Data Semrawut, Penyaluran Bantuan Sosial Tidak Optimal
Setengah perjalanan tahun 2020 telah terlampaui, hampir seluruh Negara masih bergelut dengan penanganan Virus corona yang telah memakan korban jiwa lebih dari 400.000 jiwa dan juga telah menginfeksi 1.938.931 jiwa diseluruh dunia, (seperti dikutip dalam portal berita tempo.co, pada tanggal 8 Juni 2020). Upaya pengendalian persebaran virus corona diupayakan dengan berbagai cara yang hampir serupa diseluruh Negara. Anjuran bekerja dan belajar dari rumah (work from home) serta pembatasan aktivitas diluar (physical distancing) disuarakan dari tingkat global sampai dengan lokal.
Pada bulan Maret 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan dimulainya masa tanggap darurat Covid-19 secara nasional, berbagai instrumen kebijakan dalam upaya penanggulan dampak akibat pandemi ini secara meluas salah satunya dengan program Bantuan Sosial (bansos). Program bansos diluncurkan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menekan jumlah kemiskinan baru akibat banyaknya masyakarat dalam kategori rentan miskin mengalami berbagai persoalan seperti kehilangan pekerjaan, dan pendapatan berkurang karena kebijakan penanggulanan Covid-19. Kemiskinan yang terjadi akibat pandemi ini diperkuat dengan pendapat Martin A. Strosberg (2006) dalam bukunya yang berjudul Policy Forum : Allocating scarce Resources in pandemic : ethical and public policy dimensions. Ethics Journal of the American Medical Association Vol 8, yang menyatakan bahwa: cara pemerintah merespon penanganan pandemi/wabah berpontensi secara tidak proposional/seimbang terhadap masyarakat miskin dan rentan.
Selama ditetapkan status tanggap darurat bencana Covid-19, Ombudsman Republik Indonesia telah menerima berbagai pengaduan diberbagai sektor publik seperti keamanan, keuangan, pelayanan kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Berdasarkan data pengaduan yang masuk di Ombudsman sebanyak 72% didominasi oleh laporan bantuan sosial (seperti yang dikutip dari Siaran Pers Ombudsman RI, pada tanggal 13 Mei 2020).
Berbagai persoalan dalam pelaksanaan bansos banyak dikeluhkan seperti ketidaksesuaian data penerima manfaat dan waktu penyaluran yang tidak jelas. Belum terintegrasinya data antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta penggunaan data lama mengakibatkan adanya data ganda penerima bantuan sosial dan tidak tepat sasaran. Masalah selanjutnya, tidak seragamnya jadwal penyaluran bantuan sosial dan terbukanya informasi perihal bantuan sosial. Kesiapan daerah terhadap pelaksanaan program mulai dari pendataan, sinkornisasi data dan penyaluran berperan penting terhadap kesuksesan program.
Seiring dengan rencana perpanjangan bansos sampai dengan akhir tahun ini, permasalahan yang muncul dan terindentifikasi dalam penyaluran tahap awal kiranya dapat dijadikan pembelajaran dan perbaikan. Beberapa daerah di Indonesia seperti Pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung misalnya, telah memulai dengan secara terbuka mempublikasikan informasi terkait jenis bantuan yang diterima oleh masyarakat dan pengaduan terhadap bantuan tersebut secara aktif, yang hanya bermodalkan dengan melakukan pengecekan dengan penginputan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengembangan sistem integrasi data antara pemerintah pusat dan daerah  dan manajemen resiko yang digunakan oleh pemerintah menjadi strategi penting sehingga pencegahan terhadap permasalahan sistemik dalam tertangani sedini mungkin. Transparansi adalah kunci dalam mengelola tantangan dalam kondisi pandemi. (ori-jabar, kp)