Benturan Kepentingan sebagai Bentuk Maladministrasi
Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan itu sendiri ditentukan oleh kompetensi penyelenggaranya. Ia harus bertindak profesional, tidak diskriminasi, penuh integritas dan bebas dari KKN. Setidaknya, beberapa prinsip tadi yang harus dipegang oleh pemberi layanan.
Ada kalanya, penyelenggara pelayanan publik dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berpotensi adanya penyalahgunaan wewenang. Menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi. Sehingga dikhawatirkan, segala keputusan dan tindakan yang dilakukannya berpotensi menguntungkan pribadi atau orang lain, melawan hukum dan etika. Dalam hal ini, ada benturan kepentingan yang menguji integritas seseorang.
Dalam pelayanan publik, benturan atau konflik kepentingan merupakan maladministrasi. Menimbulkan kerugian bagi orang lain, bahkan kerugian negara. Beberapa situasi atau kondisi dimana seseorang yang memiliki kewenangan atau berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, diantaranya; pertama, memiliki hubungan keluarga dengan orang yang dilayani atau diawasinya (misalnya seorang Auditor). Jika bertindak profesional dan memberikan pelayanan/pengawasan sesuai prosedur, maka tidak akan menjadi masalah. Namun sebaiknya hal itu dihindari karena akan berpotensi melanggar etika. Akibatnya, pengawasan yang dilakukan tidak optimal.
Kedua, rangkap jabatan. Temuan Ombudsman RI menunjukkan ada 397 komisaris BUMN merangkap jabatan dan 197 komisaris anak perusahaan, terindikasi rangkap jabatan dan penghasilan. Selain itu, ada dugaan tidak kompeten, karena tidak memiliki keahlian dengan jabatan yang didudukinya.
Di daerah, banyak juga kasus rangkap jabatan dan penghasilan. Misalnya, ASN merangkap jabatan sebagai Dewan Pengawas BUMD/BLUD. Akibatnya, pengawasan yang dilakukan pun bisa berpotensi tidak optimal karena hubungan kedekatan emosional dengan yang diawasi. Dewan Pengawas pun, banyak yang tidak sesuai dengan kompentensinya. Tidak melakukan tugasnya untuk mengawasi jalannya perusahaan. Sehingga hanya menerima gaji saja tanpa melakukan apa-apa. Padahal dalam konteks pelayanan publik, Dewan Pengawas memastikan masyarakat terlayani dengan baik. Keluhan masyarakat direspon secara cepat
Ketiga, menggunakan aset negara untuk kepentingan pribadi. Misalnya, menggunakan fasilitas dinas di luar tugasnya. Mobil dinas digunakan untuk keperluan pernikahan. Paling ramai biasanya saat menjelang lebaran dimana mobil dinas dibawa untuk mudik. Ada silang pendapat mengenai hal ini. Ada yang membolehkan untuk memakai, ada juga yang tidak membolehkan memakai mobil dinas untuk mudik karena hal itu adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan kedinasan. Penggunaan fasilitas kantor di luar kepentingan kedinasan adalah maladministrasi.
Keempat, membocorkan informasi/rahasia jabatan. Misalnya, ada rencana petugas gabungan dari kepolisian dan pemerintah daerah untuk melakukan penggrebekan Pertambangan Tanpa Izin (Peti). Namun belum sampai di lokasi, pelaku penambang Peti sudah menghilang, sehingga petugas tidak menemukan apa-apa. Akibat adanya benturan kepentingan, penegakan hukum yang dilakukan tidak berjalan. Dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, melarang setiap PNS membocorkan rahasia negara/jabatan. Tindakan ini merupakan salah satu bentuk maladministrasi. Pelakunya bisa dikenakan sanksi pelanggaran disiplin.
Kelima, memberikan akses khusus kepada orang lain tanpa prosedur. Mentang-mentang yang datang adalah keluarganya, maka beberapa persyaratan tidak perlu dilengkapi bahkan bisa lebih cepat selesainya dari pada orang lain.
Keenam, menyalahgunakan kewenangan. Menggunakan jabatannya untuk tujuan lain, yang bertentangan dengan perundangan-undangan. Misalnya, karena ia seorang aparat, lalu menggunakan jabatannya untuk memeras orang lain.
Di masa pandemi ini, banyak kepala daerah incumbent yang memanfaatkan jabatannya untuk melakukan kampanye politik. Bantuan pemerintah dilabeli dengan foto kepala daerah yang mencalon lagi dalam Pemilu. Macam-macam bentuknya, mulai dari handsanitizer, masker, bantuan sembako, hingga tempat cuci tangan yang ditempeli incumbent. Kepala daerah juga terjun langsung membagikan bantuan kepada masyarakat, sehingga sangat sulit membedakan, apakah ini bantuan pribadi dari kepala daerah atau bantuan dari pemerintah.
Benturan kepentingan merupakan maladministrasi yang berdampak pada kerugian bagi masyarakat. Masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan keadilan dalam pelayanan. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan, maka penyelenggara pelayanan publik perlu melakukan upaya pencegahannya.
Penyenggara pelayanan perlu membuat peraturan internal mengenai kode etik yang di dalamnya juga mengatur mengenai etika atau perilaku yang berpotensi konflik kepentingan. Selain kode etik, perlu juga menetapkan aturan mengenai penanganan benturan kepentingan. Aturan internal ini sebagai dasar hukum bagi organisasi untuk melakukan pencegahan dan penanganan.
Penyelenggara pelayanan juga harus melakukan identifikasi potensi terjadinya benturan kepentingan di lingkungan kerja. Setelah dilakukan identifikasi, selanjutnya perlu dirumuskan bagaimana bentuk penanganannya agar benturan kepentingan dapat dihindarkan. Sebagai contoh, di lingkungan peradilan, hakim dilarang untuk menangani perkara yang ada hubungan kekerabatan baik dengan pihak yang berperkara, pengacara atau penuntut umum. Hakim juga dilarangan mengadili perkara yang ada hubungan pertemanan akrab dengan para pihak yang berperkara.
Di Ombudsman RI, Insan Ombudsman dilarang menangani laporan atau pengaduan masyarakat yang memiliki hubungan keluarga. Insan Ombudsman juga tidak boleh ikut dalam pengambilan keputusan, jika sekiranya pengaduan itu terdapat potensi benturan kepentingan. Hal ini bertujuan tindakan atau keputusan yang dikeluarkan tetap profesional, imparsial serta mencerminkan rasa keadilan.
Selain melakukan identifikasi dan penanganannya, di lingkungan internal, perlu juga dilakukan sosialisasi mengenai benturan kepentingan. Hal ini dilakukan agar semua pejabat, mulai atas hingga bawah, ikut terlibat langsung dalam mencegah terjadinya benturan kepentingan. Mengetahui serta menerapkannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Evaluasi tentu penting dilakukan secara berkala untuk menyesuaikan dengan perkembangan. Bisa jadi ke depannya, banyak model-model benturan kepentingan yang tidak tertampung dalam aturan internal. Maka dari itu, evaluasi terhadap penanganan benturan kepentingan harus dijalankan.
Tentunya, segala upaya-upaya tadi, juga harus diikuti dengan memaksimalkan peran dari pengawas internal pemerintah. Inspektorat harus bisa mengambil peran strategis, melakukan pengawasan tanpa pandang bulu.