• ,
  • - +

Artikel

Blokir KK: Penertiban Tanpa Standar yang Perlu Dibenahi
• Senin, 08/02/2021 • Dhuha Fatkhul Mubarok
 
Ilustrasi

Pada pertengahan Mei 2020, Ombudsman RI Perwakilan Bali menerima kedatangan seorang Pelapor yang sudah tidak asing lagi bagi Kantor Ombudsman Perwakilan Bali. Di kantor, kami menyebutnya "Pelapor Legend". Selain karena sudah sering Pelapor ini melapor ke Ombudsman, bahkan tercatat sebagai "assabiqunal awalun" atau generasi awal Pelapor di Ombudsman Bali, Pelapor ini terkenal sebagai Pelapor yang memiliki Laporan yang cukup kompleks. Meskipun demikian, hal ini tidak menurunkan semangat kami dalam melayani laporan yang disampaikan. 

Setelah bertemu dengan kami, Pelapor mulai bercerita dan mengeluhkan bahwa ia tidak mendapatkan layanan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung saat mengajukan permohonan pemutakhiran data Kartu Keluarga. Alasannya, dirinya sedang dalam proses pengurusan pindah alamat. "Saya sama sekali tidak pernah mengajukan pindah alamat. Alamat saya tetap sesuai KK dan KTP," katanya. Walau diakuinya, dia tidak tinggal di alamat tersebut.

Rupanya, setelah kami telusuri, Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung telah memblokir Kartu Keluarga milik Pelapor setelah petugas melakukan verifikasi lapangan menyusul adanya sengketa atas tanah antara Pelapor dengan salah seorang keluarganya. Pelapor pun tidak terima bahwa KK-nya diblokir karena akan menyulitkannya jika akan mengurus sesuatu yang mensyaratkan adanya KK.

Adapun kami menemukan bahwa cerita pemblokiran KK juga terjadi di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipi Kota Denpasar. Latar belakangnya pun sama. Ada sengketa kepemilikan tanah antarkeluarga. Hal ini pun membuat salah seorang pihak kemudian memohon ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memblokir KK pihak lain. Alasannya karena yang bersangkutan tidak tinggal di alamat sesuai yang tertera di dalam KK maupun KTP-nya. Akibatnya, Pelapor datang ke Ombudsman, lantaran tidak terima atas pemblokiran KK yang dimohonkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Tentunya Kartu Keluarga merupakan dokumen penting yang harus dimiliki setiap keluarga. Jika tidak, banyak proses pengurusan berkas dan kebutuhan lainnya yang tak bisa berjalan. Oleh karena itu, tak ada alasan bagi setiap keluarga untuk tidak mengurus berkas ini dan memberikan data yang valid jika ada perubahan. Bagi keluarga baru atau pasangan yang baru menikah, kartu yang berbentuk surat ini merupakan berkas penting yang pertama kali harus dibuat. Tanpa adanya berkas ini, segala proses administrasi dan berbagai kebutuhan legal lainnya yang menyangkut keluarga tak akan bisa berjalan.

Setiap keluarga sejatinya wajib memiliki Kartu Keluarga (KK). Berkas ini merupakan kartu identitas keluarga yang memuat data tentang susunan, hubungan, dan jumlah anggota dalam sebuah keluarga. Setiap keluarga harus memiliki KK karena berkas ini selalu menjadi syarat dalam pembuatan berbagai dokumen penting. Contohnya seperti Kartu Tanda Penduduk dan Akta Kelahiran bagi anak dalam sebuah keluarga.

Kartu keluarga dicetak rangkap tiga yang masing-masing dipegang oleh Kepala Keluarga, Ketua RT dan Kantor Kelurahan. Kartu Keluarga (KK) adalah Dokumen milik Pemda Provinsi setempat dan karena itu tidak boleh mencoret, mengubah, mengganti, menambah isi data yang tercantum dalam Kartu Keluarga. Setiap terjadi perubahan karena Mutasi Data dan Mutasi Biodata, wajib dilaporkan kepada Lurah dan akan diterbitkan Kartu Keluarga (KK) yang baru. Pendatang baru yang belum mendaftarkan diri atau belum berstatus penduduk setempat, nama dan identitasnya tidak boleh dicantumkan dalan Kartu Keluarga.

Jika dicermati, ada persamaan antara dua kasus di atas, yaitu adanya permohonan blokir Kartu Keluarga oleh pihak yang bukan pemegang atau pemilik Kartu Keluarga. Latar belakangnya juga sama, yaitu konflik para pihak. Lalu pertanyaannya, bolehkah pemblokiran Kartu Keluarga dimohonkan oleh pihak atau orang lain, yang bahkan tanpa sepengetahuan pemilik atau pemegang Kartu Keluarga? Juga, apa dasar hukum dan bagaimana standar pemblokiran Kartu Keluarga?

Permohonan KK oleh pihak di luar pemilik atau pemegang jelas berbahaya. Karena selain orang lain tidak memiliki hak atas Kartu Keluarga orang lain, juga bisa berdampak luas pada hak-hak administratif pemilik Kartu Keluarga. Jika sengketa privat kemudian berujung pada permohonan KK dan ditindaklanjuti oleh Dinas Dukcapil, maka bisa jadi preseden buruk. Blokir KK bisa menjadi alat pemukul untuk "mengalahkan" pihak lain yang sedang bersengkata.

Problem kedua adalah masalah dasar hukum dan standar pemblokiran oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dari hasil penulusuran dokumen perundang-perundangan yang terkait, Ombudsman tidak menemukan adanya pasal yang memuat mengenai tindakan pemblokiran ini. Pun, saat melakukan klarifikasi langsung ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil juga diakui tidak ada aturan apa dan bagaimana pemblokiran Kartu Keluarga. Artinya, jangankan standar dan mekanisme pemblokiran, aturan dan terminologinya pun tidak bisa disebutkan.

Pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya berpedoman pada Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2006 menyatakan "Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dokumen dan data kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain."

Terminologi "penertiban" itulah yang kemudian menjadi dasar pemblokiran. Namun tidak ada penjelasan lebih rinci apa yang dimaksud dengan penertiban, seperti apa bentuknya, bagaimana prosedur dan mekanismenya, dan apa syaratnya. Tentu saja ini mengakibatkan terjadinya maladministrasi berupa tindakan tanpa prosedur dan sewenang-wenang.

Harus diakui semangat yang terkandung dalam penertiban ini tentu positif dalam kerangka pendaftaran dan pencatatan penduduk. Faktanya memang banyak masyarakat yang tinggal di satu wilayah namun tidak memiliki KK atau KTP di wilayah tersebut. Hal itu merupakan konsekuensi dari dinamika masyarakat untuk kepentingan ekonomi (bekerja) atau studi (belajar) di tempat lain yang mengharuskan dia untuk indekos atau kontrak rumah agar lebih dekat.

Di sisi lain, budaya tertib kependudukan di masyarakat juga masih lemah. Jika ada keperluan baru bergegas lapor ke Dinas Dukcapil, baik untuk membuat KK baru, perubahan atau pemutahiran data kependudukan.

Ke depan, agar pemblokiran KK ini tidak terkesan sebagai sanksi atau senjata pemukul lawan sengketa tanpa ada prosedur yang jelas, maka perlu dibuatkan standar prosedur yang jelas. Harus diatur siapa yang berhak memohon, apa syaratnya, bagaimana prosedurnya dan lain-lain. Di samping itu, juga perlu adanya edukasi kepada masyarakat untuk tertib kependudukan yang harus dijalankan terus menerus.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...