• ,
  • - +

Artikel

Akuntabilitas dan Fleksibilitas Pelayanan Bansos Covid-19
• Selasa, 26/05/2020 • Ola Mangu Kanisius
 
Ola Mangu Kanisius, Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT (Penulis)

Sejumlah skema Jaring Pengaman telah diluncurkan Pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19, antara lain jaring pengaman kesehatan, jaring pengaman sosial, jaring pengaman ekonomi dan pemulihan ekonomi nasional. Untuk membangkitkan daya beli masyarakat yang terkena dampak pandemi, Pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar Rp. 110 triliun untuk jaring pengamanan sosial.

Instrumen jaring pengamanan sosial terdiri atas bantuan sosial regular (PKH dan BPNT), bantuan sosial khusus (Sembako untuk warga Jabodetabek), bantuan sosial tunai (BST) Rp 600 ribu untuk di luar Jabodetabek dan bantuan langsung tunai dana desa (BLT Dana Desa), serta Kartu Pra Pekerja dan Subsidi Tarif Listrik. Selain itu Pemerintah Daerah (Pemda) juga menyiapkan anggaran melalui APBD untuk mengcover kelompok masyarakat terdampak yang tidak terakomodir dalam instrumen jaring pengaman sosial yang disiapkan Pemerintah Pusat.

Sejak tanggal 28 April 2020, Ombudsman RI membuka posko pengaduan daring bagi masyarakat terdampak Covid-19, Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi NTT telah menerima 70 laporan masyarakat per tanggal 22 Mei 2020. Laporan didominasi oleh keluhan masyarakat mengenai jaring pengamanan sosial yakni sebanyak 55 laporan, dengan rincian BST 26 laporan, BLT Dana Desa 20 laporan, Kartu Pra Pekerja 3 laporan, PKH 2 laporan, BPNT 2 laporan dan Subsidi Listrik 2 laporan.

Substansi keluhan BST dan BLT Dana Desa seputar informasi mekanisme pendataan, informasi persyaratan menerima bansos, informasi mekanisme pengaduan (internal complaint handling) dan ketepatan sasaran bansos yakni masyarakat yang memenuhi persyaratan tidak terdata sebagai penerima bansos, sebaliknya masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan terdata sebagai penerima bansos.

Realitas lain yang dijumpai dalam laman facebook APB Chanel milik Wakil Bupati Flores Timur, ketika melakukan pemantauan penyaluran bansos pada tanggal 22 Mei 2020, menemukan seorang janda yang telah berusia lanjut di Desa Lewoingu, Kecamatan Titehena, Kab. Flores Timur terdata sebagai penerima BST tidak dilayani oleh petugas PT. Pos Indonesia, pasalnya tidak dapat menunjukan dokumen administrasi berupa KTP.

Dari data di atas memberi gambaran umum bahwa persoalan yang mengemuka terkait pelaksanaan kebijakan jaring pengaman sosial ialah soal akuntabilias dan fleksibilitas. Lemahnya akses masyarakat terhadap informasi kebijakan jaring pengaman sosial, dapat menghambat akuntabilitas pelayanan bansos Covid-19. Oleh karena akuntabilitas bertalian dengan akses masyarakat ke informasi terkait kebijakan jaring pengaman sosial.

Terbukanya akses informasi akan mewujudkan pelayanan bansos yang akuntabel dan penerapan prinsip subsidiaritas untuk memberikan pelayanan yang fleksibel kepada kelompok masyarakat terdampak di tengah situasi pandemi.


Akuntabilitas Pelayanan

Caiden (Dalam Haryatmoko, 2015) mendefinisikan akuntabilitas sebagai memenuhi tanggung jawab untuk melaporkan, menjelaskan, memberi alasan, menjawab, menjalankan kewajiban, memperhitungkan, dan menyerahkan apa yang dilakukan dan diminta sebagai pertanggungjawaban atau yang ingin diketahui oleh pihak di luar organisasi, terutama oleh publik yang dilayani.

Berdasarkan pandangan tersebut, Pejabat publik harus bertanggungjawab terhadap semua yang dilakukan dengan membuka atau memberi informasi atau laporan apa yang telah dilakukan atau yang gagal dilakukan dengan harapan siap dikoreksi dan dievaluasi oleh publik. Dalam konteks pelayanan bansos Covid-19, Pemerintah memastikan terbukanya akses informasi terkait pelaksanaan kebijakan jaring pengaman sosial, untuk memungkinan partisipasi publik dalam mengawal proses pemberian bansos tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat kualitas dan tepat administrasi.

Pemerintah perlu menetapkan standar operasional prosedur (SOP) pelayanan bansos masa pandemi, yang mencakup kegiatan pendataan, penyaluran dan pemberian bansos, guna memberikan kepastian jaminan pelayanan, baik bagi Pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan dalam memberikan pelayanan bansos, maupun bagi warga masyarakat terdampak pandemi Covid-19 sebagai penerima pelayanan.

Fokus Pemerintah menjaring warga masyarakat terdampak pandemi Covid-19, yang terdiri atas kelompok miskin penerima bantuan dalam situasi normal (PBI, PKH, dsb), kelompok pekerja sektor formal yang berpotensi kehilangan pekerjaan, dan kelompok pekerja informal yang otomatis kehilangan pendapatan. Bagi kelompok pekerja informal berpotensi sebagai kelompok mayoritas yang harus terjaring dalam jaring pengaman sosial.

Hal demikian merujuk pada data BPS 2019, dari 126,51 juta penduduk yang bekerja di Indonesia, 44, 28% bekerja di sektor formal. Sementara jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal justru lebih banyak yakni 55,72%.

Persyaratan penerima bansos dan prosedur atau mekanisme pendataan harus diinformasikan secara transparan kepada publik. Verifikasi dan validasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSK) dan data Non DTSK harus jelas dan bersih (clear and clean) dan tidak tumpang tindih, masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan agar dikeluarkan dari data penerima, sehingga bansos diberikan kepada pihak yang berhak.

Setiap satuan pemerintah di daerah sampai desa menginformasikan saluran pengaduan pelaksanaan kebijakan jaring pengaman sosial, dan menyiapkan petugas yang berkompeten untuk memfasilitasi komplain pelayanan bansos Covid-19 dengan cepat dan tuntas, untuk menjamin kepastian komplain masyarakat atas ketidaktepatan pelayanan bansos Covid-19 dapat tersalur secara efektif dan efisien. Setiap keluhan masyarakat dijadikan bahan evaluasi terhadap setiap tahapan pemberian bansos kepada warga masyarakat terdampak pandemi Covid-19, untuk meningkatkan kualitas pelayanan bansos Covid-19 pada tahap-tahap selanjutnya.


Fleksibilitas Pelayanan

Pelayanan bansos yang fleksibel di masa pandemi sangat ditentukan oleh penerapan prinsip subsidiaritas dalam penyelenggaraan pelayanan bansos, memberikan keleluasaan kepada satuan pemerintahan tingkat terendah (Desa/Kelurahan) untuk menyelesaikan masalah dengan sarana dan kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena warga masyarakat yang menjadi sasaran jaring pengaman soial berada di Desa/Kelurahan.

Prinsip tersebut sebenarnya telah dianut dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Desa (UU No. 6/2014), subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Prinsip ini dapat diintrodusir dalam konteks pelayanan bansos Covid-19 guna mengatasi masalah kekakuan dan kelambanan birokrasi pelayanan bansos Covid-19.

Untuk memastikan pelayanan bansos tepat sasaran, pendataan penerima jenis bansos lainnya (BST, PKH, BPNT dsb) dapat mengikuti pola penetapan penerima BLT Dana Desa yang disepakati melalui forum musyawarah desa/kelurahan. Sedangkan untuk ketepatan administrasi bagi penerima bansos yang belum memiliki dokumen kependudukan, Pemerintah Desa/Kelurahan dapat menerbitkan surat keterangan domisili yang menerangkan penerima bansos merupakan warga desa/kelurahannya.

Pelayanan yang fleksibel dapat diselenggarakan asalkan prinsip akuntabilitas diterapkan dengan baik, sehingga memungkinkan partispisasi publik dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan bansos selama pandemi, Semoga. (ori-ntt, omk)





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...