• ,
  • - +

Artikel

Agar OSS Tak Hanya Menjadi Sarana Obral Investasi
• Jum'at, 20/12/2019 • Atika Mutiara Oktakevina, S.I.P., M.H.
 
Atika Mutiara Oktakevina, S.I.P., M.H., Kepala Tim Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman R.I. Perwakilan Provinsi Lampung

Pada beberapa kesempatan, Presiden Jokowi kerap menyampaikan bahkan mengingatkan cukup keras agar pemerintah daerah memberikan kemudahan berinvestasi. Bahkan dalam Rapat Koordinasi Nasional Forum Komunikasi Pimpinan Daerah pada November lalu, terdapat media yang memberitakan bahwa Jokowi menyampaikan ia tak segan menyikat habis pihak-pihak yang menghambat investasi. Sebagai pemimpin yang berada dalam periode kedua, saya fikir wajar ketika Presiden Jokowi mengingatkan lebih keras untuk hal-hal yang memang menjadi bagian dari visi misi kepemimpinannya saat ini.

Salah satu langkah Presiden Jokowi dalam rangka memberikan kemudahan berinvestasi ialah melalui terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (PP 24/2018) atau yang selanjutnya dikenal sebagai Online Single Submission (OSS). PP 24/2018 ini mencoba untuk menyederhanakan dan membalik bentuk alur perizinan berusaha maupun non berusaha.

Setidaknya ada beberapa hal penting dalam PP 24/2018. Pertama, ia menyederhanakan cara mengakses perizinan. Para pemohon tidak lagi harus datang lebih dulu ke Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di Kabupaten/Kota nya demi mengakses pelayanan perizinan. Para pemohon bisa mendapatkan izin dari suatu Lembaga OSS yang berada di bawah Presiden secara langsung melalui aplikasi OSS. Kedua, ia merangkum segala bentuk perizinan sehingga beberapa izin yang semula merupakan 2 (dua) atau 3 (tiga) izin yang berbeda menjadi 1 (satu) izin yang sama. Ketiga, ia membalik alur perizinan, para pemohon tidak disibukkan untuk mengurus segala bentuk pemenuhan persyaratan lebih dulu seperti misalnya rekomendasi teknis, akan tetapi diberikan kesempatan untuk mengakses terlebih dahulu. Setelah mendapat izin/persetujuan dari Lembaga OSS, barulah pemohon dipersilakan untuk mengurus pemenuhan persyaratan yang disebut sebagai komitmen melalui d DPMPTSP atau instansi terkait yang diatur berdasarkan peraturan daerah setempat. "Komitmen" ini yang menjadi syarat bagi pemohon untuk dapat mengaktifkan izin yang telah ia peroleh dari Lembaga OSS melalui sistem aplikasi OSS tadi. Untuk yang satu ini pun, tidak semua jenis perizinan membutuhkan "komitmen". Beberapa jenis perizinan untuk usaha-usaha sederhana bahkan bisa secara langsung beroperasi pasca terbitnya izin dari Lembaga OSS melalui aplikasi OSS.

Terbitnya suatu aturan pasti akan memunculkan dampak baru pula. Lumrah karena pasti akan terjadi masa transisi yang menjadi masa sulit namun akan menentukan bagaimana nasib implementasi peraturan baru tersebut ke depannya. Namun, masa transisi yang penul trial and error ini tentu akan menemui beberapa celah yang kosong yang selanjutnya, jika kekosongan ini tidak segera diisi maka justru dapat menimbulkan permasalahan baru yang alih-alih memudahkan, justru lebih rumit.

Apa yang saya sampaikan tidak sekedar terawangan belakang meja. Ombudsman R.I. pada Tahun 2019 telah kembali melaksanakan Penilaian Kepatuhan Pemerintah Daerah terhadap Penyelenggaraan Standar Pelayanan Publik. Perbedaan paling mencolok antara penilaian kepatuhan tahun 2019 dengan penilaian kepatuhan pada tahun-tahun sebelumnya ialah karena mula dioperasikannya system OSS di hampir seluruh Pemda. Berdasarkan survei lapangan secara langsung di 9 (sembilan) kabupaten di Provinsi Lampung, Ombudsman R.I. Perwakilan Provinsi Lampung, khususnya saya sendiri, kerap menemui beberapa kendala yang kurang lebih sama hampir terjadi di seluruh DPMPTSP.

DPMPTSP selaku instansi yang mendapatkan pelimpahan kewenangan dari Kepala Daerah dalam hal penerbitan perizinan dan investasi daerah merupakan instansi yang paling merasakan kendala-kendalanya. Pertama, ditemui DPMPTSP yang masih belum tahu bagaimana cara mendata jumlah seluruh investasi yang masuk di suatu daerah. Hal tersebut lantaran aplikasi OSS masih mencampurbaurkan seluruh data perizinan dan penanaman modal yang ada. DPMPTSP dapat mengakses data-data dimaksud dalam bentuk yang sudah tercampur baur. Sementara di satu sisi, DPMPTSP adalah pihak yang memiliki tanggug jawab untuk mendata jumlah investasi daerah.

Kedua, terkait komitmen dari pemohon sebagaimana saya telah sampaikan di atas. Ternyata beberapa DPMPTSP mengaku kesulitan untuk mendata pemohon mana saja yang berkewajiban untuk membuat komitmen., karena ternyata masih ada beberapa pemohon nakal yang tidak mengurus komitmen dimaksud namun entah karena kesalahan penafsiran atau memang kesengajaan, pemohon dimaksud telah membuka usahanya tanpa lebih dulu menyelesaikan komitmen yang menjadi syarat aktifnya izin usaha yang telah dia peroleh melalui sistem aplikasi OSS. Bahkan, ditemui bahwa sistem aplikasi OSS ternyata belum mampu mendeteksi jenis-jenis usaha mana saja yang memerlukan komitmen. Sehingga dapat saja suatu pemohon nakal mengklasifikasikan usahanya sebagai usaha skala kecil yang tidak membutuhkan komitmen, padahal seharusnya membutuhkan komitmen. Hal ini tentu sangat berbahaya. Ia tidak hanya berdampak secara administratif tapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan sebagai dampak atas izin yang tidak memiliki rekomendasi teknis.

Belum lagi berbicara kendala ketiga yang merupakan hal klasik namun harus diakui masih banyak terjadi, yaitu kendala sinyal. Ya, tak dapat dipungkiri bahwa kita tidak bisa berfikiran Jawa sentris yang memandang bawaha seluruh pelosok negeri ini telah siap dengan sarana pelayanan yang sangat mengandalkan internet. Beberapa daerah yang masih kesulitan sinyal tentu sangat terkendala akan hal ini. Belum lagi berbicara budaya masyarakatnya yang belum terbiasa mengakses pelayanan dengan teknologi. Meski untuk hal yang satu ini tentu mau tidak mau masyarakat cepat atau lambat harus segera menyesuaikan diri karena perkembangan teknologi adalah suatu keniscayaan.

Untuk kendala kedua, DPMPTSP mengaku belum tau harus berbuat apa kepada para pengusaha ketika tiba-tiba diketahui bahwa bangunan sudah dibangun, usaha sudah berjalan sementara komitmen belum dipenuhi oleh pengusaha. Adalah suatu hal yang tidak mudah jika harus serta merta membongkar bangunan usaha dan menghentikan usaha secara tiba-tiba. Padahal tanggungjawab pengawasan terhadap investasi di daerah juga berada pada DPMPTSP.

Dari sekilas uraian di atas, kita bisa memperoleh gambaran bahwa masih terdapat beberapa kekosongan/celah yang harus segera diisi, baik oleh pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat. Jangan sampai, kemudahan investasi yang diinginkan oleh Presiden justru akan menimbulkan kekacauan terhadap kondisi lingkungan maupun sosial masyarakat di kemudian hari lantaran izin-izin usaha yang tidak tertib.

Pemerintah Pusat harus lebih menyempurnakan berbagai perangkat baik aturan maupun sarananya. Sarana sistem aplikasi OSS harus dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan pihak pemerintah daerah dalam hal ini DPMPTSP untuk mengakses dan memperoleh data yang dibutuhkan terkait investasi daerah. Aplikasi OSS juga perlu disempurnakan agar dapat mendeteksi lebih rinci terkait jenis izin usaha sesuai skala.

Patut diapresiasi ketika Presiden bermaksud memudahkan dengan adanya OSS. Namun jangan sampai sistem OSS yang telah dirancang sedemikian rupa justru melemahkan posisi daerah yang memang juga memiliki kewenangan masing-masing sebgaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Terlebih penting adalah kewenangan pemerintah daerah tersbut juga tetap perlu dijaga karena nantinya, para pimpinan di daerahlah yang harus bertanggungjawab dalam menjaga stabilitas kondisi sosial, ekonomi maupun lingkungan di daerahnya masing-masing. Maka, ketika OSS tidak mendukung hal tersebut, bisa jadi OSS justru akan menambah masalah baru bagi pemerintah daerah,m tidak hanya persoalan investasi tapi juga segala dampak yang akan muncul dari sisi sosial, ekonomi, lingkungan. Maka menurut hemat saya. Penting bagi pemerintah pusat untuk segera melakukan evaluasi berkala dalam pelaksanaan OSS. Yang lebih penting adalah jangan sampai OSS menjadi sarana obral investasi yang tidak sehat lantaran pelaskanaannya serta sistem aplikasi yang menjadi perangkatnya tidak secara berkala dievaluasi pada tahap awal.

Sebagai pemimpin daerah, Kepala Daerah juga perlu turun langsung untuk memastikan proses perizinan berjalan dengan baik dengan adanya mekanisme perizinan yang baru. Bupati/Walikota/Gubernur hendaknya tidak hanya berdiam diri dan hanya menerima laporan dari Kepala DPMPTSP saja meski sebagian besar kewenangan perizinan telah dilimpahkan kepada Kepal DPMPTSP. Para Kepala Daerah perlu memotret langsung jika tak ingin hanya mendapatkan laporan bahwa semua proses berjalan lancar baik-baik saja sementara laporan tersebut belum tentu benar adanya. Koordinasi dengan memanfaatkan forum-forum nasional tentu wajib dilakukan. Jangan hanya menyampaikan keberhasilan saja namun tidak secara jujur menyampaikan kendala kepada pemerintah pusat hanya karena tidak berani "mengungkapkan". Karena koordinasi yang baik adalah kunci awal keberhasilan suatu program. Sehingga OSS tidak sekedar menjadi hal yang akan menambah masalah baru dalam investasi.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...