnya, penerapan Perarem lebih efektif untuk dilaksanakan, mengingat masyarakat Bali sangat menjunjung dan menghormati adat. Dalam Perarem tersebut, warga dibatasi untuk tidak keluar malam di atas pukul 9 malam.

Menyikapi pembentukan Satgas Gotong Royong bebasis Desa Adat ini, Kepala Perwakilan Ombudsman Bali menyatakan hal ini tentu harus dipandang sebagai upaya pemerintah Provinsi Bali untuk bisa menjamin rasa nyaman kepada publik. "Ya agar publik tidak didera dengan kecemasan yang terus-menerus akibat lonjakan COVID-19," ucap Umar Ibnu Khatab. Umar meminta minta publik juga memahami dengan legowo terkait dengan kebijakan ini, karena bagaimana pun upaya pemerintah ini adalah untuk mereka juga.

Ia menambahkan, hal lain yang harus dibenahi adalah konsistensi penanganan COVID-19. "Kalau memang mereka ada razia, ada semacam pencegahan. Kita mohon razia itu rutin dilakukan supaya bisa menyadarkan publik. Razia tentu bukan dalam kerangka menangkapi orang, tetapi dalam kerangka menyadarkan orang. Kalau dia tidak membawa masker diingatkan, kalau dia kelewatan malam diingatkan, itu fungsi-fungsi razia," terangnya.

Menurut Umar, lewat langkah-langkah tersebut, tentunya publik akan tersadarkan. Selain itu, publik juga harus memahami batasan aturan yang dikeluarkan pemerintah sehingga bisa membantu pemerintah dalam mengurangi angka penyebaran COVID-19.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...