Bantuan Langsung Tunai dari Dana Desa
Pada bagian akhir facebook saya yang lalu (Takwaddin Husin, 17 April 2020) dan juga merespon beberapa komentar, saya berjanji akan membuat tulisan khusus untuk menjawab pertanyaan bolehkah dana desa digunakan untuk bantuan tunai langsung (BLT)? Bagaimanakah skema (metode dan mekanismenya) BLT dimaksud?
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan dua hal di atas dalam perspektif regulasi. Artinya, mengacu pada apa yang diatur di dalam peraturan perundangan. Sedangkan persoalan bagaimana implementasinya di desa (gampong), tolong nantinya anda komentari sesuai dengan pengalaman anda masing-masing. Maka dengan demikian, kita akan mendapatkan pengetahuan yang utuh. Yaitu dengan mempertemukan apa yang diatur dalam peraturan (law in book) dan apa yang senyatanya diterapkan (law in action). Sehingga dengan cara yang demikian, kita akan tahu permasalahan yang sesungguhnya terjadi akibat perbenturan antara das sollen dengan das sein. Das sollen dimaknakan sebagai sesuatu yang diharapkan dalam peraturan. Sedangkan das sein adalah fakta yang sesungguhnya terjadi.
Dengan diundangkannya Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020, maka menjadi dasar juridis dan implementatif Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada penduduk miskin di desa. Karenanya, diperlukan kesiapan dan kesigapan pemerintahan desa (gampong) untuk segera mendistribusikan BLT dimaksud secara tertib, adil, dan tepat yaitu tepat sasaran, tepat orang, tepat waktu, tepat proses, dan tepat laporan administrasi.
Adapun alasan hukum atau konsideran menimbang diterbitkannya Permendes di atas adalah bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah berdampak bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat desa. Selain itu, mengacu pada atau berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan untuk Penanganan dan Penyebaran Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Desa, di mana ditentukan bahwa melalui penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa, diperlukan penyesuaian Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tersebut. Dengan demikian, adanya Permendes Nomor 6 Tahun 2020 merupakan perintah untuk melakukan refocusing kegiatan dan anggaran, yang menyesuaikan dengan prioritas akibat maraknya covid-19.
Apa yang dimaksud dengan dana desa ? Saya perlu menjelaskan hal ini, karena dalam realitas perbincangan para netizen masih banyak yang salah sangka terhadap apa itu dana desa dan dari mana sumbernya. Dalam Permendes No 6 Tahun 2020 dan juga dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2020 yang diterbitkan tanggal 16 April 2020, telah disebutkan bahwa Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota (APBK) dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Mengacu pada peraturan di atas menjadi jelaslah, bahwa dana desa berasal dari APBN yang ditranfer melalui APBK dan diperuntukkan bagi desa. Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa dana desa tidak melalui APBA. Sehingga, tidak subordinasi, melainkan koordinatif dengan Pemerintah Aceh.
Selanjutnya saya akan bahas skema BLT. Yaitu terkait apa, dan bagaimana metode dan mekanismenya diatur dalam Permendes 6/2020. Dalam Pasal 1 Angka 28 Permendes tersebut tegas didefinisikan bahwa BLT Dana Desa adalah bantuan untuk penduduk miskin yang bersumberkan dari dana desa. Merujuk pada ketentuan ini, dapat diajukan tiga pertanyaan, yaitu apa pengertian bantuan, siapa penduduk miskin, dan apa pengertian dana desa.
Terhadap tiga pertanyaan di atas, saya perlu menjelaskan penduduk miskin. Hal ini penting, agar dalam tataran implementasi di gampong tidak akan terjadi benturan etnik antara orang gampong dengan penduduk gampong. Antara Orang Aceh dengan Penduduk Aceh. Debat ini pernah terjadi masa lalu, waktu membahas Qanun tentang Kependudukan, dan juga Qanun tentang Wali Nanggroe.
Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan, ditentukan bahwa Penduduk Aceh adalah setiap orang yang bertempat tinggal secara menetap di Aceh tanpa membedakan suku, ras, agama, dan keturunan. Dengan demikian, penduduk miskin di gampong, bisa bermakna orang dari suku apa saja, sepanjang mereka sudah menetap dan memiliki KTP Aceh dan memenuhi unsur kriteria sebagai orang miskin.
Siapa orang atau keluarga miskin ? Rujukan untuk menentukan siapa orang miskin kadangkala menjadi perdebatan. Pada akhir 2019 lalu, perdebatan orang dan angka kemiskinan di Aceh sempat heboh. Bahkan sempat disharmoni antara pipel-in versus pipel-ot. Juga antara Pemerintah Aceh dan Badan Pusat Statistik. Yang diakhiri dengan terpampangnya ratusan baliho besar berisikan suksesnya Pemerintah Aceh menaikkan angka kemiskinan 0,3% dalam tahun 2019.
Dalam konteks BLT, perlu penjelasan dan penegasan secara regulasi siapa penduduk miskin yang berhak mendapatkan dana desa. Hal ini penting untuk mengakhiri perdebatan yang tak berdasar dan sekaligus agar tidak menjadi masalah hukum dikemudian hari. Terkait hal ini, dalam Permendes 6/2020 tegas ditentukan bahwa sasaran penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah keluarga miskin yang bukan penerima manfaat PKH (Program Keluarga Harapan) dan juga bukan penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Mereka ini adalah orang miskin baru (OMB). OMB ini antara lain orang yang kehilangan mata pencaharian, orang miskin yang belum terdata, dan orang mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis.
Itu kriteria penduduk miskin atau OMB versi Permendes. Hemat saya, ketentuan ini harus menjadi panduan utama saat ini. Kesampingkan indikator dari lembaga lainnya. Hal ini sesuai dengan asas hukum, lex spesialis derogate lex generalis. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Bicara dana desa dan BLT, maka rujukan utamanya adalah produk hukum dari Kementerian Desa.
Terkait hal ini saya mendapat pertanyaan bagaimana dengan 14 indikator orang miskin versi Kementerian Sosial. Saya tidak menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Karena, jika kita merujuk pada 14 indikator dimaksud, bisa jadi di Aceh tidak ada orang miskin. Tetapi faktanya menurut lembaga resmi pendataan dan statistik (BPS), Aceh berada pada urutan termiskin di Sumatera pada tahun 2019 lalu. Mengacu pada asas hukum di atas, menurut saya, kita merujuk saja pada apa yang ditentukan oleh Menteri Desa.
Siapa yang melakukan pendataan penduduk miskin sebagai penerima BLT dari Dana Desa ? Dalam Permendes 6/2020 sudah ditentukan bahwa mekanisme pendataan dilakukan oleh Relawan Desa Lawan Covid-19. Relawan yang dimaksudkan adalah Relawan Tanggap COVID-19, yang perintah pembentukannya berdasarkan Surat Edaran Menteri Desa PDTT Nomor 8 Tahun 2020 (sudah saya bahas pada tulisan saya terdahulu).
Relawan tersebut melakukan pendataan terfokus pada RT, RW, dan desanya. Mengingat keanekaragam bentuk pemerintahan desa di Indonesia, maka hemat saya, bentuk dan tata kelola RT, RW dan desa tentu dapat disesuaikan dengan kondisi riil masing-masing daerah. Misalnya, di Aceh, dengan berlakunya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka tidak lagi dikenal RT, RW, dan desa. Tetapi dikenal jurong, duson, dan gampong.
Setelah para relawan desa melakukan pendataan, hasil pendataan sasaran keluarga penduduk miskin dilakukan musyawarah desa (gampong) dengan agenda tunggal, yaitu validasi dan finalisasi data penduduk miskin yang berhak menerima BLT. Lalu legalitas dokumen hasil pendataan yang sudah divalidasi dan finalisasi ditandatangani oleh Kepala Desa. Kemudian, dokumen ini oleh Kepala Desa dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Akhirnya, dapat dilaksakan kegiatan kegiatan BLT-Dana Desa dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja per tanggal diterima di kecamatan. Secara juridis (aturan) proses pendataan ini sederhana saja. Maka jangan dibuat ribet dan rumit.
Adapun terkait metode perhitungan penetapan jumlah penerima manfaat BLT Dana Desa mengikuti rumus: 1) Desa penerima Dana Desa kurang dari Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) mengalokasikan BLT-Dana Desa maksimal sebesar 25% dari jumlah Dana Desa. 2) Desa penerima Dana Desa Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah) mengalokasikan BLT-Dana Desa maksimal sebesar 30%. 3) Desa penerima Dana Desa lebih dari Rp 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah) mengalokasikan BLT-Dana Desa maksimal sebesar 35% dari jumlah Dana Desa. d) Khusus desa yang jumlah keluarga miskin lebih besar dari anggaran yang dialokasikan dapat menambah alokasi setelah mendapat persetujuan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Sedangkan mekanisme penyalurannya dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan metode nontunai setiap bulan, atau ditranfer ke rekening. Jangka waktu masa penyaluran BLT-Dana Desa 3 (tiga) bulan terhitung sejak April 2020 dan besaran BLT-Dana Desa per bulan sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) per keluarga. Monitoring dan evaluasi skema BLT Dana Desa dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa, Camat, dan Inspektorat Kabupaten/Kota. Sedangkan penanggung jawab penyaluran BLT-Dana Desa adalah Kepala Desa.
Demikian catatan saya. Terima kasih atas perhatian dan mohon maaf atas kelemahannya. Fastabiqul khairat.