Dampak Trading in Influence Pada Pelayanan Publik di KEMENAG
Kasus
salah satu Ketum Partai yang di "OTT" KPK kemarin cukup menarik. Dilihat
sekilas dugaan kasusnya memang korupsi, "suap" biasa. Sang Ketum ini anggota
DPR juga. Tetapi, jabatannya di DPR tidak ada kaitannya dengan dugaan "jasanya"
untuk bisa menempatkan seseorang menjadi pejabat di Kementerian. Sederhananya, bukan
mitra Kementrian tersebut. Ia berada di Komisi XI, sedangkan Kementrian
tersebut (Kemenag) bermitra dengan Komisi VIII. Lalu, bagaimana bisa Sang Ketum
diduga bisa "menjadikan" seseorang menjadi Pejabat di Kemenag. Tidak singkron
kan? Bukankah tak berwenang, namun ternyata diduga kuat tetap bisa atur
jabatan.
Perkara ini tentu membuat jajaran Kemenag kalang kabut. Ditambah lagi, diduga ditemukan sejumlah uang di ruang Menteri Agama. Maka, sudah pasti hal ini baik langsung maupun tidak langsung imbasnya dirasakan. Misalnya saja pelayanan publik di Kemenag itu sendiri. Pelaksanaan Ibadah Haji contohya. Kembali kepada persoalan pokok dugaan suap kepada sang Ketum diatas. Ternyata jika mau diteliti lebih jauh, diduga jabatan Ketum salah satu partai itu lah rupa-rupa awalnya. Lewat jabatan Ketum Parpol itu diduga ia bisa menentukan jabatan PNS seseorang di Kementrian Agama. Sekali lagi bukan mitranya. Bagaimana bisa. Hal ini ternyata bukan hal baru. Dibelahan dunia lain atau di UNCAC hal ini dikenal dengan namatrading in influence atau memperdagangkan pengaruh. Apa itutrading in influence. Apakah Indonesia telah ada ketentuannya mengenai jenis kejahatan seperti ini. Apakah kasus seperti ini baru kali ini saja. Rasanya tidak. Sudah beberapa kali. Kiranya hal tersebut akan dibahas lewat tulisan ringkas dibawah ini.
Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh adalah satu dari beberapa tindak pidana yang telah diatur dalam UNCAC (United Nations Convention Against Corruption)atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, namun belum diatur sebagai delik di Indonesia. Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional yang diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada, halaman 251 menyatakan: hal lainnya yang juga belum diatur yaitu masalah kriminalisasi disektor swasta, penyuapan terhadap pejabat publik asing serta perintangan terhadap pengadilan (obstruction of justice). Padahal Indonesia telah ikut menandatangani draft Konvensi PBB tersebut dan meratifikasi Konvensi tersebut ke dalam Undang Undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United NationsConvention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) pada 19 September 2006. Lalu apa itutrading in influence.Trading in influence ini diatur dalam Pasal 18 Konvensi PBB tersebut. Menurut Andi Hamzah masih dalam buku yang sama rumusannya mirip dengan rumusan penyuapan, tetapi lebih luas. Rumusan pasal 18 tersebut sebagai berikut: "perbuatan dilakukan dengan sengaja"
a. Menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik atau orang lain secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya (tidak layak), agar pejabat publik itu atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, dengan maksud untuk memperoleh dari (penguasa) otoritas administrasi atau publik dari Negara peserta, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut (penganjur) asli tindakan tersebut atau untuk orang lain.
b. Permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain agar pejabat publik itu atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan dimilkinya, dengan maksud memperoleh dari (penguasa) otoritas adminstrasi atau otoritas publik dari Negara peserta suatu keuntungan yang tidak semestinya.
Lebih lanjut, sebagaimana mengutip dari Febri Diansyah juru bicara KPK dalam tulisannya di Kompas.com dengan judul Berdagang Pengaruh Politik yang terbit pada 13 Februari 2013 yang juga mengutip dari Willeke Slingerland,menyatakan bahwatrading in influence telah dikenal oleh negara-negara di Eropa. Bahkan, yang menarik, dari publikasiCouncil of Europe (COE) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2000, Trading in Influence and the Illegal Financing of Political Parties (kriminalisasi memperdagangkan pengaruh dihubungkan dengan pendanaan politik secara tidak sah) dikenal dengan jenis korupsi kerelasian trilateral dengan pelaku tidak hanya pejabat negara, tetapi juga warga negara biasa melalui pemberian hadiah atau janji. Sederhananya, seseorang karena "pengaruhnya" walaupun tidak ada kewenangan dengan institusi atau lembaga tersebut tetapi karena sekali lagi pengaruhnya bisa berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya atau orang lain. Tentu pengaruhnya ini "dibayar" dengan uang atau janji atau apapun yang menguntungkan. Apakah ini baru kali ini saja di Indonesia. Rasanya tidak. Sebelumnya, mantan Presiden salah satu Partai di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Ia di Komisi I yang tidak ada urusannya dengan jual beli daging impor. Namun, lagi-lagi "pengaruhnya" sebagai Presiden Partai bisa memerintahkan anggota Partainya yang juga Menteri Perdagangan pada waktu itu. Ini menunjukkan "trading in influence" bukan hal yang baru.
Konklusi
Dalam kasus sang Ketum tersebut bisa dilakukan tindakan oleh KPK karena ia anggota DPR. Tentu sulit bagi KPK apabila Sang Ketum hanya punya jabatan di Partainya saja. Tidak menjadi pejabat atau penyelenggara negara lainnya. Walapun, kita punya Undang-Undang No 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Namun, masalahnya apakah UU ini bisa digunakan KPK. Belum tentu bisa. Solusinya adalah revisi UU Tindak Pidana Korupsi yang sudah ada dengan wajib menguatkan KPK serta memasukkan perdagangan pengaruh sebagai salah satu delik yang baru.
Untuk jajaran Kemenag tidak perlu terlalu bersedih. Harusmove on. Karena pelayanan publik seperti pelaksanaan ibadah haji harus tetap berjalan. Dengan kualitas yang tetap baik. Tentunya, diperlukan perbaikan disana sini agar kedepan hal serupa tidak kembali terjadi lagi. Tidak hanya di Kemenag, juga instansi lainnya juga. (ORI-Lampung)