Calon Sarjana Jalur Corona
Setidaknya judul di atas menjadi viral beberapa hari terakhir menyusul bergulirnya petisi menghapus skripsi dan biaya kuliah sebagai dampak Virus Corona. Tidak tanggung-tanggung, puluhan ribu mahasiswa menandatangani petisi tersebut agar bisa didengar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Bagi mahasiswa yang mendukung, mereka berdalih bahwa Corona sudah berimbas pada tatanan akademik di perguruan tinggi. Diantaranya sistem perkuliahan yang biasa tatap muka sekarang beralih semuanya ke sistem daring atau online. Tugas diskusi yang biasanya memerlukan suasana psikologi yang berbeda dinilai tidak dirasakan lagi saat proses melalui aplikasi. Bahkan ada mahasiswa yang merasa kuliah daring tidak menarik sama sekali. Apalagi mahasiswa semester akhir yang harus melakukan peneltian lapangan. Kondisi ini dinilai tak menguntungkan.
Dalam hal biaya, sebagian mahasiswa pendukung berpendapat bahwa kuliah online menjadikan mereka harus membeli kuota internet yang tak sedikit, bahkan untuk sekali pertemuan perkuliahan ada yang mengatakan bisa menghabiskan paket kuota 3 gb hingga 5 gb (bagi tidak punya wifi). Persoalannya, mahasiswa merasa ada penambahan pengeluaran biaya kuliah, tetapi penarikan atau pembayaran SPP atau UKT tidak ada perubahan dalam jumlahnya. Ditambah lagi tidak semua mahasiswa memiliki laptop dan hp yang mendukung kondisi ini.
Selain itu, penerbitan Surat Edaran Nomor 36962/MK.A/HK/2020 tentang pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah untuk mencegah penyebaran Covid-19 dinilai tak komprehensif sebab hanya memuat instrumen pencegahan, tetapi tidak peka atas dampak lain yang ditimbulkan yakni biaya dan berlarutnya mekanisme penyelesaian tugas akhir (skripsi).
Menanggapi hal ini kampus-kampus di Indonesia pun menerapkan kebijakan yang beragam. Ada yang menerapkan sistem kuliah, seminar proposal, dan sidang skripsi melaluionline, memotong biaya (diskon pembiayan UKT), memberikan kuota gratis kepada mahasiswa, atau hanya memberi sekedar tugas kuliah yang bisa dikerjakan di rumah (tanpa berbasis aplikasi).
Kelonggaran ini memang sudah dihimbau oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dimana perguruan tinggi diberikan otoritas dengan mengambil langkah-langkah yang tepat dan paling baik atau di sesuaikan dengan kondisi masing-masing. Meskipun anjuran lainnya tetap memanfaatkan sistem pembelajaran jarak jauh atau menghindari tatap muka langsung.
Salah satu kampus yang menjadi viral atas kebijakan ditengah wabah Virus Corona adalah Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Bagaimana tidak, kampus ini berani menghapus kewajiban skripsi dan menggantinya dengan kewajiban membuat artikel ilmiah. Menurut rektor, kebijakan ini sebagai respon atas keluhan dari mahasiswanya ditengah pandemi Covid-19 yang makin merajalela. Rektor berpendapat banyak mahasiswa yang tak bisa turun lapangan melakukan penelitian, mencari data dan menyusun instrumen, padahal mereka sudah punya target untuk kelulusan. Maka dari itu pihak kampus berinisiatif membuat kebijakan yang dinilai baik untuk merespon suasana pandemi seperti saat ini.
Membangun Kampus yang Siap Akan Perubahan
Suasasa Covid-19 saat ini akhirnya menuntut kampus, termasuk di dalamnya adalah dosen dan mahasiswa untuk siap berubah. Adanya problem kuliah daring/online yang sebelumnya tidak menjadi "kebiasaan" di dunia kampus harus menjadi pilihan dan menu utama. Singkatnya, kampus secara cepat terkena badai disruption. Harus diakui secara jujur bahwa tidak semua dosen dan mahasiswa siap akan hal itu.
Menurut Hussey (2000: 6) dalam manajemen perubahan setidaknya ada enam faktor yang jadi pendorong kebutuhan akan perubahan, yakni 1. perubahan teknologi yang terus meningkat, 2. persaingan yang semakin inten dan mengglobal, 3.banyaknya tuntutan pelanggan, 4. demografis yang akan selalu berubah, 5.meluasnya privatisasi bisnis masyarakat, dan 6. tekanan pasar atau publik atas pemegang saham dalam makna ini adalah tekanan kepada pimpinan kampus.
Keenam faktor inilah yang sebagian besar dilupakan oleh dunia kampus saat ini. Akhirnya saat ada situasi baru yang tak disangka-sangka datangnya (seperti Corona) dan berpengaruh besar pada sistem yang ada maka kecenderungannya menjadi tidak siap, galau ditengah jalan, bahkan ada yang masih terpaku dan jalan ditempat
Untuk itu, pihak kampus harus segera sadar. Menyusun langkah taktis dan strategis adalah jalan awal untuk merespon atas segala problem yang terjadi saat ini. Kampus harus segera melek atas tantangan dan gelombang yang dihadapi. Membuka ruang suara publik (khususnya mahasiswa dan dosen) untuk mendapatkan sebanyak-banyak masukan dan saran adalah salah satu jalan terbaik dengan tetap melakukan skema perbaikan dan pengawasan semua proses pelaksanaan yang berjalan, serta evaluasi yang integral atas sistem belajar dan mengajar kampus yang saat ini menjadi sorotan.
Bagi mahasiswa sendiri, penting untuk tidak hanya melihat dari satu sudut pandang. Tidak perlu pesimis dan terlalu berprasangka negatif apalagi dengan kalimat yang tak positif yakni "Calon Sarjana Jalur Corona". Pembuktian sesungguhnya adalah saat para mahasiswa selesai dari dunia kampus menuju dunia nyata. Menjadi pemimpin masa depan, sukses membangun lingkungan dan negara, sukses membangun perubahan yang lebih baik.
Tak masalah lulus sarjana jalur corona tetapi sukses dan banyak membawa manfaat bagi sesama. Itu adalah inti dari kesuksesan yang sebenarnya.