Bantuan Pemerintah di Masa Covid-19
Musibah pandemi Covid-19 tampaknya belum memberikan sinyal membaik. Pemberitaan dihiasi dengan meningkatnya jumlah pasien positif namun kita juga patut optimis dengan peningkatan pasien yang sembuh. Dalam fenomena sosial, pandemi Covid-19 tidak hanya terfokus pada peningkatan kasus positif yang disebabkan dari berbagai reaksi masyarakat yang kurang peduli dengan wabah ini, namun juga fenomena lain seperti peningkatan angka kemiskinan, mobilitas masyarakat secara dini, serta kerawanan keamanan.
Berbagai lembaga riset memproyeksikan tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya 1% dan jumlah orang miskin melonjak 12,4 persen atau 8,45 juta orang. Pada 24 April 2020, Kementerian Perhubungan mengeluarkan Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441H, namun tak berselang lama Humas Polda Metro mencatat 1.181 mobil pribadi berusaha meninggalkan DKI Jakarta. Kerawanan keamanan juga terjadi di tengah pandemi, baru-baru ini Polres Metro Jakarta Utara menindak tegas pelaku pencurian yang merupakan mantan napi yang bebas asimilasi corona. Pelaku terpaksa ditembak mati karena melawan saat akan ditangkap polisi.
Paket Kebijakan Sosial Ekonomi dalam Penanggulangan Covid-19
Kebijakan sosial ekonomi seperti pemberian sembako, keringanan tagihan listrik serta restrukturisasi kredit merupakan respon positif pemerintah. Masalah klasik yang sering terjadi di lapangan dalam skema bantuan ialah ketidakakuratan data penerima bantuan dan kejelasan informasi terutama saluran pengaduan.
Program bantuan pemerintah baik pada saat kondisi regular maupun saat bencana tidak terlepas dari pelayanan publik. Pemerintah sebagai aktor pemberi layanan wajib mematuhi asas-asas pelayanan publik yang di antaranya berupa kejelasan informasi dan transparansi. Hal ini diperlukan agar tidak menimbulkan masalah sosial baru di kalangan masyarakat. Intensifikasi dan ekstensifikasi saluran komunikasi merupakan skenario wajib yang harus ditempuh
Banyak pertanyaan di masyarakat terkait bagaimana prosedur penerimaan bantuan, apa saja item bantuan, kapan diberikan serta kemana harus mengadukan jika terjadi ketidaksesuaian atau kesulitan dalam menerima bantuan. Sebagai contoh, masyarakat perlu diberi informasi terkait bantuan keringan kredit atau cicilan. Tidak semua golongan ekonomi menengah ke bawah yang memiliki cicilan menerima bantuan tetapi kelonggaran cicilan yang dimaksud lebih ditujukan pada debitur sektor informal, usaha mikro, pekerja berpenghasilan harian yang memiliki kewajiban pembayaran kredit untuk menjalankan usaha produktif mereka, sehingga apabila kewajiban cicilan tersebut tidak sebagai sarana dalam menjalankan atau menghasilkan produksi maka bantuan cicilan tersebut tidak dapat diberikan.
Berbagai saluran komunikasi dan pengaduan telah dibuat dalam menjaga kelancaran pelaksanaan kebijakan tersebut diantaranya Kementerian Sosial membuka layanan masyarakat untuk bantuan sosial melalui Whatsapp dinomor 08111022210. Otoritas Jasa Keuangan membuka kanal keluhan terkait restrukturisasi kredit melalui WhatsApp dinomor 081157157157 serta PLN yang memiliki program keringanan pembayaran listrik golongan 450 VA dan 900 VA (subsidi) juga menyediakan hotline pengaduan di nomor 123.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sebagai lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik juga akan turut serta ambil bagian dalam proses pengawasan pelayanan pemberian bantuan pemerintah. Bentuk nyata pengawasan yang dilakukan ORI ialah dengan membuka posko dari pengaduan bagi masyarakat terdampak bencana Covid-19. Pembentukan posko ini diharapkan mampu mengefektifkan pemberian bantuan pemerintah agar lebih tepat sasaran dan merata di seluruh Indonesia.
Pemberdayaan Street Level Bureaucracy (aparat birokrasi yang melakukan akses langsung dengan publik)
Data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan koordinasi menjadi kata kunci yang harus dilaksanakan secara efektif dalam situasi pandemi yang membutuhkan keputusan cepat. DTKS merupakan data acuan dalam pemberian bantuan yang berisi profil tingkat kesejahteraan individu dan keluarga. Problematika yang muncul yakni ketidakakuratan data, ada masyarakat yang berhak menerima bantuan namun tidak mendapatkan ataupun sebaliknya. Koordinasi antar instansi yang lamban dalam hal sinkronisasi data dari bidang sosial dan administrasi kependudukan di tingkat pusat dan daerah juga menambah tingkat kegagalan pelaksanaan kebijakan bantuan.
Kepala desa/ Lurah maupun Ketua RT (Rukun Tetangga) merupakan aktor penting yang perlu diberdayakan untuk menjawab problem DTKS dan koordinasi. Pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum pembersihan DTKS (cleansing data) yang dapat dilakukan oleh Kepala desa dan Ketua RT dikarenakan memahami profil masyarakatnya secara dekat. Kepala desa dan Ketua RT juga dapat melakukan koordinasi dengan sistem kelompok kepada Pemerintah Daerah setempat yang lebih terorganisir karena tiap individu tidak langsung mengakses sendiri-sendiri kanal informasi dan pengaduan baik secara online (menghubungi jaringan digital yang disediakan pemerintah Pusat dan daerah) maupun offline (datang langsung ke dinas sosial atau disdukcapil) yang mengakibatkankan antrian panjang penyelesaian.
Penilaian Mandiri oleh Penerima Bantuan
Dalam hal meredakan polemik di masyarakat terkait bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan memudahkan masyarakat untuk menilai dirinya apakah bisa mendapatkan bantuan atau tidak maka terdapat beberapa hal yang patut diketahui.
Pertama, mengetahui apakah dirinya termasuk dalam penerima program PKH atau tidak. Jika penerima PKH otomatis masuk data DTKS dan jika tidak maka masuk dalam klasifikasi non-DTKS. Hal ini penting diketahui karena kedua jenis data tersebut menerima bantuan yang berbeda. Kedua, memahami jenis bantuan pemerintah. Pemerintah pusat dan daerah memiliki program bantuan yang berbeda dan tidak diperkenankan menerima semuanya. Sebagai contoh, Pemerintah Pusat meningkatkan jumlah penerima manfaat PKH bagi yang terdata di DTKS dan bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat yang tidak terdata di DTKS di samping bantuan lainnya seperti bantuan sembako oleh pemerintah daerah yang bersumber dari APBD serta BLT yang bersumber dari dana desa. Ketiga, mampu menjelaskan dirinya terdampak langsung atau tidak langsung akibat Covid-19 dan mengalami kesulitan untuk membayar cicilan alat produksi (motor, mobil, ataupun rumah) yang digunakan untuk usaha. Hal ini merupakan persyaratan untuk bantuan restrukturisasi kredit. Keempat, memahami isi bantuan maupun keberatan terkait bantuan. Masyarakat harus mengetahui besaran, jenis dan jangka waktu bantuan serta nomor kontak yang dapat dihubungi dalam melakukan pengaduan apabila bantuan yang diberikan tidak sesuai harapan.
Respon cepat pemerintah terkait kelemahan akurasi data serta kordinasi sangat diharapkan dalam memperbaiki implementasi kebijakan pemberian bantuan saat ini, mengingat kondisi pandemi yang masih terus berlangsung. Masyarakat juga diharapkan memiliki kesadaran dan pengetahuan informasi yang komperhensif terhadap kebijakan bantuan pemerintah agar tidak memicu distrust secara vertikal (pemerintah) maupun horizontal (antar masyarakat), terlebih lagi pengetahuan protokol pencegahan Covid-19 dalam pembagian bantuan pemerintah.