• ,
  • - +

Artikel

Derita Angkot, Pemerintah Provinsi Jangan Diam!
• Jum'at, 23/03/2018 • Irsan Hidayat, S.IP
 
Irsan Hidayat, Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bengkulu

OPINI, RR - Angkot Ku Sayang, Angkot Ku Malang. Ungkapan tersebut cocok menggambarkan kondisi yang tengah dialami moda transportasi umum ini. Disaat penumpang sepi (bahkan banyak angkot tidak lagi beroperasi/dijadikan kendaraan pribadi plat hitam), para pemilik angkot 'diuji' lagi dengan penerapan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak.

Masalah bermula ketika diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 2015. Dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan: "Kendaraan bermotor angkutan umum orang dan kendaraan bermotor angkutan umum barang yang dimiliki secara perorangan wajib diubah menjadi berbadan hukum Indonesia paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan". Aturan ini mewajibkan kepemilikan kendaraan bermotor angkutan umum orang atau angkot atas nama badan hukum/badan usaha.

Kebijakan 'asal-asalan' tersebut menimbulkan gelombang protes dari para pemilik angkutan umum diberbagai daerah di Indonesia. Hal yang wajar dan patut, karena saya coba menganalisa memposisikan diri sebagai pemilik angkot. Logis dan alamiah bila Saya menolak kendaraan yang saya beli dengan uang pribadi plus trayek (di Bengkulu harga trayek sekitar awal tahun 2000-an mencapai Rp. 50 Juta) sekonyong-konyong pemilik di BPKB dan STNK atas nama badan hukum yang notabene bukan milik saya. Terus terang saya tidak habis pikir dengan kebijakan semacam ini.

Bila aturan ditujukan agar Angkot bernaung dalam badan hukum/badan usaha guna memudahkan pemberian informasi, saya sepakat. Artinya Angkot wajib bergabung dalam satu badan hukum/badan usaha, namun kepemilikan tetap atas nama siapa pembelinya. Beda hal bila suatu badan hukum/badan usaha transportasi menggunakan uang perusahaannya membeli angkot, wajar serta logis kepemilikan atas nama badan hukum/badan usaha tersebut.

Kesalahan fatal mengeluarkan kebijakan tampaknya disadari oleh Menteri Dalam Negeri. Permendagri 101/2014 dicabut dinyatakan tidak berlaku dengan diterbitkannya Permendagri 12 Tahun 2016 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2016. Pasal yang mengatur kewajiban kepemilikan kendaraan bermotor angkutan umum dari pribadi menjadi badan hukum di Permendagri 12/2016 hilang atau tidak lagi diatur sama sekali.

Sekali lagi aturan ini sangat aneh. Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan kebijakan seperti main-main jadi ajang uji coba. Bila memang konsisten dengan apa yang diatur, sepantasnya meminta laporan kepada seluruh Pemerintah Provinsi atas apa yang Menteri wajibkan.

Laporan pelaksanaan aturan tersebut menjadi dasar untuk mengeluarkan kebijakan baru. Nyatanya, seperti diakui oleh salah seorang Pejabat Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi Bengkulu, tidak pernah ada evaluasi atau permintaan laporan dari Menteri Dalam Negeri atas kewajiban perubahan kepemilikan kendaraan bermotor angkutan umum dari perorangan menjadi badan hukum. Dapat dipastikan, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijakan tanpa kajian, apalagi melibatkan Pemerintah Daerah se-Indonesia. Mungkin hanya melihat kondisi di daerah Jawa.

Dicabutnya Permendagri 101/2014, gejolak di berbagai daerah reda. Lucunya di Provinsi Bengkulu justru baru dimulai. Pemerintah Provinsi Bengkulu, melalui Dinas Perhubungan mengeluarkan surat nomor 550/11/Dishub/2017 tertanggal 10 Januari 2017 perihal Perpanjangan STNK+Plat Kendaraan Angkutan Umum, yang ditujukan kepada Kepala BPKD Provinsi Bengkulu. Inti surat tersebut Dishub meminta Kepala BPKD untuk tidak mengeluarkan perpanjangan STNK+Plat kendaraan bermotor angkutan umum dan STNK+Plat kendaraan bermotor angkutan umum barang yang belum berbadan hukum dan belum memiliki surat keterangan lulus uji laik jalan. Dasar hukum yang digunakan Dishub Provinsi Bengkulu dalam surat tahun 2017 adalah Permendagri 101 Tahun 2014, yang justru telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak dikeluarkannya Permendagri 12 Tahun 2016.

Pemilik Angkot Bengkulu sampai saat ini masih resah. Ketika mereka menjalankan kewajiban sebagai Warga Negara yang baik, memberikan uang ke Negara (bayar pajak kendaraan), diberatkan dengan persyaratan yang tidak berpihak. Beberapa kali pemilik angkot melakukan aksi simpatik, dan menyampaikan laporan ke Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bengkulu. Tindak lanjut penanganan laporan di Ombudsman telah dilakukan, termasuk melakukan pertemuan dengan jajaran terkait di Pemerintah Provinsi Bengkulu, difasilitasi Asisten II. Intinya Pemerintah Provinsi menyepakati bahwa kepemilikan Angkot tidak wajib harus berbadan hukum. Pemilik angkot diberikan pilihan.

Namun Pemerintah Provinsi Bengkulu belum melakukan eksekusi kebijakan. Hal tersebut disampaikan beberapa pemilik angkot yang membayar pajak kendaraan bulan Maret 2018, masih diwajibkan untuk balik nama ke badan hukum. Pemilik Angkot mereka adalah masyarakat biasa yang mencari rezeki secara halal. Mereka adalah warga negara yang membutuhkan kehadiran Pemerintah Daerah.

Di era Reformasi, Pemerintah Daerah dituntut untuk responsif terhadap aspirasi masyarakat. Di era otonomi daerah Pemerintah Daerah tidak diharamkan untuk menyampaikan keberatan atas kebijakan Pemerintah Pusat yang justru memberatkan masyarakatnya. Kita tunggu ketegasan Pemerintah Provinsi dalam menyelesaian masalah yang dialami masyarakatnya.


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...