Cegah Maladministrasi dalam penyelenggaraan program PTSL

Negara hadir dan tidak absen, merupakan komitmen dan kewajiban pemerintah dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang menjadi sorotan yakni pelaksanaan program proyek operasi nasional agraria (PRONA) atau dengan sebutan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Berbagai permasalahan yang muncul di lapangan. Tidak hanya persoalan tidak kunjung selesai sertifikat tanah bagi pemohon, namun justru disibukkan dengan proses hukum pidana karena terjadinya pungutan liar yang dilakukan oleh kepala desa/Lurah dan perangkat.
Tidak dapat diabaikan begitu saja atas peristiwa tindak pidana tersebut, sehingga diperlukan komitmen bersama antara masyarakat dan penegak hukum serta penyelenggara pelayanan publik dalam mencegah dan memberantas pungli dalam pelaksaan program PTSL.
Proses hukum pidana tidak dapat dihentikan begitu saja, apabila sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP hingga hakim memutus di pengadilan. Meskipun para tersangka beralasan bahwa tidak ada paksaan, sudah sesuai aturan yang berlaku, biaya yang dibebankan kepada pemohon sertifikat nominalnya tidak besar, bahkan biaya yang dibebankan sudah dikembalikan kepada pemohon. Alasan para tersangka ini, tidak menjadikan kasus tersebut dihentikan prosesnya di kepolisian ataupun di kejaksaan. Ujungnya, hakim yang menilai dan memutus di Pengadilan untuk menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tersebut melakukan tindak pidana atau tidak.
Aturan terkait pelaksanaan program PTSL, seyogianya sudah jelas. Bahkan telah terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang meliputi Menteri Agraria dan Tata ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor: 25/SKB/V/2017, Nomor: 590-3167A Tahun 2017, Nomor: 34 Tahun 2017 tanggal 22 Mei 2017 tentang pembiayaan persiapan pendaftaran tanah sistematis. SKB 3 Menteri sudah ditentukan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat peserta PTSL. Untuk wilayah Kategori I sebesar Rp. 450.000, Kategori II sebesar Rp. 350.000, Kategori III Rp. 250.000, Kategori IV Rp. 200.000, Kategori V Jawa dan Bali biaya yang ditanggung masyarakat sebesar Rp 150.000. Rinciannya untuk pembiayaan penggandaan dokumen, pengangkutan dan pemasangan patok, transportasi petugas kelurahan/desa dari kantor kelurahan/desa ke kantor pertanahan dalam perbaikan dokumen yang diperlukan.
Belum lama ini, di Jawa Tengah telah dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Aparat Penegak Hukum dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah terkait penanganan pengaduan masyarakat atas indikasi korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan tertanggal 19 Juli 2018. Maksud penandatanganan perjanjian kerja sama ini, sebagai tindak lanjut amanat UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang memberikan kewenangan kepada inspektorat dengan fungsi APIP untuk memeriksa terjadi penyalahgunaan wewenang atau tidak.
Apabila terdapat aduan masyarakat tentang dugaan korupsi oleh pemerintahan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh APIP. Demikian pula, jika seorang Kepala Desa/Lurah melakukan perbuatan pidana dalam menyelenggarakan pemerintahan, maka terlebih dahulu diperiksa oleh Inspektorat (APIP) sebelum ditangani oleh Aparat Penegak Hukum.
Dalam mewujudkan pelayanan publik dan mencegah maladministrasi pada pelaksaan PTSL, pertama, perlu didorong kepada Kantor Pertanahan di Kabupaten/kota dan Pemda setempat guna melakukan sosialisasi atas SKB 3 (tiga) menteri terkait pembiayaan persiapan pendaftaran tanah sistematis, kedua Kantor Pertanahan dan Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pendampingan dalam memberikan pemahaman peraturan perundang-undangan terkait PTSL di Desa/Kelurahan, ketiga, kepala Desa/Lurah untuk melakukan berkonsultasi dengan Bagian Hukum di Pemda ataupun kepada Kejaksaan Negeri setempat. Sehingga, dengan dicegahnya maladministrasi maka dicegah pula terjadinya perbuatan pidana dalam penyelenggaraan PTSL. (SH)